#11. Bertemu

320 40 2
                                    

Begitu memasuki area wudhu belakang masjid, yang Cakra temukan adalah seorang gadis yang tergeletak di bawah keran dengan air yang mengucur. Melihatnya, Cakra buru-buru mendekat dengan pria berumur yang mengikutinya di belakang.

Dia berjongkok di sisi gadis itu, spontan mengarahkan dua jarinya pada nadi di leher karena dia terlihat sangat pucat. Bernapas lega, Cakra membawa tangannya pada pipi gadis yang sudah dia pastikan Adhisty itu. Menepuknya pelan berharap gadis itu akan sadar. Namun apa yang Cakra harapkan tidak dia dapatkan, Adhisty tetap betah dengan mata terpejam. Terdapat noda di sekitar bibirnya, melihat ke sekitar, Cakra menjadi tahu kalau gadis ini pasti muntah sebelum kehilangan kesadaran.

Dia menoleh ke belakang, melihat pria berumur yang setia berdiri tak jauh darinya. Memperhatikan mereka dengan wajah yang masih saja terlihat panik. "Pak, boleh saya minta tolong panggilkan taksi di depan? Dia benar yang saya cari, Pak," ucap Cakra.

"Aduh, semoga dia tidak apa-apa, Mas. Yasudah, saya ke depan dulu," balas pria berumur yang membalikan badan setelah Cakra mengucapkan terima kasih. Dia melenggang pergi, meninggalkan area wudhu belakang masjid ini.

Cakra sendiri kembali membawa pandangannya pada Adhisty, memperhatikannya untuk beberapa detik hingga akhirnya dia meraih gadis itu. Menggendongnya di punggung untuk kali kedua. Dia melangkahkan kakinya, membawa Adhisty pergi dari tempat ini.

•••

Begitu melihat Cakra menggendong orang tak sadarkan diri, beberapa perawat segera menyiapkan brankar di IGD ini. Satu perawat mengarahkan Cakra untuk membawa Adhisty ke brankar itu. Membaringkannya sebelum seseorang dengan jas putih datang memeriksa keadaan gadis itu.

Cakra sendiri memilih menjauh, membiarkan Adhisty diperiksa atau mungkin diobati oleh orang yang ahli.

"Cakra!" Panggilan itu membuat Cakra menoleh ke sumber suara. Ada Ian yang tengah berlari kecil ke arahnya.

"Nevan mana?" tanya Cakra begitu Ian sampai di depannya.

"Kayaknya butuh waktu lebih," balas Ian mengedarkan pandangan. "Mana Adhisty?" tanya pria itu kala tak menemukan keberadaan dari orang yang dicarinya.

Cakra membalikan tubuh Ian, menggiringnya agar berjalan ke arah kursi tunggu seraya berkata, "Dia lagi diperiksa."

Kini Cakra dan Ian telah duduk di kursi tunggu. Memilih sabar menunggu Adhisty meski jujur saja sulit melakukan itu. Mereka sama-sama ingin segera mendapatkan informasi dari Adhisty agar tahu apa yang terjadi dengan Amory. Siapapun akan sangat khawatir kalau orang terdekat mereka hilang begitu saja.

Setelah beberapa saat terlewati, Cakra menangkap Dokter yang memeriksa Adhisty keluar dari area brankar yang ditempati gadis itu. Itu membuatnya bangkit berdiri, diikuti oleh Ian, lalu keduanya mendekat ke arah brankar itu.

Satu perawat bisa mereka lihat, tampak hendak memasang infus pada gadis itu dengan telaten.

"Dia kenapa, Sus?" tanya Cakra ingin tahu.

Tanpa menghentikan kegiatannya, perawat itu menjawab, "Adiknya pingsan karena kekurangan gizi dan kelelahan. Pasien juga terkena demam karena luka yang tidak segera diobati mengakibatkan infeksi."

"Terus bangunnya kapan?" tanya Ian.

Infus telah selesai dipasang. Perawat itu menatap Ian dan Cakra bergantian sebelum senyum kecil yang tampak lembut timbul di wajahnya. "Tergantung pasien. Mari kita tunggu saja kabar baiknya, Dek. Mungkin pasien memerlukan istirahat lebih," paparnya.

Ian menggigit bibir bawahnya. Dia harus segera tahu mengenai penculikan yang disinggung Adhisty, namun sepertinya ini bukan waktunya untuk bersikap egois. Oke, tak apa, Adhisty berhak mendapatkan perawatan. Gadis itu tampaknya sudah mengalami hal yang mengerikan. Ian harus membiarkan Adhisty beristirahat sepuasnya. Bagaimanapun dirinya tidak ingin menjadi tokoh jahat.

"Gue mau ke kantin," ucap Ian menolehkan kepala pada Cakra.

"Gue di sini aja nunggu Nevan," balas Cakra menarik kursi yang ada di sana. Menjatuhkan diri di atas kursi itu sebelum mengibaskan tangan ke arah Ian. "Gue tahu lo kelaparan. Santai aja," paparnya.

•••

Siang ini gerimis membasahi kota, turun dengan awan hitam sebagai peringatannya. Musim hujan memang terdengar cukup menyenangkan karena untuk sebagian orang hawa dingin lebih baik daripada teriknya matahari. Namun satu yang menyebalkan dari itu, banjir yang tak jarang membuat beberapa orang kehilangan tempat ternyaman.

Di dalam sebuah mobil hitam yang melaju membelah jalanan kota, seseorang duduk di kursi penumpang dengan tablet di tangannya. Tidak peduli dengan gerimis dan air yang menggenang di jalanan. Tidak tinggi, mobil sedan seperti yang dia tumpangi saja masih mampu melaju meski kondisi jalanan tak selancar biasanya. Orang-orang menjadi lebih berhati-hati karena keberadaan air itu.

Dia adalah seorang pria dengan kemeja putih juga vest biru gelap lengkap dengan dasi yang terpasang. Rambutnya cukup lebat dan berwarna hitam kecoklatan. Warna coklatnya akan tampak berkilau kala tersorot cahaya. Wajahnya terlihat tampan, mampu untuk membuat para wanita betah memandanginya dalam waktu lama.

Dia memperhatikan layar tablet itu dengan jari yang sesekali bergerak menggeser layar. Melihat-lihat potret beberapa gadis yang dikirimkan seseorang padanya. Tampak menimang potret-potret itu dengan sesekali memperbesarnya agar lebih mudah dalam menilai.

"Kapan pertemuan saya dengan level B?" tanya pria itu tanpa mengalihkan pandang dari tablet.

"Menyesuaikan dengan kesibukan mereka, saya menjadwalkan pertemuan itu besok, Pak. Tempatnya di UDEPark setelah Isya," jawab seseorang di kursi kemudi. Sekretaris pribadi si pria.

"Memancing?" tanya si pria yang kali ini mengangkat pandangan. Melihat sang sekretaris lewat kaca. "Terlebih besok? Hari Minggu?"

"Benar, Pak. Apa Bapak keberatan dengan waktu dan tempatnya? Saya bisa mengatur ulang pertemuan jika Bapak ingin atau sudah menjadwalkan liburan di hari Minggu," ucap si Sekretaris.

Si pria menggeleng kecil. Mematikan tablet dan menyimpan benda itu di sampingnya seraya menghela napas tipis. "Tidak perlu. Lagipula hari libur memang tidak pernah ada untuk saya," jawabnya menyamankan posisi duduk. "A, katakan pada orang itu kirimkan beberapa yang tidak terlalu bagus. Mereka hanya Level B."

•••

Amory memeluk dirinya sendiri dengan air mata yang mengalir meski tidak ada suara tangis yang keluar. Dirinya sungguh terguncang dengan apa yang beberapa saat lalu dia alami. Di sampingnya, Ajeng mengusap-usap bahu Amory, menatapnya prihatin dengan sesekali bertanya tentang keadaannya. Ya, meski pada akhirnya Ajeng tak kunjung mendapat jawaban.

"Amory, Neo udah pergi. Tenangin diri lo," ujar Ajeng masih belum menyerah untuk membuat Amory kembali seperti biasa.

Ajeng mengerti Amory terkejut, Ajeng tahu Amory takut, dan Ajeng juga tahu mental gadis itu sangat terguncang. Namun tetap saja, Amory tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tenang agar di ujian nanti dia tidak melakukan kesalahan. Amory bisa saja berkesempatan untuk keluar dari sini kalau gadis itu sungguhan peringkat sembilan.

Darah yang terus keluar dari luka sayatan di beberapa titik tubuh Amory tidak gadis itu pedulikan, dia mungkin tak sadar kalau dirinya terluka cukup parah sekarang. Hanya menatap kosong ke depan dengan air mata yang terus keluar. Amory yang aktif kini seakan hilang.

Bayangan mengerikan tentang bilah tajam yang bermain-main di depannya terus terputar di kepala Amory. Rekaman tentang Neo yang menari dengan pedang di tangannya tidak bisa pergi dari ingatannya. Dia ingat bagaimana benda tajam itu nyaris mengiris lehernya, dia juga ingat bagaimana ujung pedang hampir menusuk jantungnya.

Cara berpedang Neo memang indah, dia mengayunkan dua pedang seolah sedang menari di atas panggung klasik. Kalau Amory melihatnya saat demo eskul di sekolah, dia pasti akan terpukau dan bertepuk tangan. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Dia bermain dengan nyawanya. Sedikit saja Amory bergerak kala itu, maka statusnya akan berubah menjadi jiwa tanpa raga.

•••

09.10.2022
10.10.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now