#36. Ayah dan Anak

187 15 3
                                    

Menggenggam senter kecil yang menyala, Neo tertawa kala dia mengarahkan cahaya senter itu pada sebuah benda berukuran kecil yang menempel pada bagian atas lorong ruang bawah tanah. Cukup tersembunyi sebenarnya.

Tawa pria itu menggelegar, sangat keras dan renyah. Kalau saja Bosnya yang tak lain kepala sekolah Purnama Biru ada di tempat ini, orang itu pasti akan mengumpatinya gila dan hal-hal semacam itu.

"Permainan ini berkembang cukup baik. Hm, endingnya bakal seperti apa, ya?" gumam pria itu pada dirinya sendiri. "Mr. Pig adalah orang paling bodoh. Dia bahkan tidak sadar kamera-kamera ini."

Neo menurunkan senternya, berjalan meninggalkan tempat ini dan menuju tujuannya semula. Sebuah ruangan pribadi milik pimpinan paling tinggi. Ruangan yang selalu menjadi tempat eksekusi bagi si pelanggar paling bodoh.

Neo membuka pintu ruangan itu. Gelap total. Kalau saja dia tidak membawa senter, Neo pasti tidak bisa melihat apa-apa.

Lelaki dengan jas hujan ponco itu mendekat ke arah sakelar, menyalakan lampu hias yang ditempel pada sisi-sisi rak. Mengaturnya pada pencahayaan remang. Setelahnya dia mengambil posisi untuk duduk di atas salah satu sofa. Mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja dan menyalakannya. Sejauh ini, di antara dirinya, kepala sekolah, dan Number 2, hanya dia yang berani masuk ke ruangan ini tanpa disuruh pemiliknya. Oh, lagipula tidak ada yang dia takutkan karena bagaimanapun dirinya seorang yang spesial. Kepala sekolah dan Number 2 tidak tahu hal itu, membuat Neo selalu mengejek mereka dalam hati.

Setelah mengutak-atik ponsel di genggamannya, Neo memiringkan benda itu, menonton video yang terputar dan itu membuatnya lagi-lagi tertawa. Lebih dari lima kali Neo menonton video yang sama, sangat puas dengan apa yang dilihatnya. Sekarang dia tampaknya sudah bosan, kembali meletakan ponsel di atas meja, lalu menyandarkan punggungnya. Dia menghela napas dan berkata, "Sekarang, bagaimana reaksi mereka, ya?" Tangan Neo naik, menunjukan tiga jarinya satu persatu dan bergumam, "Mr. Pig, Number 2, dan Ayah."

•••

Memasuki rumahnya tepat saat pukul 3 dini hari, Number 1 terkejut akibat seseorang yang berdiri di tengah-tengah gelap ruang tamu dengan cahaya senter yang diarahkan pada dagunya.

Menetralkan keterkejutan itu, Number 1 menatap lekat-lekat sosok di depannya yang masih dalam posisi sama. "Ne... ah, Neo. Itu kamu bukan?" tanyanya.

Sosok di depan Number 1 akhirnya menurunkan senter, berjalan ke arah sakelar, lalu menyalakan lampu hingga ruang tamu kini menjadi terang. "Ayah, saya ingin bicara," ucapnya memutar kepala ke belakang, melihat Number 1 singkat, lalu melangkahkan kaki menuju ruangan lain. Membuat Number 1 mengikutinya hingga mereka kini berada di kamar Neo.

"Kenapa?" tanya Number 1 begitu dia selesai menutup pintu. Menatap putranya yang tengah duduk di atas ranjang dengan laptop di pangkuan. Tidak ada jas hujan ponco, tidak ada topeng putih, dan tidak ada sarung tangan lateks. Saat ini Neo tidak tampak seperti orang aneh, melainkan sesosok pemuda biasa yang wajahnya sangat mirip dengan Number 1. Sama sama menawan dan penuh akan pesona.

"Lihat ini," ucap Neo setelah beberapa saat. Itu membuat Number 1 melangkahkan kaki mendekat, melihat layar laptop yang Neo arahkan padanya.

"Mungkin pagi nanti ACIN bergerak. Ayah pasti akan dapat," ucap Neo ditengah kefokusan Number 1 dengan video yang terputar. "Dia mungkin menyerahkan semuanya pada Ayah."

Wajah tampan Number 1 tak menunjukan reaksi apa-apa meski video telah berakhir. Dia hanya diam seolah tidak ada hal apapun yang terjadi. Beberapa saat seperti itu, namun Neo sama sekali tidak keberatan. Neo rasa itulah Ayahnya, dia memang terkadang seperti ini.

"Neo, kamu tahu sejak awal bukan?" Nada dingin itu membuat Neo menipiskan bibir, tidak ingin menatap Number 1 saat orang itu mulai menatapnya. Reaksi ini, dia tidak menyangka sebelumnya. Number 1 adalah Ayah terbaik, karena dirinya spesial, apapun yang dia lakukan akan selalu dimaafkan. "Kamu pasti tahu. Benar? Apa yang coba kamu lakukan, Neo? Mulai dari penculikan Amory, kamu rasanya melakukan sesuatu di balik Ayah."

Neo memainkan bibir bawahnya dengan gigi, masih tidak ingin menatap wajah Number 1 karena menurutnya itu akan sangat menakutkan. Ini pertama kalinya bagi Neo sejak dirinya ada.

Helaan napas terdengar, tentu saja itu adalah Number 1. Neo sekarang bisa merasakan ranjang yang dia duduki bergerak, ayahnya telah duduk tepat di sampingnya. Sesaat kemudian Neo juga merasakan rangkulan pada bahunya. "Neo, tidak usah bilang. Ayah tahu kamu memang tahu sejak awal soal kamera-kamera itu. Ayah juga tahu kamu melakukan sesuatu seorang diri. Berhubungan dengan ACIN, bukan? Ayah juga memiliki hal bagus, sama seperti kamu, Ayah juga ingin ACIN masuk dan melihat kita. Tapi, hanya ACIN. Ayah tidak ingin mengekspos para pelanggar itu ke dunia luar. Dengar, Ayah hanya perlu Amory masuk perangkap dan Ayah akan buat kamu memiliki identitas. Ayah akan menunjukan kamu, Neo," papar Number 1 panjang.

Kalimat-kalimat itu membuat Neo berhenti memainkan bibir bawah, perlahan menolehkan kepalanya ke samping hingga dia bertatapan dengan Number 1. "Benarkah?" tanyanya.

Number 1 tersenyum, satu tangannya yang bebas naik dan mengacak rambut Neo. "Hanya pada kamu Ayah tidak pernah berbohong. Tapi, maaf, Neo, ada sedikit hukuman untuk kamu. Bagaimanapun masalah yang kamu timbulkan cukup fatal," ujarnya. 

Neo juga tersenyum, mengangguk semangat kemudian berkata. "Baiklah. Hukuman seperti apa?"

"Persiapkan diri saja untuk besok."

•••


01.12.2022

The Secret [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt