#78. Undangan

144 21 3
                                    

Nevan, Amory, Ian, dan Cakra sama-sama masuk ke dalam ruang mayat dibimbing oleh salah satu staff rumah sakit. Adhisty yang juga ikut ke tempat ini memilih berdiam diri di luar ruangan karena merasa tidak enak kalau harus ikut dengan ACIN.

Melangkah mengekori petugas rumah sakit, ACIN berhenti tepat di depan salah satu brankar yang diatasnya ditempati. Seseorang dengan kain putih yang menutupinya. Sebagian kain itu tercetak noda merah, dapat dipastikan itu adalah darah yang merembes dari bekas tikaman. Bagaimanapun jenazah di hadapan mereka sama sekali belum diapa-apakan. Hanya dipindahkan dari TKP dan ditutup dengan sehelai kain.

Staff rumah sakit itu membuka bagian atas kain putih, memperlihatkan wajah jenazah yang kini sudah memucat. Setelahnya dia memilih undur diri, membiarkan empat remaja itu untuk berduka sepuasnya.

Kaki Nevan mendekat dengan sangat pelan, ragu-ragu menyentuh bahu sang bunda dengan tangan dinginnya. Dia bahkan masih basah kuyup karena sengaja kehujanan di rooftoop tadi. "Bunda...," lirihnya bergetar. Menggoncang bahu Vellia, pria itu menangis seraya terus memanggil sang Bunda.

Cakra dan Ian memalingkan muka, sesekali menengadah guna menghalau air mata yang memaksa keluar. Amory menundukan kepalanya, menangis terisak karena untuk kedua kalinya dia kehilangan orang tua. Vellia sangat baik kepadanya, wanita itu selalu perhatian tiap kali mereka bertemu. Namun kini? Ah, dunia benar-benar tidak adil padanya. Dua kali mengambil orang tuanya tanpa peringatan sama sekali.

"Bun, ngapain tidur di sini?" tanya Nevan mengusap-usap rambut Vellia. "Di sini dingin, loh, Bun. Bunda juga dingin banget tahu," lanjutnya.

"Bunda, aku hujan-hujanan tadi. Lihat, Bun, aku basah kuyup, ayo marahin aku, Bun. Marahin aku kayak biasanya," ucap Nevan seraya merentangkan lengannya, menunjukan kondisinya pada sang bunda yang menutup mata.

"Bunda, kenapa diam aja?"

"Bun, aku kayaknya demam, marahin aku, Bun, marahin aku."

"Bunda..."

"Bun..."

"Bunda..."

Cakra menggigit bibir bawahnya, tak mampu terus menyaksikan Vellia yang terbujur dan Nevan juga Amory yang terisak. Karenanya pria satu itu melangkah mundur, memilih menjauh, dan keluar dari ruangan ini. Mengusap matanya yang berair kala selesai menutup pintu, dia menemukan Adhisty yang bersandar di tembok samping pintu.

"Gimana?" tanya Adhisty yang menyembunyikan wajahnya di balik topi juga masker.

Cakra menggeleng. "Kita benar-benar buat situasi memburuk. Mas Zura dan Tante Vellia, udah ada dua korban kasus ini," ucapnya.

"Sorry," ucap Adhisty. Meskipun terdengar kaku, namun dia sungguhan dengan itu. Dia jelas merasa bersalah karena situasi buruk ini dimulai olehnya.

"Bukan salah lo. Sejak awal penjahatnya bukan kita," balas Cakra.

Adhisty memilih tak membalas, dia hanya kembali bersandar di tempatnya semula seraya terus bergulat dengan perasaannya. Situasi ini benar-benar diluar prediksinya. Dia tak menyangka ibu Nevan akan menjadi korban.

Cakra ikut menyandarkan dirinya tak jauh dari Adhisty, sama-sama merenung ditemani sambaran petir yang sesaat lalu menggila. Sepertinya hujan yang tadi sempat reda akan kembali mengguyur kota. Ah, alam seolah mengerti dan ikut berduka atas kepergian Vellia.

Tring
Tring
Tring

Cakra dan Adhisty saling berpandangan saat ponsel mereka berbunyi bersahutan. Terlebih Ian yang baru saja membuka pintu ruangan ponselnya juga berbunyi beriringan dengan mereka.

The Secret [COMPLETED]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt