#13. Sisi Lain Purnama Biru

295 39 1
                                    

Apartemen Amory. Ya, tempat yang kini diisi oleh empat orang remaja dengan umur yang nyaris sama. Adhisty duduk di atas sofa, Nevan di sisi ranjang, Ian di atas kursi belajar, dan Cakra menyandarkan diri pada meja panty meskipun beberapa kursi ada di sisinya.

"Gue akan kasih tahu kalian tapi dengan imbalan," papar Adhisty yang kini menyilangkan kakinya.

"Apa?" tanya Cakra.

Tanpa alasan, Adhisty menimbulkan senyum miring, raut wajahnya terasa menyebalkan meski gadis itu terbilang cantik. "Amory diculik sama orang gila. Gue mau kalian hancurin orang itu dan apa yang dia lakuin," ucapnya.

"Orang itu... apa dia?" tanya Ian mengingat Adhisty sempat menyinggung seseorang saat di IGD. Jujur saja dia setengah tak percaya dengan ucapan Adhisty yang mengatakan orang berbudi luhur dan baik sebagai manusia tidak normal. Dia yakin kedua temannya juga berpikiran sama karena memang orang itu sama sekali tak terlihat memiliki sisi jahat. Tubuhnya memang besar, gemuk, dan perutnya buncit. Tapi sikapnya sungguhan lembut, dia juga sangat adil terhadap apapun itu.

Menatap Ian, Adhisty berkata, "Gue akan jelasin semuanya setelah kalian setuju."

Nevan, Cakra, dan Ian saling berpandangan. Ketiganya seakan berdiskusi lewat tatapan mata sebelum akhirnya mereka mengangguk secara bersamaan. Mengalihkan pandang pada Adhisty, ketiganya berucap, "Oke."

Mereka tak tahu seberapa berbahayanya penculik Amory, namun apapun itu, menyelamatkan Amory adalah priotas utama. Mereka tidak boleh sampai telat bergerak dan mengambil keputusan. Bagaimanapun ketiganya tidak ingin terjadi hal buruk pada teman mereka. Jika terlampau berbahaya, mereka bisa meminta bantuan orang dewasa. Nevan memiliki Ayah seorang pengacara yang familier dengan kasus kriminal dan Cakra memiliki nama Lesmana yang kemungkinan akan berguna. Yang terpenting saat ini adalah mengetahui keadaan dan keberadaan Amory. Selebihnya mereka bisa pikirkan nanti.

"Apa yang menjamin kalian nggak akan ingkar janji?" tanya Adhisty sekedar mengecek. Dia tahu siapa dan bagaimana tiga lelaki di sekitarnya ini.

"Lo maunya apa? Perjanjian tertulis? Voice note? Atau KTP? Punya kami baru keluar Minggu lalu," tawar Nevan.

Adhisty menggelengkan kepala, tampaknya dia sudah menyiapkan apa yang dia inginkan. "Kalian ACIN. Gue tahu sepopuler apa kalian satu tahun lalu. Mungkin sekarang kalian lebih populer lagi. Banyak alasan di balik kepopuleran kalian, salah satunya kasus pemecatan 3 guru akibat kekurang ajaran kalian. Kejahilan berlebih, tapi semua murid menyukai kalian karena 3 guru itu memang nggak benar. Pelaku pelecehan siswi cupu, jual beli nilai, dan guru pecandu yang nggak pernah ngajar meski hadir di kelas. Menyebalkan, tapi gue akui kalian bukan orang yang bisa perpaling dari ketidakadilan meski kalian hanya anak SMA biasa. Gue percaya kalian. Tapi sebagai gantinya, siapin gue tempat tinggal dan jangan kasih tahu siapapun kalau kalian kenal, lihat, bahkan berkomunikasi sama gue. Siapapun. Termasuk polisi," jelasnya panjang.

Kalau ini situasi normal, Ian akan sangat bangga mendengarkan kalimat Adhisty. Namun di situasi sekarang, dia malah tidak sabar dengan informasi yang gadis itu kantongi.

"Lo bisa ngomong gitu juga ternyata," ucap Nevan menarik kakinya. Berganti posisi menjadi bersila di atas ranjang.

"Apapun yang lo inginkan, Adhisty, kami akan penuhi. Jadi, bisa kasih tahu semuanya sekarang?" tanya Cakra.

Adhisty mengangguk kecil, menyamankan posisi duduknya agar lebih enak dalam berbicara. Melihat ke luar kaca sekilas, gadis itu mulai membuka mulutnya. "Hampir satu tahun gue nggak keluar. Diculik, dikurung, dan disuruh ikut ujian," paparnya yang disimak dengan baik oleh Cakra, Ian, juga Nevan. Baru satu kalimat namun ketiga orang itu sudah memiliki beberapa pertanyaan. Namun ketiganya sama-sama memilih diam, memilih untuk membiarkan Adhisty bercerita tanpa menyela.

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now