#72. Dua Kasus

137 18 2
                                    

"Sayang."

Adhisty tentu saja membeku kala dia melihat seorang wanita yang tak asing berada di ruang rawat Amory. Menyapanya, kemudian melangkah cepat guna menghampirinya yang berada di belakang Amory. Pelukan dia dapatkan bersamaan dengan topi putihnya yang terjatuh ke lantai.

Gadis itu hanya diam, hanya menerima pelukan tanpa membalasnya. Kedua tangannya tetap menjuntai di sisi tubuh, sedikit mengepal guna menyalurkan perasaan campur aduk yang bergejolak di dadanya.

Lama waktu berlalu, pelukan hangat itu akhirnya terlepas. Dengan mata kemerahannya, si pemeluk menatap mata Adhisty dalam-dalam dengan kedua tangan yang memegang bahu gadis itu. "Lepas masker kamu coba, Mom kangen wajah kamu," ucapnya.

Tanpa bicara, Adhisty menurut, mengangkat lengan kanan, dan melepaskan masker yang dipakainya. Wanita itu, ibunya, tersenyum haru begitu Adhisty menurutinya. Dari bahu, satu tangannya beralih pada pipi Adhisty, mengelusnya masih dengan senyum yang terpatri. Gurat kerinduan tergambar jelas, dia juga tampak seperti wanita yang ingin menangis namun menahannya. "Sayang, kenapa nggak kabarin Mommy tentang apa yang terjadi?" tanyanya. "Papa kamu? Apa yang dia lakukan sampai kamu nggak terurus kayak gini?"

Untuk beberapa detik, Adhisty masih diam, membiarkan ibunya terus memandangnya dan mengelus pipi juga rambutnya. Namun, detik selanjutnya, saat dia akhirnya bicara, tangan sang ibu berhenti bergerak.

"Ngabarin juga nggak ada gunanya, kan? Mom tetap nggak bakal datang meski aku bilang nyaris mari beberapa kali."

Mendengarnya, Sena, ibu Adhisty merasakan sesuatu yang tak kasat mata mengiris hatinya. Oh, dia semakin merasa gagal sebagai orang tua. "Maaf, Sayang, Mom harusnya lebih perhatian dengan kamu," paparnya kembali membawa Adhisty ke dalam pelukan.

•••

Sekitar pukul 10 pagi Cakra memasuki kawasan rumahnya, mengernyit heran saat melihat orang-orang sangat sibuk dan tempat ini sangat ramai. Apalagi kala dia melewati bagian depan rumah dan mendapati sekumpulan wartawan berkumpul di sana.

Apa mungkin ada perkembangan soal kasus orang-orang penting? Oh, dia tak mengikuti update berita karena terjebak di polsek sampai beberapa jam lalu. Oke, dia harus mengeceknya begitu sempat.

Menghentikan mobil di garasi, Cakra keluar dari sana. Melangkahkan kaki mendekati rumah utama dan hendak masuk lewat pintu samping. Namun, begitu membuka pintu, dia dikejutkan dengan keberadaan seseorang di balik pintu, tampaknya orang itu juga hendak membuka pintu namun didahului Cakra.

Cakra memperhatikannya dari bawah ke atas, penampilan itu sangat asing di tempat ini. "Mas... Zura?" gumamnya bernada tanya. Entahlah, dia sangat heran kenapa kakaknya yang satu itu berpenampilan serba hitam dan sangat tertutup. Topi, masker, kaus, jaket, celana, sepatu, bahkan hingga sarung tangan semuanya berwarna hitam. Biasanya di jam seperti ini Kenzura berpenampilan layaknya pengusaha, setelan jas, sepatu pantofel, jam tangan mewah, dan lain sebagainya. Namun, ada apa dengan hari ini? Cakra sepertinya sungguhan tertinggal banyak informasi.

"Di sini!"

Seruan itu membuat dua kakak beradik di ambang pintu menoleh ke sumber suara, menemukan segerombolan wartawan tengah berlari ke arah mereka.

Kenzura meringis, menurunkan topi yang dipakainya agar membuat wajahnya semakin tersembunyi. "Cak, maaf, saya harus pergi sekarang," ucap Kenzura tanpa menoleh pada Cakra. Pandangannya turun, menghindari kamera yang menjepretnya tanpa henti seraya melangkah menjauhi Cakra dan para wartawan yang kini mengajukan banyak sekali pertanyaan.

Cakra sendiri tentu tak tinggal diam, dia menyusul Kenzura dan menahan lengannya. "Apa yang terjadi, Mas? Kasus orang penting?" tanyanya karena memang dia sempat mendengar hal itu dilontarkan salah satu wartawan.

Kenzura terpaksa berhenti, menoleh pada Cakra dan kali ini menatapnya. Oh, Kenzura bisa menangkap dengan jelas sorot kekhawatiran yang adiknya itu tampilkan. "Entah kenapa saya dituduh menjadi dalang dibalik kasus itu, Cak. Untuk saat ini saya akan menghindar sebelum berhasil membersihkan nama saya," ucapnya.

Terkejut? Oh, tentu saja iya. Harusnya Adinata bukan yang terseret? Kenapa malah Kenzura? Apakah kakak tertuanya itu menumbalkan adiknya sendiri untuk bebas dari tuduhan? Huh, Cakra sungguh tak habis pikir dengan Adinata. Persaingan antara dirinya dan Kenzura memang ketat, ayah mereka lebih menyukai Kenzura dan tampaknya memiliki rencana untuk menjadikan Kenzura penerusnya meski sejujurnya Kenzura sendiri tidak pernah setuju dengan itu. Namun, menjadikan Kenzura kambing hitam? Hey, bukankah Adinata sangat keterlaluan?

"Kak Adi. Dalang sebenarnya adalah Kak Adi, Mas," papar Cakra memastikan kalau yang mendengarnya hanyalah Kenzura.

Melebarkan mata, Kenzura sama sekali tak menyangka dengan apa yang Cakra katakan. Ingin menyangkal, namun karena Cakra yang mengatakannya dia tidak punya pilihan selain percaya. Hey, adik bungsunya itu tidak bisa berbohong. Terlebih untuk hal semacam ini.

Satu tangan Kenzura naik, menepuk-nepuk lengan atas Cakra kemudian berkata, "Saya akan pastikan semuanya selesai, Cakra. Katakan pada yang lain agar tidak usah khawatir. Saya tidak bersalah."

Setelah mengatakannya pria itu kembali pada tujuannya semula, berjalan cepat meninggalkan Cakra yang kini menghalangi para wartawan yang hendak mengejar Kenzura. Tidak peduli flash kamera yang membuat matanya silau, tidak peduli dengan tubuhnya yang didorong-dorong, dia hanya terus merentangkan tangan dan bertahan selama mungkin agar orang-orang ini tak mengejar kakaknya.

•••

Saat ini ada dua berita paling panas yang menggemparkan masyarakat. Pertama, terungkapnya dalang di balik kasus orang-orang penting yang ternyata putra kedua Lesmana. Hal itu diungkap pagi tadi oleh salah satu perusahaan pers yang mempublikasikan bukti pasti yang katanya dia dapat dari pengirim anonim. Kedua, penemuan lebih dari lima belas mayat di hutan pinggiran yang bahkan membuat presiden turun ke depan kamera dan berjanji akan mengungkap kasus itu secepatnya.

Situasi ibu kota benar-benar kacau sekarang. Dua kasus yang sebenarnya berhubungan mengudara dan membuat masyarakat meledakan amarah mereka. Terlebih para sahabat dan kerabat korban yang kini diliputi duka.

Di tengah-tengah itu semua, kepala sekolah panik luar biasa saat pintu rumahnya diketuk secara kasar. Dia sudah menonton berita dan mulai tak karuan saat jasad-jasad yang dia kubur kini naik ke permukaan.

Seharusnya dia senang karena bom akhirnya meledakan Theo Lesmana, pria itu pasti sangat murka karena berita buruk soal putranya tersebar di media. Tinggal menunggu waktu hingga kepolisian menemukan bukti pasti dan.... meski sedikit saja, meski tidak bisa menyeretnya ke penjara, dia ingin melihat Theo Lesmana juga El Family sengsara.

Namun, apa ini? Berita yang tidak pernah dia sangka-sangka malah muncul dan menghancurkan kesenangannya.

Braakkk

Pintu seketika didobrak, terbuka sangat lebar, dan beberapa petugas polisi dengan kardus di tangan mereka masuk ke dalam rumah.

Kepala sekolah yang terlalu lama memutuskan tindakannya kini hanya diam memaku saat tiga petugas menemukannya. Polisi yang paling depan menunjukan kertas ke hadapan kepala sekolah sebelum berkata, "Surat penangkapan dan penggeledahan. Pak Hobi Poernomo, Anda ditangkap atas tuduhan penculikan, penyekapan, dan pembunuhan beberapa remaja..."

Saat polisi itu selesai merampungkan kalimatnya sesuai prosedur yang ada, polisi yang lainnya bergerak, memasangkan borgol pada tangan kepala sekolah yang tak berontak sama sekali. Pria gemuk itu hanya menatap kosong televisi yang sekarang membahas perkembangan kasus orang-orang penting.

•••

26.01.2023

The Secret [COMPLETED]Kde žijí příběhy. Začni objevovat