#76. Mimpi Buruk

129 19 3
                                    

Atap gedung apartemen Amory. Ya, tempat yang kini Nevan gunakan sebagai pelariannya. Dia menjuntaikan kakinya ke bawah, sama sekali tak takut meski ini adalah gedung sebelas lantai. Kepalanya terlalu berantakan untuk bisa merasakan takut.

Drrrttt
Drttttt
Drrrttt
Drrrttt

Sejak lima menit lalu, benda pipih yang tergeletak di sisinya terus saja bergetar. Tiga orang terus memanggilnya secara bergantian.

Nevan sendiri hanya diam, mengabaikan getaran pada ponsel karena dia sungguhan tidak mampu untuk mengangkat itu.

Azan isya berkumandang, saling bersahutan karena masjid di lingkungan ini tentu tidak mungkin hanya ada satu. Ya, tepat sekali, ini sudah malam. Sejak Nevan melarikan diri dari rumahnya sendiri, dia menghabiskan waktu untuk menyendiri di sini selama berjam-jam.

Kalimat terakhir ayahnya yang dia dengar terus terputar di kepala Nevan layaknya kaset rusak, membuat dadanya terasa seperti dihantam benda tumpul berkali-kali dengan kekuatan penuh. Teman Amory dan Seiren. Ujian. Nilai terburuk. Oh, itu terdengar sangat jelas. Nevan tidak bodoh untuk tidak paham dengan kalimat ayahnya. Dia sangat peka kalau berhubungan dengan hal semacam itu. Ayahnya secara terbuka mengakui di depan dirinya kalau dia terlibat dengan penculikan. Ayolah, rasa sakit mana lagi yang bisa mengalahkan kondisi Nevan saat ini?

Merasa dikhianati? Oh, entahlah, Nevan sendiri kesulitan mengenali perasaannya saat ini. Terlalu buram tapi sakitnya sangat nyata. Ayahnya, ayahnya adalah orang jahat. Pria yang sejak dulu dia idolakan adalah orang yang membuat banyak remaja kesulitan, salah satunya Amory, temannya, temannya yang berharga.

Nevan menggigit bibir bawahnya sendiri, rasa sakit itu semakin memuncak dan membuat air matanya hadir begitu saja. Lolos dari bendungan di pelupuk dan membuat aliran sungai di pipinya. Nevan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara, namun pada nyatanya itu sulit. Dia kini memilih membiarkan itu, menangis seperti balita tanpa peduli berapa usianya.

Pria itu meluapkan segala macam emosi yang berkecamuk, membuat wajahnya memerah dan terasa hangat. Dadanya kian sesak, membuat tangannya naik dan memukul-mukul dada itu. Sakit, teramat sakit. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan pada Adhisty dan yang lainnya? Bundanya, Vellia, ah, dia harus bagaimana menjelaskannya pada sang bunda?

Clak

Clak

Clak

Tetesan air mampu Nevan rasakan di tubuhnya, rintik hujan mulai turun dan itu membuat Nevan menengadah. Wajahnya masih banjir air mata, namun tangisnya sudah lebih baik sekarang.

Drrtt
Drrtt
Drrtt

Getaran yang sempat berhenti, kini mampu Nevan dengar dan rasakan lagi. Menoleh ke samping, nama Cakra tertera di layar ponselnya. Nevan meraih ponsel itu, menggeser salah satu tombol, lalu menempelkannya di telinga.

Nevan tak berkata apa-apa, namun Cakra di seberang sana juga tak berkata apa-apa. Untuk beberapa saat seperti itu, hingga akhirnya suara Cakra mampu Nevan dengar.

"Lo kenapa?" tanya Cakra.

Kenapa, ya? Pertanyaan itu membuat Nevan tersenyum miring, Cakra seolah tahu kalau dirinya sedang tak baik-baik saja.

"Cak," panggil Nevan setelah beberapa detik terdiam.

"Hm," balas Cakra seadanya.

Lagi-lagi Nevan menengadahkan wajahnya ke langit saat merasakan hujan yang turun semakin deras. Meski begitu dia tidak berniat untuk bangkit dari tempatnya. Memilih membiarkan dirinya terguyur hujan.

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now