#86. Akhir Misi

209 21 3
                                    

Bagi Nendra Neo adalah segalanya. Nendra bisa melihat dirinya sendiri saat dia menatap Neo. Putranya itu benar-benar mengingatkan dia akan dirinya sendiri. Baginya keberadaan Neo adalah keberhasilan. Selama Neo baik-baik saja dia tidak keberatan untuk pergi, dia tidak takut untuk mati karena dia akan tetap ada di dalam Neo. Namun sekarang tepat di depan matanya, Nevan melakukan hal gila. Nevan berusaha membunuh Neo tanpa bisa dia cegah. Itu tentu saja membuat Nendra menggila, dia segera menghampiri tubuh putranya yang sudah banjir dengan darah, menekan luka tusukan pada sang putra guna menghentikan darah yang keluar.

Namun, setekun apapun Nendra, darah itu terus mengucur, Nevan terbatuk lemah beberapa kali, sesaat kemudian matanya yang semula sayu sukses tertutup sepenuhnya. Amory yang memperhatikan semakin histeris, dia meremas lengan baju Nevan, menarik-nariknya seraya memanggil nama lelaki itu.

Nendra mengacak rambutnya sendiri, memukul-mukul pahanya sendiri kala sadar Neo tak bisa dia lihat lagi. Pria itu mengerang frustasi, benar-benar terlihat seperti ayah yang kehilangan putranya.

Nendra memandang Amory, matanya menajam kala melihat gadis itu yang terus berusaha membangunkan Nevan, satu tangannya naik, mendarat pada leher Amory dan mencekiknya hingga punggung Amory kembali merapat dengan tembok.

"Gara-gara berteman dengan kamu," geram Nendra terdengar marah.

Amory tentu saja berusaha melawan, dia memberontak meski pada akhirnya tidak berpengaruh apapun pada Nendra. Ian juga sempat membantu, namun Nendra dengan mudah menyingkirkan lelaki itu.

"Gara-gara kalian," ucap Nendra semakin kuat menekan leher Amory.

Amory semakin lemas, tenaganya kian banyak berkurang dan rasa sakit semakin gila dia rasakan pada leher dan dadanya. Dia kesulitan bernapas, bahkan tidak bisa bernapas. Menepuk-nepuk lengan Nendra, Amory merasa seperti akan mati.

Dor

"Argh."

Cekikan Nendra terlepas, Amory terjatuh dan langsung batuk kasar. Oh, sepertinya dia tak jadi mati.

Nendra sendiri menoleh ke arah pintu, menemukan seorang pria berpakaian serba hitam tengah menodongkan pistol padanya.

"Urusan kita sudah selesai," ucap Nendra pada pria serba hitam itu.

Di sana, Kenzura dengan waspada memberikan semua fokusnya pada Nendra, tidak ingin pria gila itu kembali macam-macam dengan keluarganya. "Anda melukai keluarga saya, Pak," paparnya.

"Siapa yang peduli dengan itu?" tanya Nendra. Dia bangkit berdiri, mengeluarkan pisau lipat yang dia sembunyikan, lalu menerjang Kenzura. Dia marah sekarang, amat marah, siapapun yang mengganggunya akan dia habisi tanpa ampun.

Kenzura kembali menekan pelatuk, namun kali ini Nendra berhasil menghindar. Mengayunkan pisau ke arah Kenzura, pria itu gagal karena Kenzura cukup lihai.

Nendra melompat, menendang pistol hingga benda itu terpelanting. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Nendra beraksi dan berhasil menggores pipi mulus Kenzura hingga darah segar keluar dari sana. Bergulat beberapa saat, Nendra berhasil mengunci leher Kenzura dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya mengarahkan ujung pisau pada bagian bawah lengannya di mana leher Kenzura berada.

Dor

Nendra limbung kala peluru bersarang di pahanya, dia berusaha menahan posisinya dan Kenzura namun gagal kala lagi-lagi seseorang melepaskan tembakan. Berhasil mengenai bagian atas lengannya dan itu membuat Nendra seketika ambruk ke lantai.

Dari arah pintu, sekretaris Kenzura menodongkan pistol pada Nendra, begitu sudah dekat, dia mengincar dada Nendra dan melepaskan peluru sebanyak dua kali. Sukses membuat Nendra batuk darah dan tak lama kesadarannya menghilang. Berjongkok di sisi tubuh orang itu, sekretaris Kenzura mengecek denyut nadi pada lehernya. Tak mendapati apapun, sekretaris itu menengadah, melihat Kenzura, kemudian bangkit berdiri. "Saya yang melakukannya, Pak, Anda tidak bersalah," ucapnya.

Suara langkah kaki bersahut-sahutan terdengar, semuanya yang sadar menoleh ke sumber suara, menemukan seorang pria dewasa berjas formal dan beberapa orang yang tampaknya dari kepolisian menghampiri mereka.

"Astaga, apa ini?" tanya salah seorang kala melihat betapa kacaunya kondisi ruangan.

Pria dewasa berjas formal mendekat pada Kenzura, menatap orang itu tepat di matanya dengan sorot yang tak biasa. "Minta maaf sama Papa, Zura," ucapnya.

"Kak Adi," ucap Kenzura tak percaya dengan kehadiran orang itu di tempat ini. "Kenapa bisa?" tanyanya.

"Saya ingin melindungi adik saya. Begitu hubungan dengan tim yang diutus putus, saya segera melacak keberadaan tim saya. Dan, ya, saya tidak menyangka situasinya sekacau ini," ucap Adinata memilih berlalu dari Kenzura. Dia kini menghampiri Cakra yang wajahnya sangat pucat, menatap adik bungsunya itu datar, sebelum akhirnya buru-buru terduduk kala Cakra terlihat limbung. "Saya selalu gagal menjadi kakak," gumamnya kala Cakra sepenuhnya kehilangan kesadaran. Adhisty yang ada di dekatnya pun sama-sama tenggelam dalam ketidaksadaran diwaktu yang nyaris bersamaan. Mungkin mereka sama-sama berpikir kalau semuanya telah berakhir, itulah kenapa mereka bisa menutup mata dengan lega, sedikit beristirahat atas segala lelah dan sakit yang mereka rasa.

Sedangkan di titik lain kota Jakarta Selatan, di atas gedung tinggi yang tak jauh dari Purnama Biru, seorang lelaki yang sebaya dengan ACIN duduk di atas pembatas atap. Jaket berwana cerah membalut tubuhnya, headphone terpasang di kepalanya, dan sebungkus roti dia pegang di tangan. Sebuah laptop yang menyala dia pangku di atas paha. Asik mengunyah roti seraya memperhatikan layar laptop dan mendengarkan suara yang terdengar dari headphone. Angin yang berhembus sama sekali tak dia hiraukan, nongkrong di pinggiran atap gedung tinggi sudah menjadi kebiasannya. Dia menelan kunyahan rotinya, beralih dari layar laptop ke arah langit gelap di atas sana. "Jadi, lo udah mati, Neo?" tanyanya pada kehampaan. "Fyuhh, untung pelirahaan kita nggak terlalu banyak," lanjutnya.

•••

28.02.2023

Satu part lagi Ayang-nim🙆

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now