#29. Keluarga Ian

221 20 1
                                    

Tok tok tok

Bunyi ketukan pintu yang terdengar, membuat Cakra spontan menutup laptop di depannya. Berbarengan dengan semua orang yang berada di kamar, lelaki itu menoleh ke sumber suara. Sedikit penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarnya.

"Ini saya, Cak, boleh masuk?"

Suara yang tak asing. Ya, hanya ada satu orang di rumah ini yang akan bicara normal semacam itu dengannya. Maka dari itu, Cakra segera menjawab, "Masuk aja, Mas Zura."

Pintu seketika bergeser, menciptakan suara halus yang sama sekali tidak mengganggu. Kenzura melangkahkan kakinya memasuki kamar, tersenyum kecil pada semua orang yang berada di sini. Hingga akhirnya netra pemuda itu berhenti pada sosok gadis ramping berambut pendek yang berdiri tak jauh dari Cakra. Tepatnya berada di depan sebuah rak tinggi yang Kenzura tahu berisi beberapa camilan adiknya. Beberapa detik memperhatikan, senyum Kenzura melebar. Dia cukup senang dengan kedatangan gadis itu. "Teman baru Cakra? Saya baru pertama kali melihat kamu," ucapnya.

Adhisty mengangguk kecil. "Ya," balasnya singkat.

"Amory, Nevan, Ian, emm, sekitar tiga minggu sejak pertemuan terakhir kita?" papar Kenzura mengabsen nama teman-teman adiknya. Melihat mereka yang kini menyibukan diri dengan beberapa buku dan kertas di atas karpet berbulu tepat di belakang meja belajar Cakra. A, itu sebenarnya hanya kepura-puraan.

Kenzura, pria yang amat rupawan itu setelahnya mengambil posisi untuk duduk di atas sofa yang menghadap langsung ke arah Cakra dan teman-temannya.

"Iya. Jadi CEO merepotkan, ya, Mas Zura? Agaknya Mas Zura nomu nomu sibuk," balas Amory dengan gerak tangan yang menghias kalimatnya.

"Yah, begitulah, Amory. Tapi saya senang melakukannya. Uang saya bertambah dan keluarga saya senang," ucap Kenzura yang tentu saja setengah bergurau meski nyatanya itu kebenaran.

Cakra bangkit berdiri dari kursi belajarnya, mendekat ke arah Kenzura dan menjatuhkan diri di kursi lain dekat kakaknya itu. Menautkan kedua tangan di atas paha, Cakra bertanya, "Ada apa, Mas Zura?"

Kali ini Kenzura memandang adiknya, menelisik Cakra dengan mata menawannya lalu berkata, "Saya dengar kamu dan teman-teman kamu pulang dengan pakaian sangat kotor. Warna yang seperti darah. Kamu tidak apa-apa, kan?"

Kenzura mengkhawatirkan Cakra. Itu membuat Cakra merasakan kehangatan yang menelusup. El Family memang tak berlaku baik padanya, namun, kehadiran Kenzura sudah cukup untuk menutupi semua itu. "Ada karnaval horror dekat rumahnya Nevan, jadi, yah, begitulah," jawab Cakra sepenuhnya berbohong.

Kenzura menganggukan kepala, dia paham dengan kesukaan ACIN pada hal-hal berbau horror. Terlebih Amory. "Ooh, saya kira ada apa-apa dengan kamu dan yang lainnya," ucap Kenzura.

"Nggak, dong, Mas Zura, masa iya kami pulang pake baju penuh darah beneran. Ihh, ngeri banget bayanginnya," seloroh Amory ikut berbicara.

"Ya, kan, saya tidak tahu, Amory. Tapi sekarang sudah tahu. Lain kali ajak saya ke karnaval apapun itu, saya bosan hanya duduk-duduk melihat tumpukan dokumen."

"Mas Zura udah Om-om, nggak cocok bergaul sama muda-mudi." Ian tampaknya ingin mencari keributan, dia dengan santainya mengatakan kalimat sensitif semacam itu. Tapi, untung saja lawan bicaranya adalah Kenzura, dia 100% selamat.

"Katanya saya paling tampan di antara saudara-saudara saya, bisa, lah, saya nggak kebanting meski bergaul sama piyik."

•••

Masuk ke dalam rumahnya, Ian langsung di sambut dengan tatapan ibu dan kakaknya yang tengah menonton televisi dengan mangkuk mie di hadapan masing-masing dari mereka.

Pria itu spontan menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa ada yang tidak beres dengan keluarnya itu. Meski begitu, setelah beberapa detik dia tersenyum garing, melangkahkan kaki guna mendekat dan menyalimi mereka.

"Dari mana?" tanya seorang wanita paruh baya dengan daster gelap yang membungkus tubuh. Delis, ibu Ian.

Ian bersila tepat di hadapan mereka, hanya terpisah oleh sebuah meja persegi berkaki pendek. "Rumah Cakra," jawabnya.

Mendengar itu, raut Delis berubah tak enak. Destria yang di sampingnya pun menoleh padanya kemudian menggigit bibir bawah.

Ian sendiri tak menyadari itu, dia malah mengulurkan tangan guna mengambil mangkuk mie Destria dan memakannya.

"Cakra orang baik, Yan, tapi Ibu nggak tahu kalau keluarganya. Konglomerat kayak mereka bisa aja ngerendahin kamu. Jangan sering main ke rumah Cakra atau Nevan," ucap ibunya yang membuat Ian berhenti mengunyah. Ah, sudah lama tak membicarakan konglomerat, dia sempat mengira ibunya telah berubah. Namun ini? Oh, nyatanya luka dan sakit hati memang tidak bisa sembuh begitu saja.

Ian melepaskan sumpit dari tangannya, mendorong mangkuk mie kembali pada Destria, lalu mengusap mulutnya yang sedikit basah oleh kuah. Pria itu menaruh tangannya di atas meja, menatap ibunya lamat kemudian senyuman yang amat manis dia timbulkan. "Orang kaya memang buat ayah pergi, Bu, tapi nggak semua orang kaya jahat. Yah, El Family kecuali Cakra sama Mas Zura emang jahat, sih, tapi ibu tenang aja, kalau main ke rumah Cakra, kami palingan ngurung diri di kamar. Nggak ada yang mau gangguin kami. Apalagi mereka sibuk sama urusan mereka masing-masing. Kalau keluarga Nevan, uhh, ibu juga pernah ketemu sama mereka, kan? Om Nendra sama Tante Vellia baiknya kebangetan," paparnya panjang. "Kak Destria aja suka."

Bisa dibilang semacam ketakutan dan rasa rendah diri? Ah, entahlah, yang jelas Delis memiliki anggapan tersendiri bahwa orang-orang di kelas atas akan sangat mudah untuk menyakiti orang-orang seperti keluarganya. Hal itu bermula sejak Geri, suaminya yang tak lain ayah Ian juga Destria memilih meninggalkan mereka begitu saja untuk bersama dengan wanita lain yang katanya sangat kaya.

Delis sendiri tak pernah bertemu wanita yang dimaksud, namun tetap saja, sebagai seorang wanita dia jelas merasakan sakit hati yang dalam karena dia dan dua anaknya ditelantarkan begitu saja. Sejak pertama kali Geri pergi tiga tahun lalu hingga saat ini, dia tidak pernah lagi melihat lelaki sialan itu.

•••

Duduk di atas kursi belajarnya, Destria menghela napas berat. Dia membawa pandangannya pada laci di samping lutut kanan, membuka laci itu, lalu mengambil selembar foto yang ada di sana. Membawanya ke atas meja belajar hingga bisa dia pandangi dengan leluasa.

Potret keluarganya. Ya, keluarga yang lengkap dan bahagia. Pandangannya tertuju pada orang di paling kiri foto, seorang pria dengan jaket kulit dan kemeja kotak-kotak yang tersenyum lebar hingga menampilkan gigi-giginya yang berderet rapi. Dalam foto itu, satu tangannya naik dan memberikan jempol pada kamera. Destria tersenyum kecil, gaya Bapak-bapak banget, pikirnya dalam hati.

Destria membenci ayahnya, dia benci laki-laki itu karena telah menyakiti hati ibu dan adiknya. Namun, jujur, perasaan rindu seringkali dengan tak sopan datang di tengah-tengah kebenciannya. Dia sangat merindukan lelaki yang sempat dia kagumi karena kelembutan dan segala hal baik tentangnya. Yang amat menyiksa dari itu adalah, Destria tidak tahu harus berbuat apa dengan rasa rindunya. Dia ingin membicarakan Geri, mengenang ayahnya dan saat-saat membahagiakan mereka. Namun, tidak ada satupun di dunia ini yang bisa melakukan itu dengannya. Ian terlalu membenci ayah mereka, dia bahkan membakar semua foto ayahnya hingga saat ini hanya foto di tangan Destria yang tersisa. Ibunya? Oh, Destria tak tega untuk menyinggung Geri di hadapan wanita hebat itu. Dia tak sanggup karena menurutnya itu akan merobek luka lama yang bahkan belum pulih sepenuhnya. Hingga akhirnya beginilah adanya, dia hanya bisa menyimpan kerinduan itu seorang diri.

•••

20.11.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang