#17. The Door

268 35 0
                                    

Adhisty memandangi pantulan dirinya sendiri di cermin full body yang ada di apartemen studio Amory. Memperhatikan penampilan yang membuatnya nostalgia sendiri.

Kemeja putih, vest juga jas model crop berwarna mocca, rok pleated kotak-kotak dengan warna cream, putih, juga sedikit mocca. Pita cream melingkar di kerah kemejanya membentuk dasi. Kaus kaki putih yang panjangnya hingga lutut dan sepatu hitam membalut kaki.

Itulah yang kini menempel di tubuh ramping Adhisty. Seragam komplit SMA Purnama Biru yang lagi-lagi diantarkan kurir subuh tadi. Itu adalah aturan mutlak berseragam yang harus diikuti saat hari Senin. Lebih tepatnya hanya saat upacara bendera berlangsung.

Meski memakai seragam, namun tujuan Adhisty ke Purnama Biru bukanlah untuk belajar, melainkan untuk menjadi pemandu ACIN menuju ruang bawah tanah yang ada di lingkungan itu. Ayolah, dia memang murid Purnama Biru, namun, itu satu tahun yang lalu. Sekarang dirinya pasti sudah dikeluarkan akibat lama tak masuk tanpa ada pemberitahuan. Intinya dia ke sana hanya untuk menyelinap.

Gadis dengan rambut pendek yang meski memiliki poni namun sengaja tidak menunjukannya itu kini mengangkat kedua lengan, memasangkan masker putih guna menutupi sebagian wajah cantiknya. Setelahnya dia menggapai sesuatu di atas lengan sofa, sebuah kacamata bulat, dan membawanya ke depan wajah seolah menilai. Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya Adhisty memasangkan kacamata itu di tempatnya, sedikit ingin tertawa saat melihat wajahnya yang berbingkai benda itu. Ayolah, sebelumnya dia tidak pernah mencoba memakai kacamata.

Pergi dari depan cermin, Adhisty kini melangkah memutari ranjang, membuka laci di samping kepala ranjang dan mengambil beberapa lembar uang berwarna biru dari sana. Bukan punya dia, itu diberikan Cakra yang katanya untuk ongkos ke sekolah ataupun membeli makanan jika gadis itu kelaparan. Sempat menolak karena gengsi, namun Cakra yang meletakan uang itu di atas ranjang begitu saja membuat Adhisty memilih menerimanya. Lagipula dia memang butuh.

•••

Memandang gerbang hitam di depan, Adhisty merasakan sesuatu yang kurang mengenakan di salah satu sudut hatinya. Sesungguhnya dia enggan kembali ke tempat ini, sesungguhnya ada ketakutan yang dia rasakan sekarang. Dia takut tiba-tiba bertemu kepala sekolah ataupun Neo yang wajahnya tak pernah dia lihat. Dia takut kalau dia akan kembali menjalani kehidupan bak di neraka yang sama sekali tak ada bagus-bagusnya.

Sekelebat ingatan tentang seseorang melintas di kepala gadis itu, membuatnya memegang tali tas erat-erat, dan melangkah pasti memasuki gerbang Purnama Biru. Dia punya misi, dia tidak boleh lemah.

Adhisty berjalan dengan normal di lingkungan Purnama Biru, bertingkah sebiasa mungkin agar tidak ada orang yang menaruh perhatian padanya. Dia sempat menoleh ke belakang tadi dan tiga orang lelaki ada di sana. Tiga lelaki yang dia tahu diam-diam mengikutinya tanpa disadari siapapun. Keberadaan mereka cukup membantu Adhisty yang tidak ingin diperhatikan, keberadaan mereka membuat murid-murid lebih senang menaruh perhatian pada mereka yang jelas menarik daripada dirinya. Itu keuntungan yang disengaja.

Langkahnya membawa gadis itu menuju salah satu toilet perempuan di lantai satu, memilih menyembunyikan diri di tempat itu sampai seluruh penghuni sekolah berkumpul di lapangan guna mengikuti upacara.

Sedangkan untuk ACIN, setelah menyimpan tas mereka di kelas, ketiganya juga melakukan hal yang sama dengan Adhisty. Hanya saja tempat mereka bukanlah toilet, melainkan ruang ganti eskul Taekwondo yang posisinya di paling pojok lingkungan Purnama Biru.

•••

Nevan, Ian, Cakra, dan Adhisty kini mengelilingi sebuah kursi taman karatan di area paling belakang sekolah yang sangat dihindari. Selain karena tempatnya yang tak terurus, sumbangan cerita dari tempat ini menjadi alasan kenapa orang-orang tak mau datang ke sini.

"Kepala buntung," gumam Ian.

Adhisty membenarkan posisi kacamata yang dia kenakan, maskernya kini telah turun hingga wajahnya terlihat dengan jelas. Tidak ada cctv di sini, jadi, dia akan aman meski menunjukan wajah. Kepala Sekolah tidak akan melihatnya. "Faktanya itu bukan kepala buntung, tapi orang yang entah mau turun atau masuk ke ruang bawah tanah. Yang kelihatan cuma kepalanya aja, sedangkan tubuhnya udah di bawah," ucapnya.

Satpam Purnama Biru saat itu ternyata tidak mengatakan omong kosong semata. Dia memang melihat kepala dengan mata yang melotot padanya. Hanya saja itu bukan hantu, melainkan manusia biasa yang masih memiliki jiwa. Fakta yang cukup mengejutkan sebenarnya, kalau ACIN membagi itu pada seluruh murid, mereka pasti akan merasa dibodohi dan kecewa.

"Cerita jeritan juga sama. Itu nyata, tapi yang bersuara bukan hantu. Itu para tawanan yang frustasi," ucap Adhisty kembali mengungkap fakta tentang asal-usul cerita horor sekolah ini. Oh, ayolah, Amory pasti akan kecewa mendengar ini semua. Cerita hantu sebenarnya tidak ada! Semuanya adalah kamuflase.

"Gue pikir jeritan orang yang dibunuh," ucap Nevan.

Adhisty mengukir senyum menyebalkan, lewat tatapan mata dia meminta ACIN untuk memindahkan kursi taman karatan itu. "Si anjing babi gemuk brengsek entah gimana bunuh korbannya tanpa suara. Mungkin semua peringkat terakhir udah terlalu gila untuk bisa teriak," paparnya.

"Bisa nggak, sih, pilih salah satu hewan aja buat jadi umpatan? Lo terlalu lengkap." Selesai memindahkan kursi dengan bantuan Cakra, Ian berkomentar. Sesungguhnya cara Adhisty menyebut kepala sekolah mereka terlampau kasar menurutnya. Telinganya merasa ternoda karena dia.

"Cih, terserah gue," sungut Adhisty tidak ingin peduli.

Dia kini berjongkok, menyingkirkan campuran tanah dan rumput liar yang telah mati di tempat kursi taman semula berdiri. Paham apa yang Adhisty lakukan, Cakra ikut berjongkok. Ikut menyingkirkan tanah-tanah yang sedikit basah akibat hujan hingga akhirnya sebuah papan kayu yang terlihat sangat tua mampu terlihat. Di salah satu sisi kayu itu terdapat gagang berbentuk lingkaran, tampaknya itu digunakan untuk menarik papan agar bisa terbuka.

Dan, ya, tanpa ingin membuang waktu lagi, Cakra menggenggam gagang itu, menariknya dan berharap papan bisa terangkat. Sayang, tampaknya ini bukanlah papan kayu biasa. Karena itu Nevan ikut ambil bagian. Meletakan tangannya pada gagang, lalu menariknya ke sisi lain dari gagang itu setelah aba-aba Cakra.

Meski perlu beberapa detik, namun akhirnya pintu masuk yang merepotkan ini mampu terbuka. Membuat keempatnya sama-sama melihat ke bawah sana. Menemukan undakan tangga yang sepertinya sudah lama ada dan sama sekali tak terurus. Begitu kotor, rusak, tidak enak untuk dilihat. Benar-benar tempat yang cocok untuk penjahat.

Tanpa mengatakan apa-apa, Adhisty menginjakan kakinya pada anak tangga pertama, menelan ludahnya sekali sebelum dia melangkah lebih jauh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tanpa mengatakan apa-apa, Adhisty menginjakan kakinya pada anak tangga pertama, menelan ludahnya sekali sebelum dia melangkah lebih jauh. Di belakang, Cakra mengikuti. Nevan dan Ian juga ikut masuk meski harus berkutat terlebih dahulu dengan pintu masuk. Bagaimanapun, mereka harus kembali menutupinya.

•••

17.10.2022
18.10.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now