#28. ACIN, Adhisty, dan Tekad

214 25 0
                                    

Beberapa menit setelah pertarungan berakhir, ACIN juga Adhisty memilih pergi dari ruang bawah tanah. Meninggalkan mayat para tawanan laki-laki juga orang-orang di sel perempuan tanpa bisa melakukan apa-apa. Tidak ada dari mereka yang tidak terguncang. Adhisty yang sudah sering melihat mayat pun kesulitan dengan pemandangan yang dia lihat tadi.

Kini, kelima remaja itu sudah berada di dalam mobil yang mereka bawa. Saling diam karena kesulitan membuka mulut mereka. Mobil masih belum melaju, Nevan tidak ingin mengemudi saat kondisinya tengah kacau seperti ini.

Semuanya hanya menatap kosong ke arah yang mereka inginkan. Cakra dan Adhisty yang duduk di kanan dan kiri kursi penumpang, memandang ke luar jendela. Ian yang berada di tengah-tengah mereka menutup mata dengan lengan seraya menyandarkan punggungnya. Amory di kursi samping kemudi menatap lurus ke depan tanpa berkedip, Nevan melingkarkan tangannya pada setir dan menumpukan kepala di sana.

Dalam diam, Nevan, Amory, dan Ian menangis tanpa suara. Perih rasanya kala mengingat tujuan mereka yang ingin menyelamatkan justru menjadi penyebab tiga orang meregang nyawa dengan cara yang begitu tragis. Hati mereka teriris hingga rasanya mereka ingin memukul dada sendiri. Mengutuk diri sendiri karena begitu ceroboh dan bodoh.

Beberapa saat berlalu, Nevan akhirnya mengangkat kepala, menengadah guna menolak air mata untuk kembali meluncur. Setelahnya tangannya terulur, memutar kunci dan menyalakan mesin mobil. Tanpa ada yang berkata apa-apa, Nevan membawa mobil untuk bergerak. Bagaimanapun dia harus membawa mereka pergi dari sini.

•••

Alih-alih parkiran gedung apartemen Amory, mobil yang dikendarai Nevan kini berada tepat di depan pintu masuk rumah besar El Family. Keluar dari dalam mobil, Cakra meminta salah satu penjaga rumahnya untuk memindahkan mobil ke tempat yang seharusnya.

Diiringi tatapan aneh para penjaga juga pekerja El Family akibat pakaian mereka yang berlumur darah, Cakra membawa semua temannya menuju lantai 2 di mana kamarnya berada.

Ke apartemen Amory dengan pakaian yang mencetak noda darah akan cukup merepotkan bagi mereka. Mereka jelas akan diperhatikan meski tampaknya tidak akan ada yang sampai mengira itu adalah darah betulan. Maka dari itu, Cakra memutuskan kalau mereka ke rumahnya saja agar menghindari spekulasi aneh-aneh dari orang-orang tak dikenal. Yah, meski sejujurnya, di rumah Cakra pun mereka masih diperhatikan pekerja yang jumlahnya tak sedikit, tapi setidaknya orang-orang itu tidak akan bertanya karena bagaimanapun Cakra adalah majikan mereka. Ikut campur urusan pribadi majikan jelas bukan bagian dari pekerjaan.

Begitu mereka masuk ke dalam kamar bernuansa abu-abu Cakra dan pintu telah sempurna tertutup, ACIN yang posisinya memang berdekatan saling merangkul, saling memeluk dengan tangis yang akhirnya pecah. Kali ini mereka menangis bersama-sama. Meluapkan emosi dan rasa sakit yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Persetan menangis saat mereka sudah kelas 12 SMA, yang jelas air mata mereka tumpah tanpa bisa dicegah. Rasa bersalah teramat kuat menempel di dada.

Adhisty hanya menatap 4 orang itu, tidak ingin ikutan menangis meski hatinya juga sama teriris. Ah, sejujurnya sejak awal air matanya kering. Dia sama sekali tak menangis meski melihat tiga orang terbunuh tepat di depan mata. Yah, meski sejujurnya di banding ACIN, Adhisty lebih tahu tiga tawanan laki-laki yang tewas itu. Dia tahu nama mereka, dia mengenal mereka, dia ingat tentang betapa linglungnya mereka saat pertama kali dikurung di sana. Ah, dia bahkan sempat mengobrol dengan tiga lelaki itu meski sejujurnya itu bukan obrolan yang menyenangkan. Adhisty terlalu kasar dan sinis untuk membangun obrolan normal. Saat itu, dirinya hanya terseret saja dalam pembicaraan karena Ajeng yang terus menyebutnya.

Beberapa saat berlalu, ACIN akhirnya melerai pelukan mereka. Menyeka air mata dengan tangan, lalu saling menatap.

"Kita harus bebasin mereka," ucap Cakra terdengar mantap.

Adhisty yang mendengar tentu saja terkejut, matanya bahkan membola saat tiga orang lainnya menganggukan kepala.

"Iya. Kita harus tebus kesalahan tadi dengan bebasin tawanan yang selamat. Buka semua kejahatan Kepsek dan Neo," timpal Ian menjatuhkan dirinya pada sofa.

Kini ACIN membawa pandangan mereka pada Adhisty, membuat gadis ramping itu balas menatapnya dengan tanya.

"Lo gimana? Masih mau ikut?" tanya Nevan buka mulut.

Adhisty membawa lengannya untuk menyilang di depan dada. Sejujurnya dia tak menyangka tekad dan keberanian ACIN masih ada setelah mereka melihat betapa kejamnya Neo membunuh orang. Dia pikir ACIN akan takut dan mengingkari janji mereka padanya. Sejujurnya, dia tidak akan keberatan jika begitu. Dia tahu sehebat apapun ACIN di Purnama Biru, mereka tetapkan 4 orang remaja biasa. Namun, Adhisty ternyata salah besar. Setelah kejadian tadi, tekad ACIN malah semakin menguat. Dari pertanyaannya, dia bahkan yakin Nevan akan melanjutkan misi meski dirinya mundur. Namun, hey, sejak awal Adhisty yang memulai. "Lo pikir siapa yang buat kalian tahu si brengsek babi gemuk? Gue jelas ikut karena ini misi gue," balasnya.

"Misi kita, Adhisty," ralat Cakra secepat kilat. Diangguki Amory yang berada tepat di sebelahnya.

•••

Adhisty maupun ACIN kini sudah bersih. Mereka telah mandi dan berganti pakaian sekarang. Nevan dan Ian tentu saja memakai pakaian milik Cakra, sedangkan Amory dan Adhisty memakai milik Xaviera. Meski membutuhkan banyak renungan dan pertimbangan, Cakra akhirnya memberanikan diri masuk ke dalam kamar kakaknya itu yang memang kosong. Mengambil dua setel pakaian tanpa diketahui siapa pun. Dia bahkan dengan sangat niat mengambil pakaian yang posisinya paling tersembunyi di lemari agar orang-orang di rumahnya tidak ada yang sadar pakaian Xaviera dipakai orang lain.

Kini, Cakra duduk di atas kursi belajarnya. Di depan lelaki itu terdapat sebuah laptop yang terbuka. Keempat lainnya berdiri di belakang kursi, harap-harap cemas memperhatikan layar laptop.

"Semoga. Semoga. Semoga. Semoga Kepsek sama Neo nggak sadar kita pasang kamera." Amory menggesekkan kedua telapak tangannya satu sama lain di depan dada kala dia berbicara. Sungguhan berharap kalau kamera yang mereka pasang tidak ketahuan.

Yah, Neo memang seperti menyambut mereka. Artinya Neo tahu kedatangan mereka. Tapi, harapan masih belum padam, mereka masih belum mengecek kamera yang dipasang. Kalau berfungsi, maka mereka masih memiliki kesempatan untuk menang.

Cakra meletakan telunjuknya tepat di atas tombol enter, masih menyiapkan diri untuk menekannya dan menghadapi kenyataan yang dia khawatirkan akan pahit. Jujur, ini sama mendebarkannya seperti saat menerima rapot di sekolah.

Clak

Semua metotot, kaget karena Adhisty tiba-tiba menekan telunjuk Cakra hingga tombol enter itu tertekan. "Terlalu lama," ucap perempuan itu saat merasakan Amory menatapnya penuh permusuhan. "Masih nempel," lanjutnya menunjuk laptop dengan dagu.

Dan, ya, begitu Amory memandang layar, senyumnya seketika merekah. 5 kamera pengintai yang mereka pasang semuanya berfungsi baik. Gadis itu bahkan sampai memeluk Nevan saking senangnya. Oh, ayolah, ini kabar baik!

"Daya tahan baterainya cuma 5 hari, kita harus udah dapat bukti sebelum itu," ucap Ian.

•••

13.11.2022

 

The Secret [COMPLETED]जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें