#05. Terjadi

381 49 1
                                    

Amory melangkahkan kakinya seraya bersenandung kecil. Gagang payung dia genggam di tangan kanan, sesekali tangan kirinya dia ulurkan guna membuatnya terguyur hujan.

Sesudah keluar dari apotek, dia berbelok ke samping kanan, tentunya tujuannya adalah Mac Donald yang hanya terpisah tiga bangunan saja dari apotek. Dia memang sudah makan malam tadi, di perjalan menuju apartemen dengan ketiga temannya. Namun, apalah daya, dia sangat ingin memakan ayam juga ice coffee saat ini. Sekalian membelikan tiga temannya juga gadis asing yang mereka temui di tangga. Siapa tahu dia belum mengisi perutnya.

Banyak kendaraan yang melintas, namun untuk pejalan kaki, hanya ada dirinya seorang. Uh, kemalasan masyarakat dalam menggerakkan kaki memang patut diberikan acungan jari. Terserah ingin jari apa, namun, bagi Amory, jari tengah adalah pilihan paling baik.

"I'm at a payphone, trying to call home
All of my change I spent on you
Where have the times gone?
Baby, it's all wro──"

Mulut Amory tiba-tiba berhenti kala sesuatu yang menarik perhatian terlihat di celah kecil antara gedung perkantoran dan coffee shop yang dia lewati. Gadis itu mundur dua langkah, memposisikan dirinya tepat di depan celah itu. Dia menolehkan kepala, menatap lamat-lamat sesua── ah, tidak, lebih tepatnya seseorang di celah itu. Dia berdiri diam, jas hujan hitam model ponco berlengan melapisi tubuhnya. Yang membuat Amory tertarik adalah payung putih yang dia pakai. Ayolah, warnanya sangat kontras dengan jas dan dia berdiri di kegelapan. Kalau saja Amory tak mundur dan memastikan, dia akan mengira itu adalah hantu terbang.

Tidak ingin dikira aneh dengan memperhatikan orang asing, Amory memilih kembali berjalan. Ya, itu adalah keinginannya, namun entah kenapa dia tak bisa melakukan itu. Dia merasa ada sesuatu yang menusuk betisnya, membuatnya tiba-tiba lemas dan tak mampu menggerakkan tubuh. Tentu saja gadis itu panik, dia nyaris ambruk kalau saja seseorang tidak menahan tubuhnya. Pandangan Amory memburam, namun, samar-samar dia melihat orang yang menolongnya itu. Orang dengan jas hitam dan payung putih yang semula dia perhatikan. Hanya sebatas dagu dan bibir saja yang mampu Amory lihat, selebihnya tertutupi jas hujan.

"Selamat datang dalam permainan, manis."

Itu adalah kalimat terakhir yang Amory dengar sebelum rasa pusing menderanya dan dia kehilangan kesadaran begitu saja.

•••

Membuka pintu apartemen Amory, Cakra masuk ke dalamnya. Disusul Ian di belakang.

Pandangan mereka langsung tertuju pada sosok Adhisty yang duduk diam di tempatnya semula. Seolah dia sama sekali tak bergerak sejak mereka meninggalkannya.

Jujur saja, sejak diperjalanan pulang, Ian juga Cakra menebak-nebak apakah Adhisty akan diam di apartemen ataukah memilih kabur. Ian sendiri bersikeras mengatakan kalau gadis itu pasti kabur. Katanya Adhisty Adhisty itu sikapnya buruk sekali dan sepertinya memang mencari kesempatan untuk ditinggal sendiri agar bisa pergi tanpa repot-repot menjelaskan. Untuk Cakra, meski menurutnya pemikiran Ian masuk akal, dia bertaruh kalau gadis itu tidak akan ke mana-mana. Apalagi setelah Cakra mengamanatkannya ponsel dan meminta Adhisty untuk menghubungi kala Amory pulang. Pria itu memang sedikit naif, dia selalu percaya pada hati nurani manusia. Dari luar Adhisty tampaknya memang bukan gadis lembut, mulutnya sangat tajam dan caranya menatap orang terasa sedikit menyebalkan. Namun, Cakra tidak ingin menilainya begitu saja.

"Whoah, gue kira lo bakal pergi," ucap Ian buka suara.

Adhisty hanya menatapnya, tampak tidak ingin membalas ucapan lelaki itu.

"Siapa dulu yang mau mandi?" tanya Cakra menatap sang teman. Tubuh keduanya basah kuyup, kemungkinan untuk demam cukup besar kalau mereka tidak buru-buru berganti pakaian. Ini memang apartemen Amory, namun saking seringnya Cakra, Ian, dan Nevan menghabiskan waktu di sini, mereka jadi memiliki satu dua pakaian yang disimpan.

"Gue, ah. Dingin banget soalnya," balas Ian melangkahkan kakinya ke arah lemari. Membuka benda itu, dan meraih pakaian dari sana. Kaus hijau tua juga celana selutut berwarna coklat. Setelahnya dia bergerak menuju pintu kamar mandi, membukanya, lalu masuk ke dalam. Sebenarnya dia sedikit canggung, bagaimanapun ada Adhisty yang sejatinya seorang gadis di apartemen ini. Namun, mau bagaimana lagi? Dia tidak ingin demam nanti dan membuat kakak juga ibunya misuh-misuh hingga menyalahkan kegiatannya di luar.

Lain dengan Ian yang masuk ke dalam kamar mandi, setelah memberikan keresek putih pada Adhisty, Cakra memilih mendudukkan diri pada kursi kuning dekat meja pantry. Tentu saja setelah dia membuat kursi itu berhadapan dengan Adhisty. Bagaimanapun membelakangi orang adalah tindakan yang kurang sopan.

"Teman lo mana?"

Cakra yang semula menatap ke luar jendela, membawa pandangannya pada Adhisty kala gadis itu berbicara. Ingin menganggapnya basa-basi, namun nada bicaranya terdengar tak cocok dengan itu. Agak kasar dan terkesan seperti pertanyaan yang harus segera dijawab. Maka dari itu, Cakra memilih menganggap kalau Adhisty sungguhan penasaran saja. "Amory mampir mekdi, Nevan ketemu ayahnya dan pulang," jawabnya.

"Jadi, cewek ACIN sendirian?" Adhisty menaikan satu alisnya kala dia bertanya itu. Mendapat anggukan dari Cakra, rautnya yang memang sudah tak ramah kini bertambah keruh saja. Dia terlihat kesal saat ini. Decakan yang keluar membuat Cakra yakin kalau dia memang betulan kesal. "Bego! Gue bilang jangan biarin dia sendiri. Dia bisa aja diculik," paparnya.

Cakra terdiam, melihat Adhisty yang seperti ini dia jadi ingin 100% mempercayainya. Meski kasar, namun Adhisty tampaknya tulus dalam mengkhawatirkan Amory.
Cakra berdeham, dia percaya Adhisty, namun, dia memilih untuk tak berpikir macam-macam. Benar kata Amory, lingkungan ini adalah lingkungan yang ramai, tidak mungkin ada orang yang nekat menculiknya.

"Mekdi dekat, kok. Nggak usah khawatir," ucap Cakra.

Adhisty mendengus seraya memalingkan wajah. "Terserah," ucapnya bangkit berdiri. Melangkahkan kaki ke depan entah menuju ke mana. "A, kalau teman lo nggak pulang, gue saranin cari sendiri. Polisi nggak berguna," lanjutnya kala berada tepat di depan Cakra. Sejajar dengan meja bundar depan sofa.

"Ke mana?" Begitu melihat Adhisty hendak melewatinya, Cakra bertanya. Membawa pandangannya pada gadis itu.

"Lo pikir gue orang nggak tahu malu yang terus numpang di tempat orang asing? Ah, benar, pengen ucapan terima kasih? Thanks, Cakra ACIN. Bilangin juga sama teman-teman lo," balas Adhisty yang memilih berhenti kala mengucapkannya. Namun, setelah selesai dia kembali melangkahkan kaki. Sayang, cekalan Cakra pada pergelangan tangannya membuatnya tak bisa pergi lebih jauh.

"Tunggu sampai Amory pulang. Ada satu dua hal juga yang harus lo jelasin. Lengan sama kaki lo harus diobatin juga," ucap Cakra bangkit berdiri. Menarik Adhisty dan mendudukannya di atas sofa. Dia sendiri menjulurkan tangannya, menggapai keresek putih dengan logo apotek yang tergeletak di ujung ranjang.

"Errr── kita perlu air hangat. Tunggu Ian selesai dulu," ungkap Cakra begitu sadar luka di telapak kaki Adhisty sama sekali belum dibersihkan. "Dan, selagi nunggu, bisa jelasin kenapa lo bisa bilang Amory ada kemungkinan diculik?"

•••

20.09.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now