#37. Kecelakaan?

186 16 1
                                    

Nevan masuk ke dalam apartemen Amory setelah pintu tempat itu terbuka sesaat lalu. Menarik kursi belajar untuk dia duduki terbalik, Nevan menumpukan lengannya pada ujung punggung kursi. "Big news, guys, gue udah kasihin video semalam tadi pagi sama Ayah gue. Katanya dia akan cari tahu dulu keaslian video itu sebelum proses semuanya," ucap pria itu terdengar semangat.

Amory yang tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer, melirik Nevan lewat ekor matanya. "Naiseu, chinggu. Kalau Om Nendra yang urus pasti cepat selesai," paparnya.

"Tapi gimanapun juga video itu ilegal, kan? Nggak bisa dijadiin bukti." Adhisty yang baru masuk ke dalam setelah dia menikmati udara pagi di balkon mengutarakan apa yang dia pikirkan. "Gue kira kita bakal kirim pesan anonim. Tapi lo malah kasih ke bokap lo? Cih."

"Ayah Nevan pengacara kondang, Disty," ucap Amory mematikan pengering yang dia gunakan. Kini, rambutnya telah kering dengan sempurna.

"Pengacara? Pekerjaan itu bahkan nggak ada hubungannya sama misi gue," seloroh Adhisty.

Amory menghela napas, bangkit berdiri dan meraih jas Purnama Biru yang tergantung di tempat penyimpanan. "Om Nendra punya banyak kenalan di kejaksaan, kepolisian, bahkan dia kenal sama banyak hakim senior. Gue rasa lo paham dengan itu, Adhisty," paparnya.

"Dan video itu bakal lebih berguna di tangan orang yang tepat," sambung Nevan.

"Intinya lo tenang aja. Kita hanya tinggal tunggu kabar baiknya. Semua akan berjalan lancar, kita pasti menang, dan kebusukan Kepsek bakal terbongkar. Hohoho, gue merasa keren banget sekarang. Dahlah, harus sekolah ini."

•••

"Van, Om Nendra belum kasih kabar?" Seraya membuka bungkus es krim vanilanya, Ian bertanya hal yang sudah dia tanyakan lebih dari lima kali sejak pagi tadi.

"Kalau udah gue pasti bilang, Yan," balas Nevan yang duduk tepat di sampingnya.

Ini pukul 12.30 siang dan ACIN sekarang tengah berada di bagian depan salah satu supermarket si pusat kota. Sekedar untuk menikmati es krim yang mereka beli dengan seragam Purnama Biru yang melekat pada tubuh. 12.30 dan siswa SMA berkeliaran di luar adalah hal yang jelas tidak normal, namun, berhubung Purnama Biru tiba-tiba mengadakan rapat akibat kedatangan orang penting, semua murid dibubarkan sebelum waktunya. Senang? Oh, tentu saja iya, semua pelajar pasti akan senang jika jam pulang tiba-tiba dimajukan meski untuk satu hari.

"Omong-omong, setelah ini berakhir, Adhisty bakal pergi, kan?" Pertanyaan tiba-tiba yang Ian lontarkan membuat Amory menghela napasnya berat.

"Huft, gue sebenarnya cukup senang sama kehadiran dia di apart. Berasa punya saudara," ucap Amory yang menggenggam ujung stik es krim coklat yang dia beli. Ah, lebih tepatnya, yang dibelikan Nevan.

"Meski kasar dan nggak ramah?" Nevan memberikan reaksi herannya atas kalimat yang dilontarkan teman perempuannya itu.

"Ya, emang, sih, dia kasar, nyebelin, nggak bisa jujur sama perasaannya sendiri, susah buka diri, dan masih banyak hal-hal buruk tentang dia. Tapi dia baik sebenarnya," balas Amory.

Di sampingnya, Cakra menganggukan kepala. Es krim corn di genggamannya dia gerak-gerakan pada Amory. "Gue setuju. Dia cukup menarik dan menyenangkan."

Oh, sontak saja kalimat itu membuat Cakra diperhatikan semua temannya. Anehnya mereka memasang wajah shock berlebih seolah Cakra baru saja mengatakan sesuatu yang luar biasa.

"Lo... lo beneran Cakra Algev Lesmana?" Amory mewakili semuanya untuk bertanya. Masih menatap Cakra kaget dan itu membuat Cakra meringis kecil.

"Kalian... gue... ada yang salah?" ucap Cakra mengecilkan suara.

"ADA!"

Nyaris saja Cakra menjatuhkan es krimnya saat Ian, Amory, dan Nevan menyentaknya secara bersamaan. Oh, apa-apaan mereka ini? Apa yang salah memangnya?

Mendengus, Cakra kemudian bangkit berdiri. "Ayo pulang," ajaknya karena tahu es krim Nevan telah habis. Begitupun dengan Ian dan Amory. Miliknya pun akan segera selesai.

•••

Memasuki mobil dan memasang sabuk, Nevan mulai melajukan mobil Cakra──ah, atau lebih tepatnya keluarga Cakra. Membelah jalanan kota dengan tujuan yang tentu saja gedung apartemen Amory.

Belum mencapai setengah jalan, dering ponsel terdengar. Amory melirik pada ponsel yang tergeletak di atas dashboard. Ponsel yang menjadi sumber suara dengan layar yang menyala. "Punya lo, Van," ucapnya.

Satu tangan Nevan terulur, tersenyum cerah kala membaca nama si penelepon. "Ayah gue, guys," ucapnya sebelum menekan tombol terima dan menempelkan benda persegi itu pada telinga tanpa menghentikan laju mobilnya.

Mendengar itu, Amory, Cakra, dan Ian menatap ponsel Nevan penuh minat, seakan menanti kabar yang akan disampaikan Nendra di seberang sana. Ah, bukan seakan, tapi mereka memang benar-benar menantikannya. Ayolah, panggilan dari Ayah Nevan sudah mereka harapkan sejak tadi.

"Apa? Hilang? Jadi belum sempat diapa-apain, dong, videonya, Yah?" Tidak seperti dugaan, respon Nevan yang teman-temannya lihat dan dengar mampu membuat mereka tahu kalau Nendra tidak menyampaikan kabar baik.

"Iya, Van, waktu berangkat ke kantor Ayah, ada sekelompok orang asing yang cegat mobil Ayah. Kamu bisa tebak sendiri gimana kelanjutannya. Ayah udah coba cari pelakunya dibantu kenalan Ayah di kepolisian, makannya Ayah lama kasih kabar ke kamu. Tapi sampai sekarang nggak ada kemajuan. Kayaknya lebih cepat kalau kamu kirim ulang video itu, deh, Van. Itu juga berhubungan sama Seiren Adhisty dan Ayah ambil bagian soal itu. Kamu masih punya, kan?" Penjelasan Nendra hanya mampu didengar oleh Nevan seorang. Itulah kenapa hanya dirinya yang kini menghela napas berat. Meski begitu, semua temannya tahu kenyataan seperti apa yang menampar mereka. Pada akhirnya, yang mereka harapkan belum tumbuh menjadi apa-apa. Yah, mereka rasa ini akan memerlukan waktu yang lebih lama.

"Yaudah, Yah, nanti aku kirim lagi videonya. Tapi kalau bisa cepetan proses, ya, Yah. Cewek-cewek di video diperlakuin nggak manusiawi dan pelakunya adalah kepala sekolah aku. Ayah harus tangkap dia, dia nggak cocok punya jabatan kepala sekolah," papar Nevan.

Mengetahui isi percakapan tak sesuai ekspektasi, Amory menjadi tak tertarik lagi. Gadis itu mengalihkan pandangannya dari Nevan, memilih untuk menoleh ke luar jendela dan saat itu juga pikirannya melayang begitu saja. Entahlah, sarafnya seakan tak aktif. Dia tak mampu bereaksi apa-apa padahal bagian depan sebuah truk putih yang melaju kencang ke arahnya tercetak jelas pada bola mata gadis itu.

"V-va──"

Brakkkk

Hantaman keras tak bisa terhindarkan. Pekikan para pengguna jalan seketika membuat kericuhan. Mobil yang Nevan kendarai terseret hingga terguling akibat kerasnya hantaman. Setelahnya kepulan asap seketika menenggelamkan mobil dari pandangan.

Sayup-sayup kicauan orang-orang memasuki indra pendengaran Amory, matanya berkedip lambat, menatap Nevan yang kedua sisi wajahnya dipenuhi darah. Aaahhh, apakah gue bakal mati? Begitulah kalimat yang terlintas di kepalanya.

Keinginan untuk melihat dua temannya yang lain tak mampu ia wujudkan kala lehernya tak bisa digerakan. Ah, tidak, bukan hanya lehernya yang tak bisa bergerak, Amory seakan kehilangan kendali atas seluruh tubuhnya. Gadis itu mulai kesulitan menghirup udara, dadanya naik turun tak beraturan bersamaan dengan memberatnya kelopak mata yang basah tanpa disadarinya.

•••

01.12.2022

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang