#84. Bantuan Tak Terduga

158 20 3
                                    

Adhisty takut. Yah, jujur saja dia benar-benar takut. Yang ada dihadapannya sekarang adalah Neo, pembunuh gila yang menyiksanya selama lebih dari satu tahun.

Tatapan dingin Neo membuat Adhisty terpaku, itulah kenapa saat Neo memburunya Adhisty tak bisa apa-apa selain diam saja. Kakinya seolah terpaku, menyatu dengan lantai.

Neo sudah mengacungkan pedangnya, hendak melayangkan serangan pada Adhisty namun tangannya berhenti di tengah-tengah. Tidak, dia jelas tidak bersimpati, hanya saja tangan itu menolaknya. Neo tersenyum kecil. "Dia belum tidur ternyata," gumamnya.

Namun, yah, bagaimanapun dia lebih kuat sekarang, hambatan itu bisa Neo lewati dengan mudah dan dia kini berniat untuk kembali menciptakan garis indah pada tubuh Adhisty. Yah, tentu saja dia tak akan langsung bisa melihat garis itu, namun, tenang saja, setelah semuanya selesai, garis yang dia sukai mampu dia perhatikan untuk waktu yang lama.

Namun, pengganggu tak kunjung sirna, pintu didobrak kasar dan beberapa orang berjas hitam memasuki ruangan. Memperhatikan situasi, lalu lima orang berlari ke arahnya, menerjangnya dengan pisau pendek dan gerakannya terlihat terlatih. Mereka jelas profesional.

Neo juga hebat, tak membutuhkan waktu lama, pedangnya sudah menumbangkan tiga orang penyerang.

Lima orang menyerang Neo, yang lainnya menghampiri Cakra dan Ian yang terluka.

Cakra memperhatikan orang-orang yang membantunya, rasanya dia pernah melihat beberapa wajah itu meski dia kesulitan mengingatnya. Itulah kenapa, bibir pucatnya bergerak. "Kalian... siapa," tanyanya lemah. Bagaimanapun dia kehilangan cukup banyak darah.

"Tuan Mu── ekhem, Mas Cakra, Tuan Adinata yang mengirim kami. Sopir dan bodyguard yang ditugaskan adalah bagian dari kami. Tugas kami dua, membiarkan Mas Cakra mencapai apa yang Mas Cakra tuju dan melindungi Mas Cakra karena Tuan Adinata berkata Mas Cakra bisa saja terancam bahaya," jelas satu dari dua orang yang menghampirinya.

Cakra mengernyitkan dahi, Adinata? Kenapa? Seolah tahu isi kepala Cakra, orang yang sama berkata, "Tuan Adinata membiarkan Mas Cakra berhubungan dengan buronan karena Tuan Adinata mengetahui Mas Cakra sedang merencanakan sesuatu."

"Maaf kami terlambat, polisi di depan cukup sulit didiamkan," sambung satu orang lainnya.

"Kak Adi? Tapi Kak Adi──"

"Pak, semuanya..."

Kalimat Cakra dipotong oleh seseorang yang tiba-tiba bicara, menunjuk ke arah Neo hingga orang yang Cakra ajak bicara menoleh pada lelaki berpedang itu. Sedikit terkejut saat dia bisa mengalahkan tujuh orang dengan keahlian berpedangnya.

"Mas Nevan musuh? Benar?" tanya orang itu menatap Cakra.

Meski sedikit tak mau Cakra tetap mengangguk. "Jangan lukai dia," ucapnya yang dibalas dengan anggukan. Setelahnya seluruh orang berjas hitam yang tersisa menyerang Neo. Membuat Neo sesekali terkena serangan meski pada akhirnya Neo bisa menangani mereka. Tidak aneh mengingat jangkauan pedang lebih luas daripada pisau yang mereka gunakan. Apalagi dengan bakat luar biasa Neo dan pengalamannya dengan pertarungan. Bawahan Adinata memang profesional, Neo mendapat cukup banyak serangan dari mereka, staminanya juga berkurang cukup banyak meski pada akhirnya dia tetap keluar sebagai pemenang. Satu lagi yang membuatnya unggul, Neo maju dengan tekad membunuh sedangkan mereka melukai Neo sedikit parah pun tidak bisa. Lebih tepatnya tidak Cakra izinkan.

Bilah pedang Neo berlumur darah, dua tiga orang tumbang dengan tusukannya, mungkin mereka kehilangan nyawa. Sisanya hanya sayatan parah yang membuat mereka tidak bisa untuk bangkit lagi. Dibiarkan lebih lama, mereka pasti akan mati kehabisan darah.

Neo menghembuskan napas berat, menghempaskan pedangnya hingga darah menciprat ke sembarang arah. Setengahnya mengenai wajah Adhisty, membuat wajah gadis itu kini mencetak noda darah di beberapa titik.

"Seiren," panggil Neo mendekat pada Adhisty yang kembali mematung. Saat sudah sampai di hadapan gadis itu, di menoleh pada Nendra yang hanya berperan sebagai penonton. "Ayah, pinjam pisau itu, dong," ujarnya yang membuat Nendra tersenyum tipis.

Meraih pisau yang putranya maksud, Nendra melemparkan benda tajam itu hingga Neo bisa menangkapnya dengan sempurna. Yah, tentu saja setelah dia memindahkan pedang di tangan kanannya ke tangan kirinya. Pedang memang berat, namun Neo sangat hebat.

Setelah mendapat apa yang dia inginkan, Neo memperhatikan pisau milik Nendra. Dia berpikir kalau pisau lebih baik untuk Adhisty, garis itu... rasanya dia jadi tak ingin menorehkannya pada tubuh Adhisty. Entahlah, mengingat Adhisty memiliki hubungan dengan Nevan, Neo jadi malas untuk bersenang-senang dengan gadis itu. Milik Nevan tidak akan mau dia cap sebagai miliknya juga.

"Uhh." Neo mundur beberapa langkah kala Adhisty menendang perutnya dan lari darinya. Memungut pisau yang dijatuhkan salah satu orang, Adhisty berniat melindungi dirinya sendiri. Pintu memang terbuka, dia bisa saja lari dari tempat ini, namun, yah, bagaimana mungkin dia seperti itu? Cakra dan yang lainnya ada di sini, terluka dan dia tidak bisa meninggalkan mereka. Dia tidak ingin curang.

"Kamu memang setengah gila, ya, Seiren," ucap Neo diakhiri tawa.

Neo mendekat dan Adhisty mundur meski pisau dia arahkan pada Neo. Begitu sadar situasinya tak memungkinkan, Adhisty menurunkan pisau, menghela napas, lalu merentangkan tangan dan berkata, "Lo menang, Neo."

Neo tersenyum, menyelipkan anak rambut Adhisty ke belakang telinga gadis itu, dan mengusap darah di wajahnya dengan jari meski pisau ada di genggaman. Adhisty hanya diam, tentu saja diam, dia merasa tidak memiliki peluang.

"Selamat tinggal dan selamat beristirahat," ucap Neo tiba-tiba memeluk Adhisty. Sesaat kemudian rasa sakit menyerang Adhisty, tusukan sangat nyata dia rasakan dari punggungnya.

Neo melepaskan tangannya dari gagang pisau meski benda itu masih menempel pada punggung Adhisty, melepaskan pelukan, dia membiarkan Adhisty terjatuh meski pada akhirnya Cakra menangkap gadis itu.

Neo tersenyum. "Cakra, kalau ingin segera mengakhiri penderitaan gadis Seiren, ayo coba lepaskan pisau itu," paparnya.

Cakra menengadah, melihat wajah Neo yang sangat dia kenal. "Van, sadar!" sentaknya berusaha membangunkan Nevan.

Neo menggidikan bahu, Nevan tidak mungkin mau bangun setelah tahu segalanya. Dia kini beralih pada Amory yang tengah mengurus Ian. Berusaha menyadarkan lelaki itu dengan menepuk-nepuk pipi dan memanggil namanya.

"Jack pot utama," gumam Neo.

Cakra mengikuti gerakan Neo dengan matanya, melihat lelaki itu yang mendekat ke arah Amory. "NEVAN BANGUN!" teriak Cakra. "VAN, LO NGGAK AKAN BIARIN INI TERJADI, KAN?!" Diiringi air mata yang kembali menetes, Cakra terus berusaha menghentikan Neo dengan memanggil Nevan, tidak peduli dengan tenggorokannya yang sakit, dia sekuat tenaga meneriaki Nevan.

"NEVAN TOLOL SADAR!!"

"ARRGHH, VAN PLISSS!"

"Van, kali ini tolong dengerin gue." Cakra terisak, untuk yang satu itu dia melirihkan kalimatnya, memandang ke bawah di mana Adhisty terus meringis karena tusukan di punggungnya.

"Van..." panggilnya.

"Gila, lepasin gue dan cegah teman tolol lo itu!" papar Adhisty dengan suara pelan. Dia sadar apa yang Neo incar dan tentu saja dia tidak ingin Neo menang. Setidaknya cukup dirinya yang menjadi korban, jangan Amory. Nevan akan sangat terluka kalau seperti itu.

Cakra kembali membawa pandangannya naik, memperhatikan punggung Neo dan berteriak, "NEVAN ABRAHAM BANGUN!! SADAR SIALAN!"

•••

27.02.2023

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now