#09. Tersadar

351 40 0
                                    

Dering telepon yang terdengar membuat Cakra melenguh. Dengan mata yang setengah terpejam, pria itu meraba-raba bantal di samping kepalanya hingga sensasi dingin dia rasakan di telapak tangan. Dia menggenggam ponselnya sendiri, tanpa melihat siapa yang menelpon dia menekan tombol terima sebelum menempelkan benda itu di telinga.

"Halo," sapa Cakra dengan suara serak khas orang baru saja bangun tidur.

"Cak..."

Panggilan bernada aneh itu membuat Cakra membuka matanya dengan sempurna. Tanpa harus melihat, dia tahu kalau yang menelponnya adalah Nevan.

"Amory nggak ada di apartemennya. Dia juga nggak bisa dihubungi," ucap Nevan di seberang sana.

Cakra terdiam, tanpa sadar dia menahan napasnya sendiri untuk beberapa detik. Amory tidak pernah pergi kemanapun tanpa memberitahu mereka. Setiap akan pergi ke suatu tempat, gadis itu pasti mengumumkannya di grup karena hanya mereka yang dia punya.

Perkataan yang dia dengar dari Adhisty semalam terlintas di kepala pria itu dan membuatnya spontan bangkit dari kasur. "Gue ke sana sekarang," papar Cakra yang setelahnya langsung mematikan sambungan. Menyimpan ponsel di atas ranjang sebelum melesat ke dalam kamar mandi.

•••

Nevan dan Ian duduk di atas sofa, sedangkan Cakra memilih berdiri dengan pinggang yang menempel di meja panty. Ketiganya sama-sama diam, bergelut dengan pemikiran mereka sendiri. Terhitung sudah 20 menit mereka seperti itu, bingung dan takut hingga membuat mereka tidak tahu harus bertindak bagaimana.

Tidak ada tas Amory, tidak ada seragam kotor gadis itu. Bahkan Mekdi yang Amory katakan ingin dia beli semalam tidak ada di tempat ini meski sekedar bungkusnya. Gadis itu tidak ada sejak malam. Dia tidak pulang ke apartemennya. Kenyataan itu sudah cukup untuk membuat Nevan, Cakra, juga Ian menumpuk kekhawatiran.

"Gue harusnya nggak langsung pulang." Ian buka suara setelah beberapa saat. Caranya berbicara terdengar penuh dengan penyesalan. "Gue harusnya nunggu Amory di sini," lanjutnya. Pria itu hanya mampu menatap kosong pintu kamar mandi di seberangnya kala mengatakan itu.

"Sekarang... gimana? Laporan hilang cuma bisa setelah 24 jam," tanya Nevan menautkan tangannya di pangkuan.

"Amory belum pasti ilang, kan? Dia bisa aja ngeprank buat nakut-nakutin kita." Kali ini Cakra yang buka suara. Mencoba menanamkan pikiran positif pada dirinya sendiri meski sesungguhnya itu sulit. Sekeras apapun Cakra mencoba berpikiran baik, 90 persen perasaan juga pemikirannya mengatakan kalau Amory hilang. Kemungkinan besar gadis itu menjadi korban penculikan.

Nevan menggelengkan kepala, membantah apa yang Cakra ucapkan. "Dia emang jahil, tapi gaya Amory bukan kayak gini. Lo juga tahu kasus penculikan akhir-akhir ini, Cak," paparnya.

"Kalau minta lihat cctv di lingkungan ini bakal bisa nggak?" tanya Ian menolehkan kepala ke arah kanan. Arah di mana Nevan dan Cakra berada.

Cakra menggeleng kecil sebelum berkata, "Nggak. Biasanya cuma yang punya wewenang yang bisa. Tapi ayo akalin, kita nggak boleh diam aja."

•••

Di sinilah ACIN dengan minus satu anggota berada. Apotek tempat Amory membeli obat semalam. Di hadapan mereka terdapat sebuah monitor yang menampilkan rekaman cctv bagian luar apotek. Meski sempat beradu argumen dengan pegawai apotek, akhirnya ketiganya diizinkan untuk melihat rekaman meski harus rela mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari saku Cakra. Tapi tak apa, tabungan Cakra sangat banyak hingga lelaki itu bisa saja membeli rumah dua lantai di pusat kota.

"Itu Amory," ucap Ian menunjuk tepat ke arah tengah monitor.

"Dia masih kelihatan di sini. Kita seharusnya ke Mekdi nggak, sih?" tanya Nevan kala rekaman sudah tak lagi memperlihatkan Amory akibat jarak.

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang