#63. Neo yang Berbeda

200 24 3
                                    

"Ne-neo? Tunggu, 1988?"

Nevan mengangguk kecil guna menanggapi ucapan Adhisty. Sebelum dia sempat membalas, Cakra terlebih dahulu buka suara.

"Neo yang kita kenal kayak nggak setua itu," papar Cakra.

"Setelah kejadian itu dia di bawa lembaga pemerintah yang namanya..., ah, gue lupa. Pokoknya itu, deh. Sekitar dua tahunan dia di sana sebelum dibawa sama walinya, adik dari ayahnya. Tahun 1993 dia dilaporkan hilang dan tahun 1997 dia ditemukan meninggal."

Perkataan Nevan membuat Adhisty dan Cakra saling berpandangan. Meninggal? Kalau seperti itu berarti kasus ini tidak ada hubungannya dengan mereka? Namun... Neo? Apakah itu hanya kebetulan? Rasanya terlalu gila untuk menjadi kebetulan.

"Selain kasus Neo nggak ada lagi kasus yang mirip sama perbuatan Number 1, Number 2 atau apalah itu," ucap Nevan menutup laman Facebook yang dia buka.

•••

Tepat pukul 21.00, Nevan keluar dari kamarnya setelah menyelesaikan tugas sekolah yang dia dapat. Melangkahkan kaki ke arah dapur, dia mendekat pada kulkas dan membukanya. Mengambil sebotol air mineral dingin lalu menegaknya setelah tutup botol terbuka.

Suara langkah kaki yang terdengar di telinga membuat Nevan menoleh ke belakang meski ujung botol masih berada di mulutnya. Nendra dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku menyambut pandangan Nevan. Senyuman hangat timbul di bibir pria paruh baya satu itu.

"Kapan pulang, Yah?" tanya Nevan begitu selesai dengan minumnya. Menutup kembali botol, pria itu meletakkannya di tempat semula, menutup kulkas, lalu sepenuhnya menatap sang ayah yang kini duduk menghadap meja pantry.

"Tiga puluh menit lalu? Atau... Tiga puluh lima?" balas Nendra yang malah terdengar seperti bertanya.

Nevan hanya mendengus kecil, ayahnya itu seperti orang yang kurang pandai basa-basi saja.

Mengingat sesuatu, Nevan mengambil posisi untuk duduk di samping sang ayah. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan pria itu kala ingat perkataan Adhisty sesaat sebelum dirinya meninggalkan kamar Cakra.

°Flashback on

"Nevan."

Lengan Nevan yang hendak membuka pintu kamar Cakra terhenti di udara kala Adhisty memanggilnya. Menoleh ke belakang, dia bisa melihat Adhisty yang berjalan kecil mendekat ke arahnya. Berhenti kala jarak mereka hanya dua langkah orang dewasa.

"Gue... boleh nanya sesuatu?" tanya Adhisty dengan nada tak biasa. Hal itu membuat Nevan menaikan alisnya meski tak ayal dia mengiyakan.

Adhisty tak langsung berkata, dia seperti ragu, tapi pada akhirnya mulut gadis terbuka. "Ayah lo, maksud gue, ayah lo ada kasih tahu ibu gue soal kasus ini? Lo bilang ayah pengacara lo itu disuruh cari gue," tanyanya.

Nevan tanpa sadar menggaruk telinganya yang tidak gatal. Sungguh, pertanyaan Adhisty tidak mudah baginya. Dia memang sempat bertanya soal owner Seiren saat dia bertemu ayahnya sesaat setelah tahu kasus Adhisty. Namun, jawaban ayahnya membuatnya merasa tidak enak. Itu... bagi Nevan itu cukup kejam.

"Apa lo nggak pernah tanya?" ucap Adhisty karena tak kunjung mendapat balasan.

Nevan memantapkan diri, tidak apa bukan memberi tahu Adhisty? Gadis itu sendiri yang bertanya. Karenanya mulut Nevan akhirnya terbuka dan berkata, "Ayah gue udah kasih tahu soal lo dan Om Deri. Namun, waktu itu katanya ada peragaan busana besar atau apa gitu dan ibu lo harus fokus di sana. Demi nama baik brand."

Adhisty memalingkan muka disertai senyuman miris yang timbul di bibirnya. Demi nama baik brand? Ahh, yah, itu benar-benar terdengar seperti ibunya. Lagipula apa yang sejak tadi dia harapkan? Rasanya bodoh sekali. Seharusnya dia mengerti kalau yang ibunya pikirkan bukan Adhisty, tapi Seiren yang dia bangun dari nol.

"Tapi sekarang mungkin acaranya udah selesai. Gue tanya itu lebih dari sebulan lalu soalnya," ucap Nevan menambahkan.

"Hm, oke, thanks."

°Flashback off

"Yah."

Dengan suara kecil Nevan memanggil ayahnya seraya menoleh ke samping.

Seraya menuangkan air ke dalam gelas Nendra membalas, "Iya?"

"Soal Seiren..."

Meletakan teko yang selesai dia gunakan di tempatnya, Nendra membawa pandangannya pada Nevan kala putranya itu seperti menggantung perkataannya. "Jangan bilang kamu berhubungan lagi sama Seiren Adhisty, Van? Dia dicari polisi kalau kamu lupa," paparnya.

Nevan seketika menggeleng kuat. Oh, apa-apaan ayahnya itu? Kenapa bisa dia seperti menebak isi kepala Nevan?! Ayolah, untung saja Nendra hanya bertanya, bukan sungguhan mengira.

"Nggak, Yah, ngga sama sekali. Aku cuma pengen nanya aja. Penasaran soalnya," ucap Nevan.

Nendra tersenyum kecil. Entah kenapa anaknya itu malah panik padahal dia hanya bertanya. Wajah paniknya tidak pernah berubah sejak Nevan masih balita. Sangat menawan seperti dirinya. "Biasa aja kali mukanya," guraunya.

Nevan menghela napas, oke, tampaknya dia tidak bisa mengontrol wajah. Berdeham guna menyingkirkan perasaan yang mengganggu, setelahnya dia bertanya, "Acara besar Seiren yang waktu itu ayah sebut sekarang udah selesai, kan? Owner Seiren ada niatan buat ke sini nggak, Yah? Gimanapun suaminya meninggal dan anaknya jadi buronan. Dia pasti ke sini, kan?"

Nendra memperhatikan cangkir di atas meja yang dia pegang, memberikan jeda sesaat sebelum dia menjawab, "Kamu nggak punya pacar yang suka mode, sih, jadi nggak tahu. Hari-H acaranya kemarin dan owner Seiren sekarang masih di Swiss, lokasi acara. Ayah belum tahu dia bakal ke sini apa nggak, tapi kemungkinan besar ke sini karena seperti kata kamu, suami dan anaknya nggak baik-baik aja. Namun, kenapa kamu nanya?"

"Ooh gitu. Amory katanya pengen ketemu, kalau bilang dia nampung Adhisty di apartemennya sebelum kasus ketahuan, Amory ngira pasti owner Seiren mau ketemu dia," jawab Nevan yang tentu saja hanya kebohongan.

Namun, Nendra hanya mengangguk-angguk percaya. Tidak ada alasan baginya untuk mencurigai Nevan. Perempuan semacam Amory memang pastilah tertarik dengan Seiren meski gadis itu tidak menaruh perhatian lebih pada fashion. "Omong-omong, Van, bunda kamu nggak pulang, kan, malam ini?" tanyanya beralih topik.

"Iya, tadi bunda wa," balas Nevan yang membuat Nendra membentuk senyuman.

Bangkit berdiri, Nendra menepuk ujung kepala Nevan sebelum mendekat ke arah kulkas. "Kalau begitu, boleh ayah bikin sesuatu?" tanyanya.

Wajah Nevan seketika cerah. Dia memang sudah makan malam di rumah sakit tadi, tapi masakan Nendra tidak mungkin bisa dia tolak. Meski tidak sehandal Vellia, tapi Nevan mengakui semenakjubkan apa masakan Nendra. Entah kenapa dia dikelilingi oleh orang-orang yang pandai memasak. Vellia, Nendra, Cakra, lalu yang tak kalah enak adalah karya ibunya Ian. Hidup terasa sangat menyenangkan untuk Nevan.

Nendra sendiri setelah memilih bahan-bahan dari kulkas dan memindahkannya. Dia mengambil dua buah pisau, memperhatikan masing-masing bilahnya, lalu menggesekkan kedua bilah itu satu sama lain sebelum menggunakan salah satunya untuk memotong sayuran. 

•••

30.12.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang