#21. Full Member

281 29 2
                                    

"Jadi, lo di sana selama satu tahun dan sampai sekarang masih waras? Waw, apa lo punya semacam ilmu gaib?"

Meski sempat melamun dan menangis selama kurang lebih dua jam, Amory yang sekarang sudah ada di apartemennya sendiri mulai menampakan identitasnya. Mengingat Ajeng, dia jadi sadar kalau dirinya tidak bisa terus meratapi sesuatu, dia harus bangkit, dan menjadi dirinya sendiri. Tidak boleh ada trauma, tidak boleh menjadi cengeng, tidak boleh mengasihani diri sendiri. Sekali lagi, Amory ingin keren seperti Ajeng.

"Gue bukan bajingan," jawab Adhisty karena memang pertanyaan itu ditujukan untuknya.

Kini, ACIN full member dan Adhisty tengah lesehan mengelilingi sebuah meja persegi di tengah apartemen studio Amory setelah menyingkirkan meja bulat yang semula diletakan di depan sofa terlebih dahulu.

Di atas meja itu terdapat sebuah panci berisi mie kuah lengkap dengan beberapa toping yang dimasak Cakra saat mereka tiba di apartemen. Bagaimanapun ini sudah waktunya untuk makan malam. Terlebih, selama beberapa waktu kebelakang Amory tidak makan apapun. Ayolah, meski diberi makanan oleh Neo, gadis itu tidak memiliki selera. Makanan kaleng yang tampak sangat mencurigakan mana mungkin akan Amory makan kecuali gadis itu benar-benar kelaparan.

"Tapi asli, tinggal di tempat itu bisa bikin orang jadi nggak waras. Kalau aja nggak ada Ajeng, gue pasti keburu mati putus asa sebelum sempat ikut ujian," ucap Amory yang setelahnya memasukan mie ke dalam mulutnya.

Mendengar nama tak asing itu disebut, Adhisty menghentikan gerakan makannya, dia membawa pandangannya pada Amory, menyorotnya aneh, dan itu membuat Amory berhenti mengunyah.

"Gue doang atau emang suasana jadi agak beda?" Ian buka suara. Memperhatikan teman-temannya dengan sumpit di tangan.

"Agak──"

"Ajeng, dia masih bertahan, kan?" Perkataan Nevan dipotong begitu saja. Gadis yang memotongnya kini terasa memiliki banyak harapan pada Amory. Dia bahkan sampai menggenggam erat-erat sumpit yang dia pegang.

Meski terasa aneh, Amory memilih mengangguk, perlahan kembali mengunyah, dan memutus pandangan dari Adhisty. "Hoo. Dia sehat walafiat. Lo pasti diajak ngobrol juga sama dia," paparnya. "Eh, tapi..." Menggantung ucapannya, gadis itu mengerutkan alisnya seraya kembali membawa netranya pada Adhisty, "kalau dia orang terakhir sebelum gue, berarti Ajeng sama lo duluan lo, kan, ya?" lanjutnya.

Adhisty menyimpan sumpitnya di atas meja, meraih gelas berisi air mineral, dan meminumnya. Setelahnya dia menarik napas dalam, menunduk, seraya membuang napas itu lewat mulut. Entah kenapa, terasa ada yang janggal dengan gadis berambut pendek itu. "Dia bukan orang terakhir sebelum lo. Dia udah 6 bulan di sana. Badai hujan tiba-tiba 6 bulan lalu, dia diculik saat itu. Musim hujan tahun ini udah ada 2 orang yang diculik sebelum gue kabur. Setiap ada korban baru, dia emang selalu ngaku sebagai orang terakhir sebelum korban itu," paparnya.

Amory terdiam, entah kenapa selera makannya hilang padahal mie buatan Cakra adalah yang terbaik menurutnya. Ada perasaan tak enak yang hinggap di hati gadis itu, dia cukup sedih saat mengingat Ajeng masih terkurung di tempat itu.

"Lupakan Ajeng. Amory bebas dengan sendirinya. Tapi, gue mau imbalan gue tetap ada." Jujur, Adhisty sedikit malu mengatakan itu, namun tak apa, demi tujuannya dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. ACIN adalah satu-satunya harapan setelah kantor polisi mengecewakannya.

"Lo beneran nggak tahu malu ternyata," ucap Nevan tanpa melirik Adhisty.

Kalau biasanya Adhisty akan melemparkan tatapan sinis saat dikatai, namun, kini dia tak melakukan itu. Dia hanya menatap sumpit di depannya tanpa mengatakan apa-apa. Dia tahu, dia memang tak tahu malu.

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang