#12. Pembuka

298 39 1
                                    

Perlahan kelopak mata Adhisty terbuka, mengerjap-ngerjapkan mata guna membiasakan diri dengan cahaya. Dia melihat sekelilingnya, tanpa harus diberitahu dia sadar di mana dirinya berada.

Tangannya naik, hendak memegang kepalanya yang berdenyut namun berhenti di udara kala sadar jarum infus terpasang pada lengannya.

"Lo udah sadar?"

Suara itu membuat Adhisty menoleh ke samping kiri, melihat Cakra yang berdiri di ujung brankar dengan paper bag kecil berwarna biru yang dijinjingnya. Kenapa? Kenapa ada Cakra di sini? Setidaknya begitulah yang Adhisty pikirkan.

Cakra mendekat, menaruh paper bag yang dia bawa di atas nakas seraya berkata, "Lo pingsan di masjid. Sekarang lo ada di IGD."

Adhisty tak membalas, gadis itu memikirkan apa yang dia lakukan sebelumnya. Seingatnya, setelah keluar dari apartemen Amory dirinya berjalan tak tentu arah. Menyembunyikan diri seraya berpikir apa yang harus dia lakukan di pelataran rumah sakit hewan sekitar. Saat pagi, dirinya meninggalkan tempat itu karena takut pemiliknya sadar, kembali berjalan tak menentu dengan beberapa bungkus roti berjamur yang tak sengaja ditemukannya. Bagaimanapun dia harus mengisi perutnya agar bisa bertahan hidup. Cukup jauh dirinya berjalan, sebuah masjid sepi mampu dia lihat. Masuk ke sana, dia menuju area belakang masjid di mana sebuah kolam ikan berada. Menyalakan keran, dia membuka sebungkus roti yang dibawanya. Memakan roti dengan dorongan air keran hingga saat satu roti nyaris dia habiskan perutnya bergejolak. Ada penolakan di lehernya dan apa yang dia makan seketika kembali keluar. Rasa pusing mendera, pandangannya memburam, dan dia merasa pijakannya berubah menjadi jembatan layang yang nyaris putus. Hanya itu yang dia ingat, selebihnya dia menemukan dirinya berada di atas brankar dan ada Cakra yang menghampiri.

Adhisty mengubah posisinya menjadi duduk meski ringisan kecil keluar dari bibirnya. Entah kenapa tubuhnya terasa ngilu dan kepalanya cukup sakit. "Kenapa lo di sini?" tanyanya pada Cakra.

"Nunggu lo bangun?" balasnya yang malah terdengar seperti pertanyaan.

"Kenapa?" tanya Adhisty membawa pandangannya pada lelaki itu. Bagaimanapun dia merasa aneh dengan situasi ini. Dia pingsan dan ada Cakra saat bangun. Lelaki itu kebetulan menemukannya, kah? Rasa-rasanya itu tidak mungkin.

Cakra menggidikan bahu, tangannya bergerak guna meraih paper bag dari atas nakas dan beralih menyimpannya di atas brankar. Tepat di sisi tubuh Adhisty. Dia membuka paper bag itu, mengeluarkan sebuah wadah transparan berbentuk cup minuman dengan satu buah sendok dari sana. Membuka wadah itu yang bagian atasnya tertutup, Cakra menyodorkannya pada Adhisty.

Dari baunya Adhisty tahu kalau itu adalah bubur kacang hijau, terlihat sangat kental lengkap dengan santan dan ketan hitam.

Melihat Adhisty tak kunjung menerima bubur itu, Cakra menggerak-gerakkannya, memberikan kode agar Adhisty segera mengambilnya. Bagaimanapun Cakra sudah sangat niat mencari bubur kacang hijau di luar rumah sakit.

Merasa lapar dan tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan untuk makan, Adhisty memilih menerima bubur itu. Persetan dengan harga diri yang biasanya menembus langit, makan lebih penting untuknya. "Thanks," ucapnya seraya menerima sendok dari Cakra.

Cakra mengangguk, memilih menarik kursi lalu duduk di sana. Derap langkah tergesa terdengar menghampiri mereka, mengalihkan pandang ke sumber suara, Cakra dan Adhisty menemukan Nevan di saja.

"Lama amat," komentar Cakra kala Nevan sudah berhenti di ujung brankar.

Nevan sendiri melirik Adhisty sekilas, bersyukur karena gadis itu sudah membuka matanya. Sebelumnya dia tahu Adhisty pingsan karena pesan dari Cakra. "Supir taksi gue tersesat. Baru kayaknya," balasnya menatap sang lawan bicara. "Ian mana?"

Cakra meringis, lupa akan sesuatu, dan itu membuatnya segera mengambil ponsel dalam saku. "Lupa gue. Dia di taman atap," ucapnya seraya mengetik beberapa kata di layar ponsel. Mengirim pesan pada Ian kalau Adhisty kini sudah sadar.

Adhisty sendiri memilih tak memedulikan mereka, dia hanya sibuk dengan makanannya yang kini hanya tersisa setengah. Heran sebenarnya kenapa Nevan sampai repot-repot kesini. Tapi persetan, itu bisa dia tanyakan nanti.

"Lo korban penculikan?"

Uhukk

Adhisty nyaris menyemburkan apa yang ada di mulutnya kala Nevan bertanya begitu secara tiba-tiba. Dia jelas terkejut dengan pertanyaannya. Membawa pandangannya naik, Adhisty kini menatap Nevan yang juga tengah menatapnya.

"Jawab aja iya atau bukan," lanjut Nevan yang tak kunjung mendapatkan jawaban.

"Sebenarnya Amory hilang," ungkap Cakra dan itu membuat Adhisty seketika membeku. Lagi? Batinnya berbicara.

"Kenapa lo bisa tahu Amory bisa aja hilang semalam? Hanya ada dua kemungkinan, lo korban atau komplotan," papar Nevan.

Tatapan Adhisty seketika berubah sinis karena kalimat Nevan. Hey, ayolah? Dia komplotan? Lebih baik Adhisty gantung diri daripada melakukan itu. "Jangan asal nuduh," balasnya.

"Gue cuma nanya," ucap Nevan.

"Adhisty!" Seruan itu terdengar, Ian tampak berjalan tergesa menghampiri mereka dengan sebotol minuman di tangannya. "Lo tahu di mana Amory, kan? Kasih tahu gue tolong. Amory diculik," ucapnya kala mereka sudah berhadapan. Dia tampaknya tidak bisa berbasa-basi atau sekedar sabar.

Adhisty tak langsung menjawab, dia memilih menatap buburnya lamat-lamat. Berpikir apa ia harus jujur ataukah menutupinya. Kalau dia jujur dia takut terjadi hal buruk, namun kalau tidak, dia pasti akan merasa bersalah seumur hidupnya. Kilasan memory tentang tempat paling mengerikan terputar di kepalanya. Dia mengingat tentang jeritan histeris juga tubuh tak bernyawa yang diseret tepat di depan matanya. Meninggalkan noda merah di sepanjang jalan yang dilalui tubuh itu.

Dia juga ingat tentang senyum seorang gadis seusianya, senyuman yang membuat neraka itu sedikit lebih baik. Wajah gadis itu tergambar jelas, suaranya mampu Adhisty dengar di kepala. Lalu ada ingatan dari satu tahun lalu yang membuatnya meremas selimut rumah sakit dengan satu tangannya yang bebas. Dia menggelengkan kepala, tidak, dia tidak boleh mengingat itu kalau tidak ingin hal buruk terjadi. Menepis ingatan buruk yang sangat ingin dia hilangkan, tiba-tiba saja dia memikirkan satu hal, dia menjadi sangat berambisi sekarang. Mengangkat pandangan, dia menaruh wadah buburnya di atas nakas. Matanya liar ke segala arah, memperhatikan semua penjuru ruangan dengan sorot waspada. Tangannya kini naik, memasangkan kupluk hoody pada kepalanya sendiri. "Bawa gue pergi dari sini. Kalian bisa dapat informasi yang kalian mau. Prolog..." Adhisty menggantung kalimatnya. Sengaja menatap Cakra, Nevan, lalu Ian bergantian tepat di mata mereka. Mengatakan satu kalimat mengejutkan yang membuat ketiga lelaki itu terdiam. Apa maksudnya? Setidaknya begitulah isi pikiran mereka. 

•••

11.10.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang