#08. Penjara

344 43 0
                                    

Jika mendengar kata penjara terburuk, kira-kira apa yang pertama terlintas di dalam kepala? Sel yang dikuasai ketua geng bringas? Sipir kejam yang menyiksa demi ketertiban? Atau makanan seperti muntah anjing yang terpaksa harus di makan demi bertahan hidup? Atau mungkin... semuanya?

Di tempat ini, sebuah ruangan luas dengan pencahayaan kurang dan bau tak sedap, Amory memeluk kakinya sendiri dengan perasaan mencekam. Apa yang dia lihat dan keadaannya sekarang sungguh membuatnya ketakutan. Tidak lebay, namun, tempat ini memang semenakutkan itu.

Dirinya berada di sebuah kurungan yang menyulitkannya bergerak. Lebar kurungan memang luas, diisi oleh 15 orang namun tingginya sangat tidak normal. Kurungan itu bisa digunakan untuk duduk tegak oleh orang yang tingginya sekitar 165 cm, namun hanya sebatas duduk, karena jika mencoba berdiri, kepala akan terantuk bagian atas sel yang terbuat dari besi. Dress putih bersih tanpa lengan membalut tubuhnya. Panjangnya hanya sebatas lutut dan meski tak terlalu ingat, dia pernah melihat dress yang sangat mirip seperti yang dipakainya di suatu tempat sebelum dia berakhir di sini.

Jika melihat keluar kurungan, tepat di seberang kurungannya, ada kurungan lain yang diisi oleh 3 orang laki-laki murung dengan pakaian yang terlihat sangat kucel. Atasannya terlihat seperti sebuah koko polos lengan pendek berwarna putih dan bawahannya hanya celana sebatas lutut dengan warna yang sama. Antara kurungan itu dan kurungan yang Amory tempati hanya berjarak sekitar dua langkah orang dewasa saja.

Sejak Amory sadarkan diri, di sel tempat Amory ditempatkan, kebanyakan gadis-gadis sebaya Amory tak bereaksi apapun atas kedatangannya. Orang-orang itu tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri seolah kehadiran orang lain tidak menarik untuk mereka urusi. Sejujurnya, mereka tidak tampak seperti remaja normal, beberapa menggigiti kuku panjang dan kotor mereka, sebagiannya lagi menggenggam jeruji besi dengan mata yang memelototi tembok berjamur tanpa arti. Sisanya merebahkan diri dan bersandar pada jeruji dengan tatapan kosong.


Sebelumnya Amory sempat berontak dan membuat keributan. Berusaha membebaskan diri dari tempat ini karena saat itu satu yang dia tahu. Dirinya diculik. Namun, seorang gadis paling normal di tempat ini buka suara. Memberitahunya segala sesuatu yang membuat Amory kini hanya diam. Dirinya bukan sekedar korban penculikan.

°Flashback on

"Nggak berguna. Lo nggak akan bisa pergi dari sini."

Gerakan Amory yang tengah menggoyangkan sel dengan brutal terhenti kala kalimat itu mampu dia dengar. Mengusap air matanya yang keluar, Amory menghadapkan wajah pada orang yang duduk di salah satu pojok kurungan seraya mengamatinya.

"Gue yang paling baru sebelum lo. Jadi, setidaknya gue yang paling waras di sini. Dari sekolah mana lo?" tanya gadis pemilik rambut sebatas bahu di sebelah Amory.

"Gue... Purnama Biru," balas Amory.

Mendengar jawabannya, ada senyuman aneh yang ditampakkan gadis itu. Seperti miris(?) Atau prihatin? Ah, entahlah, yang jelas itu bukan senyum kebahagiaan. "Nasib lo lebih buruk daripada gue ternyata. Gue Ajeng dari SMA Nusantara 2. Kalau lo dari PB, artinya lo korban pengkhianatan," paparnya yang tak bisa Amory pahami semua. Karenanya dia memilih diam dan membiarkan Ajeng melanjutkan.

"Lo mungkin nggak percaya kalau gue kasih tahu siapa yang buat lo di sini. Biarlah, lo bakal tahu sendiri nanti. Ini penting, lo peringkat berapa di sekolah?" tanya Ajeng.

Amory terdiam, bingung karena menurutnya pertanyaan semacam itu tidak cocok untuk sekarang. Ayolah, dirinya diculik. Apa pentingnya peringkat di sekolah?

"Kena──"

"Jawab aja. Gue bakal kasih tahu semua yang gue tahu tentang keadaan kita." Menggidikan bahu, Ajeng melanjutkan, "Gue belum gila kayak mereka soalnya." Tangannya naik saat mengatakan itu, menunjuk orang-orang di sekitar yang memang tidak tampak memiliki kewarasan penuh. Mereka menunjukan tanda-tanda cemas berlebih, khawatir, dan rasa takut yang mampu dipahami. Ayolah, bagaimanapun semua yang ada di sini adalah korban penculikan.

"Gue... terakhir kali peringkat 9 se-IPA," jawab Amory memilih menurut. Lagipula dia butuh penjelasan.

Ajeng menganggukkan kepala seraya berkata, "Berarti lo lumayan pintar. Mungkin ada kesempatan lo keluar dari sini. Em, karena si kasar udah nggak ada, jadi, gue nggak tahu kapan pastinya, tapi, kayaknya bentar lagi, deh. Semua yang ada di sini bakal bersaing buat dapatin peringkat pertama di ujian yang diadain psikopat gila yang buat kita di sini. Hadiahnya, peringkat pertama bebas dan peringkat terakhir mati. Itu mutlak, nggak bisa diganggu gugat. Ujiannya soal-soal... em, gimana, ya, jelasinnya? Argh, intinya soal-soal kayak ujian di sekolah pada umumnya. Materinya dari SD sampai Kuliah. Matematika, Bindo, Fisika, OR. Semuanya ada. Gue bodoh, mungkin, ujian selanjutnya gue bakal mati." Tertawa kecil Ajeng melanjutkan, "Mungkin ini kali terakhir gue ngomong panjang. Tenang aja, kalau gue mati nggak akan gentayangin lo, kok."

"Kenapa?" tanya Amory tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Ajeng memajukan bibirnya seraya memasang wajah tidak mengerti. Dia bahkan memiringkan kepala dan itu membuat Amory menyambung kata-katanya."Mati. Kenapa peringkat terakhir mati? A, lagipula, kenapa kita harus ujian?"

Ajeng menghela napas sebelum menjawab, "Kita ditawan psikopat. Lo harus jadi dia buat tahu isi kepalanya. Yang jelas, kenyataan mati itu adalah benar. Kalau lo selamat diujian nanti, lo bisa lihat sendiri mayat salah satu dari kita. Tapi gue saranin jangan lihat, deh. Pertama kali gue lihat, gue muntah dan sel ini makin menjijikan."

Amory menggigit bibir bawah bagian dalamnya. Dia takut sebenarnya, sangat takut hingga semua giginya terasa nyeri. Beruntung, cara Ajeng berbicara membuatnya bisa sedikit menetralisir itu. Caranya menjelaskan jelas tidak seperti orang yang hidupnya tengah berada di ujung tanduk. Entah pemberani atau sudah terlalu banyak mengalami hal menegangkan, yang jelas, Ajeng membantu Amory.

°Flashback off

•••

08.10.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now