#65. Panggilan Adinata

127 17 2
                                    

Perlahan tapi pasti kesadaran Cakra terkumpul kembali. Kelopak matanya terbuka dan dia menggerakkan bola mata ke sekitar. Mencerna apa yang dia lihat dia bisa menyimpulkan kalau ternyata dia belum mati. Sensasi empuk dan nyaman di tubuhnya menandakan kalau dia ada di ranjang saat ini, ruangan terang dan agak berantakan yang dia lihat adalah kamarnya.

Sebuah suara memasuki indra pendengaran Cakra, membawa pandangan menuju sumbernya, dia bisa menemukan Adhisty yang baru keluar dari kamar mandi. Begitu mata mereka bertatapan, Cakra bisa menangkap raut terkejut yang muncul pada wajah Adhisty.

"Lo bangun?!" tanya gadis itu yang tentu saja jawabannya dia sudah tahu sendiri.

Buru-buru mendekat pada ranjang, Adhisty menempelkan telapak tangannya pada kening Cakra seolah mengecek suhu tubuhnya, setelahnya dia beralih mendekatkan jari telunjuknya pada lubang hidung Cakra, terakhir, gadis itu meletakan tangannya pada dada Cakra, mengecek detak jantungnya dan itu membuat Cakra mengernyit. Ada apa dengan Adhisty?

"Gue napas, kan?" tanya Cakra. Sungguh, dia tidak bercanda, dia merasa panik saat Adhisty mengecek tanda-tanda kehidupannya tanpa kata apa-apa. Tidak menutup kemungkinan, kan, kalau Cakra dengan kesadaran ini hanyalah roh yang belum menyadari kalau sudah terlepas dari tubuhnya.

Mendengar helaan napas dari Adhisty, Cakra semakin panik saja. Tunggu, apa mungkin dia betulan mati?

"Gila, ya, lo?! Kalau mau mati nanti aja setelah gue dipenjara," ucap Adhisty terdengar sangat ketus. "Huh, tapi, makasih," lanjutnya dengan suara kecil. Dia bahkan kesulitan menatap Cakra saat mengatakan kalimat terakhirnya.

Kalau Adhisty mengucapkan terima kasih, artinya Cakra belum mati bukan? Huft, pria itu akhirnya bisa merasa lega. Mengubah posisinya menjadi duduk, tangannya spontan terangkat dan mendarat pada kepala kala merasakan sensasi buruk di sana. Meski begitu Cakra memilih untuk abai, melirik Adhisty, dia bertanya, "Lo nggak apa-apa?"

Menyorot Cakra aneh, Adhisty menyilangkan tangannya di depan dada. "Lo betulan bodoh? Yang pingsan lo bukan gue," ucapnya.

"Agaknya lo baik-baik aja," balas Cakra. Adhisty bisa mengatainya, artinya gadis itu tidak apa-apa bukan?

"Hm. Lo sendiri? Apa yang lo rasain? Cairan itu... nggak berbahaya, kan?"

Cakra merasakan tubuhnya sendiri, memikirkan apa ada yang salah dengan dirinya meski pada akhirnya dia tidak menemukan itu. Sesaat lalu kepalanya memang terasa aneh, namun sekarang sudah baik-baik saja. Tampaknya yang disuntikan padanya bukanlah cairan berbahaya. Mungkin itu hanya digunakan untuk melumpuhkan orang saja. "Gue baik-baik aja. Kayaknya itu cuma bius," jawabnya.

"Oke kalau gitu." Setelah mengatakannya, Adhisty berpaling dari Cakra, melangkah menjauhi ranjang, namun baru beberapa langkah gadis itu berhenti, menolehkan kepalanya ke belakang dan berkata, "Lo pingsan lima jam btw, gue saranin lo bolos aja meski sekarang masih keburu untuk sekolah."

Cakra menoleh pada jam yang ada di sana, melihat angka 06.15 yang tercetak. Masih pagi, masih cukup untuk mempersiapkan diri pergi ke sekolah. Namun, kala mengingat kejadian tengah malam tadi, Cakra membalas, "Ada yang incer lo dan dia bisa masuk ke sini, Disty. Gue emang harus bolos hari ini. Ponsel gue tolong, gue harus kabarin Zake."

•••

"Jadi semalam kalian benar-benar diserang?"

Duduk di atas kursi belajar Cakra secara terbalik, Nevan bertanya dengan kedua tangannya yang disimpan di ujung punggung kursi.

"Nggak percayaan banget jadi orang. Gue udah bilang di pesan tadi," balas Cakra yang sekarang tengah menyiapkan mie dadak untuk dirinya sendiri dan teman-temannya. Dia hanya perlu mengambil air panas dari dapur untuk itu, sangat tidak ribet namun rasanya enak. "Gue rasa Adhisty harus pindah. Dia nggak bisa tinggal satu rumah sama orang yang mau bunuh dia."

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now