#18. Panggilan

279 31 1
                                    

Duduk di atas kursi menghadap kaca besar yang menampilkan gedung-gedung pencakar langit dan guyuran hujan, seorang pria dengan setelan jas mewah tampak tengah berpikir dengan jari telunjuk yang mengurut pelipisnya sendiri. Ingatannya membawanya beberapa waktu kebelakang, tepatnya semalam.

Dia mengingat dengan jelas kalimat yang terlontar dalam obrolan santai saat memancing ikan semalam. Berpikir apakah dia harus memastikannya atau tidak mengingat bisa saja masalah yang timbul sudah dibereskan.

Namun, entah kenapa dia terus memikirkan itu. Seolah ada sesuatu yang harus dia tahu namun disembunyikan. Menghela napas tipis lewat mulut, pria itu memutar kursinya, beralih dari kaca besar dan gedung pencakar langit menjadi sebuah meja dengan perangkat komputer dan tumpukan dokumen di atasnya.

Tangannya terulur, meraih sebuah ponsel dengan casing berwarna biru gelap yang ada di sana. Jarinya menari di atas ponsel itu sebelum dia membawa ponsel pada telinga.

Cukup lama dia menunggu sebelum panggilan yang dia lakukan diangkat oleh orang di seberang sana.

"Halo, selamat pagi, Pak," sapa orang di seberang sana terlebih dahulu.

Bukannya menjawab, pria itu malah bungkam. Terdiam hingga orang di seberang sana beberapa kali memanggilnya. Memastikan kalau panggilan benar-benar tersambung.

"Pak, Anda──"

"Hm, siswi dari insiden Seiren, dia masih bertahan?" tanya pria itu memotong perkataan lawan bicaranya.

Kali ini bukan dia yang terdiam, melainkan orang di seberang sana. Setelah beberapa detik, akhirnya jawaban tak menyakinkan mampu terdengar. "Dia... ma-masih, Pak."

"Kalau begitu saya minta dia untuk pertemuan saya selanjutnya dengan Level A," ucap pria itu. Tidak serius sebenarnya, namun dia hanya ingin memancing orang di seberang sana.

"Di-dia? Pak, bukannya saya ingin menentang Bapak, tapi, bagaimana jika insiden Seiren satu tahun lalu kembali terulang?"

Bertahan, ya? Batin si pria kala mendengar pertanyaan itu. Dia mendorong sedikit kursinya menggunakan kaki sebelum dia mengangkat kaki itu ke atas meja. Posisinya tidak sopan memang, namun, hey, siapa yang akan protes? Tidak ada siapapun di tempat ini. Bahkan cctv. "Tidak akan. Dia untuk saya," balasnya.

"Untuk Bapak? Bukannya Anda tidak seperti itu, Pak?" tanya orang di seberang sana.

"Untuk apa Anda tahu? A, saya harap anak itu bisa sampai malam ini, Pak. Saya ingin membawanya ke suatu tempat terlebih dahulu. Bisa?"

Lagi-lagi orang di seberang telat menjawab. Dia sepertinya kebingungan memilih kata-kata. "Pak, itu... itu... maafkan saya, Pak, anak itu melarikan diri. Neo membuat kesalahan dan saya berusaha memperbaikinya. Tapi, dia hilang saat saya menemuinya di kantor polisi," paparnya.

Ternyata benar. Masalah itu belum tuntas. Orang di seberang sana berani menyembunyikan hal sebesar itu darinya dan itu cukup membuatnya kesal. Ayolah, gadis yang melarikan diri adalah gadis nekat setengah gila yang bisa saja melakukan hal di luar pemikiran mereka. Laporan masalah seharusnya datang sedetik setelah masalah itu ada. "Kapolsek memberitahu saya. Saya kira masalah itu selesai karena tidak ada laporan. Tapi, ini? Sudah satu minggu dan Anda baru melaporkan ini? Itu pun karena saya yang pancing. Anda tahu kenapa selalu saya yang membereskan masalah kalian? Itu karena hanya saya yang mampu. Lalu, kenapa masalah sebesar ini Anda nekat membereskannya sendiri? Seharusnya anda sadar setidak kompeten apa Anda ini," cecarnya.

"Maafkan saya, Pak, ini salah Neo──"

"Tidak usah melempar kesalahan pada orang lain. Anda Bosnya, Anda yang harus bertanggung jawab," potong si pria tidak ingin mendengar alasan. "Sudahlah, saya akan tangani ini."

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now