#85. Aku Menang

168 21 1
                                    

Amory merapatkan punggungnya pada tembok. Satu tangannya merentang, melindungi Ian yang tak sadarkan diri di sampingnya. Neo semakin mendekat, teriakan Cakra menggelegar kuat memenuhi ruangan.

Orang-orang berjas hitam tergeletak di beberapa titik ruangan dengan darah yang keluar dari tubuh mereka. Ajeng hanya bisa diam karena rantai yang melilit tubuhnya. Nendra duduk santai si atas meja, memperhatikan Neo yang tengah mengambil kembali miliknya.

Benar-benar buruk. Tidak ada sekutu yang bisa membalikan keadaan. "Van," panggil Amory saat Neo sebentar lagi sampai di dekatnya. "Ini gue," lanjutnya.

"Nevan sudah pergi, Amory," balas Neo menghentikan langkahnya. "Saya selalu ingin coba mengatakan ini. Hm, ada kata-kata terakhir?" tanyanya kemudian menggaruk alisnya sendiri. "Rasanya tidak keren."

"Van...." Lagi-lagi Amory memanggil Nevan, mengandalkan satu-satunya harapan yang dia punya.

"Eunghh...." Lenguhan Ian terdengar. Tangan pria itu bergerak dan menyentuh tengkuknya sendiri yang terasa sakit.

Mata Ian setengah terbuka, menemukan Neo yang ada tepat dihadapannya. Berhasil menyadari situasi, Ian menoleh pada Amory kala terus mendengarnya memanggil Nevan.

"Si tolol itu emang harus bangun," ucap Ian.

Dia menurunkan lengan Amory yang masih merentang di depannya, menengadah guna melihat Neo dan berkata, "Oy, tolol! Van, lo dengar, kan? Sadar bego, mau bunuh Amory lo?!"

Ian tertawa, tawa renyah yang sungguh tidak cocok untuk situasi ini. "Hahahaha, mana mungkin lo biarin ini, kan, Van?" tanyanya. "Jangan lawak."

"Kamu berisik, ya, Ian? Biasanya Amory yang paling berisik," ucap Neo. Meski tidak sering, namun saat bersembunyi di balik Nevan, Neo mampu melihat apa yang Nevan lihat. Itulah kenapa dia bisa tahu apa saja yang terjadi dengan ACIN ataupun Adhisty. Melaporkannya pada Nendra hingga ACIN selalu gagal.

"Jangan sok akrab, Neo, kita nggak lebih dari orang asing," papar Ian meremehkan.

"Hm, ini pertemuan pertama kita. Pertarungan pertama kita," balas Neo.

Sekelebat ingatan melintas di kepala Ian. Oh, saking terkejutnya dia melupakan satu hal. "Oy, Neo," panggil Ian. "Waktu itu, waktu tiga tawanan laki-laki terbunuh gue sempat hadapi orang berjas hujan dengan pedang ganda. Itu ciri khas lo, kan? Tapi saat itu Nevan ada sama kami, Nevan dipihak kami, gimana bisa?" tanyanya.

Neo memasang raut berpikir, sepertinya mengingat-ingat peristiwa yang sudah lama berlalu. Tak lama dia membulatkan mata, tampaknya sudah ingat apa yang Ian singgung. "Benar, waktu itu! Saya terkejut dia berani menyentuh pedang saya. Hm, dia bukan siapa-siapa, hanya bidak di papan catur yang mengangguk saat diperintahkan. Oh, kamu pasti kenal orang itu Ian, dia bawahannya Number 2," jawabnya.

"Bawahan Number 2." gumam Ian mengulang kalimat Neo. Artinya bawahan Adinata bukan? Nendra telah mengaku sebagai Number 1, artinya hanya Number 2 yang tersisa untuk dicap sebagai Adinata.

"Huh, ayo sudahi bincang-bincang ini, Ian. Saya bosan dengan kamu," ujar Neo mengalihkan pandang. Dia menoleh pada Amory, melirik lehernya yang dibanjiri keringat. Menusuk Amory di tempat itu tampaknya tak cukup buruk. Ian juga melemah, dia pasti tidak memiliki cukup tenaga untuk melindungi temannya.

Neo menggerakkan lengan kanannya, mengangkat pedang setinggi leher Amory, lalu mendekatkan ujungnya.

•••

"Ahhh...."

Kepala Nevan terasa pening, dia ingin menyentuh itu namun tangannya seolah hilang. Tidak bisa dia rasakan. Nevan melihat ke sekeliling, merasa sangat aneh dengan tempatnya saat ini karena semuanya hanya berwarna putih. Nevan melihat ke bawah, terlonjak saat dia tak menemukan apa-apa. Tubuh yang seharusnya mampu dia lihat tak ada di sana. Oh, apa yang terjadi?!

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now