#35. Peluru Didapatkan

181 18 2
                                    

Seperti hari-harinya sebelumnya, Number 2 duduk di atas kursi menghadap kaca besar di depannya. Memperhatikan gedung-gedung pencakar langit yang mendominasi perkotaan. Dia membelakangi meja kerja, membelakangi perangkat laptop yang menyala, dan beberapa dokumen yang selesai dia periksa.

Tidak ada yang menarik memang dari memperhatikan gedung yang sudah diperhatikan bertahun-tahun, namun setidaknya itu satu-satunya pemandangan paling menyenangkan dari segala hal yang ada di ruangan mewah ini.

Suara pintu yang terbuka membuat Number 2 memutar kursinya, membuatnya mampu melihat sekretaris pribadinya yang berjalan mendekat. Hal yang selalu terjadi setiap harinya.

Sedikit membukukan badan guna memberikan hormat, sekretaris itu membuka mulutnya dan berkata, "Anda memanggil saya, Pak?"

"Bagaimana pertemuan dengan Level A?" tanya Number 2 menatap bawahannya.

"Semua anggota siap bertemu malam ini, Pak. Kecuali satu orang, Gubernur kita, Pak Juan Yuinus Rahmat. Beliau sedang dinas di luar kota." Si sekretaris melaporkan dengan detail apa yang dia peroleh.

Number 2 tampak mengangguk sekali sebelum berkata, "Berkat insiden baru-baru ini, kita kehilangan semua anak laki-laki. Pak Juan tidak akan senang kalau kita tak memberikannya itu. Neo juga entah kenapa tidak bergerak. Pak Juan kita kesampingkan, jadwalkan pertemuan malam ini."

"Tapi, Pak, apa tidak akan masalah meninggalkan Pak Juan?" Sebagai bawahan yang setia, dia tidak ingin ada masalah sekecil apapun pada tuannya itu. Mengenal orang yang dibicarakan sejak dia belum menjabat, dia tahu bagaimana buruknya kepribadian Gubernur Juan Yuinus. Dia pasti akan protes karena tidak diikut sertakan dalam pertemuan.

Namun Number 2 dengan santai membalas, "Tidak apa-apa. Saya akan mengurusnya sendiri. Lebih baik begini daripada membawanya tanpa anak laki-laki."

Dan, ya, si sekretaris hanya bisa menurunkan kepala tanda patuh. "Baik, Pak. Saya meminta maaf tentang anak-anak itu," ujarnya.

Number 2 tersenyum kecil. "Santai saja. Kamu melakukan yang terbaik."

•••

Amory melenguh dalam tidurnya kala ponsel yang dia simpan di atas nakas terus saja bergetar. Membuat mimpinya hancur berantakan dan kelopak matanya terbuka. "Argh, berisik banget astaga," geramnya.

Gadis dengan piyama tidur bergambar kepala kambing itu menggerakkan lengannya, menggapai-gapai nakas guna meraih ponsel yang menjadi sumber pengganggu itu. Begitu sensasi dingin terasa di tangannya yang hangat, Amory segera menggenggamnya, mengambil ponsel, dan menatap layarnya yang menyala. Melihat sebuah kalimat yang tertera di layar, Amory seketika melotot seraya meloncat dari ranjangnya. Gerakannya itu membuat gadis lain yang tidur di sisinya ikut terbangun, membawa pandangan ke arah Amory yang berdiri di sisi ranjang dengan ponsel di tangan.

"Wow, wow, wow, Disty, kita menang! Oh my God, bangun-bangun. Lo harus lihat ini!" Ini tengah malam dan Amory heboh mengguncang tubuh Adhisty tanpa tahu keadaan gadis itu sebenarnya.

Adhisty sendiri? Oh, dia hanya diam sambil menatap heran Amory tanpa ingin mengatakan sepatah katapun. Biarlah, biarkan Amory yang sadar sendiri kalau dirinya telah bangun.

"Adhisty, astaga, senang banget gue! Ajeng akhirnya bakal bebas, Kepsek bakal di penjara. Woahhh, berita besar! Disty bangun. Kebo banget heran, lo har── eeeee, lo udah bangun? Kenapa nggak bilang, sih? Tapi bodo amat, lo harus lihat ini."

Amory benar-benar hebat. Dia mengoceh seperti itu dengan semangat padahal sesaat lalu matanya sangat sulit untuk diajak terbuka. Sekarang dia malah terlihat seperti gadis tanpa kantuk sama sekali. Melompat ke atas kasur, dia mendekatkan dirinya pada Adhisty yang sekarang telah mengubah posisi menjadi duduk.

Amory memencet salah satu bagian dari layar ponselnya, memiringkan ponsel, lalu keduanya menonton sebuah video yang dikirimkan Ian. Dari pesan teman-temannya, Amory sudah tahu kalau video ini akan menuntun mereka pada kemenangan.

Kedua gadis itu sama-sama menonton dalam diam. Jantung mereka berdetak lebih cepat dari biasanya seolah mereka baru saja melakukan olahraga. Harap-harap cemas meski keduanya sudah tahu video apa itu.

Beberapa detik berlalu tanpa ada apapun, hingga detik berikutnya langkah kaki bersahutan bisa mereka dengar. Amory menelan ludahnya kasar, oh, sial sekali karena ini sangat menegangkan.

Tak lama beberapa orang tertangkap oleh kamera, para gadis dengan pakaian kurang bahan yang membuat Amory mengerutkan alisnya. Kenapa seperti ini? Setidaknya, begitulah yang dia pikirkan.

Di akhir rombongan gadis-gadis itu, Amory melihat seorang pria gemuk dengan senter besar di tangannya. Dia seolah menggiring para gadis yang Amory yakini para tawanan. Bagaimanapun dia mengenal wajah-wajah mereka.

Video berakhir beberapa saat setelah kepala sekolah tertangkap kamera, membuat Amory segera menurunkan tangan, lalu bergumam, "Kenapa baju mereka kayak gitu?"

Adhisty tak menjawab. Dia melupakan kemungkinan seperti ini dan tidak menyiapkan jawabannya. Oh, dia harus cepat-cepat memutar otak.

"Adhisty, kenapa?" tanya Amory kali ini membawa kepalanya menoleh pada orang yang dia ajak bicara.

"Mana gue tahu. Sesekali memang beberapa tawanan di bawa keluar dari kurungan. Gue nggak tahu apa yang dilakuin si babi gemuk sama mereka, tapi setelahnya tawanan itu dibalikin lagi dalam keadaan utuh. Masuk sel." Ya, inilah yang dipilih Adhisty. Dia tetap pada pendiriannya untuk tidak mengungkap suap seksual pada Amory dan dua lainnya.

Amory menelisik wajah Adhisty, entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Namun, kala dia menemukan delikan sinis gadis itu, Amory akhirnya memalingkan muka. Adhisty ini sangat tidak ramah. "Lo nggak tanyain mereka? Ajeng tahu sesuatu pasti," ujarnya.

Adhisty menggidikan bahu dan berkata, "Gue bukan orang yang penasaran sama kegiatan orang lain. Yah, meski sekarang gue sedikit menyesal nggak penasaran soal itu."

Hooo, kalau begini ceritanya Amory tidak punya pilihan lain selain percaya. Dia sama sekali tak menangkap kebohongan dari kalimat Adhisty. Ah, tampaknya dia terlalu berlebihan tadi.

Mengetikan beberapa kata pada layar ponselnya, Amory kemudian menakan tombol power benda persegi itu. Menjauhkan diri dari Adhisty dan kembali menyimpan ponsel pada tempatnya semula. Dia sangat tidak sabar untuk hari esok!

•••

30.11.2022

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now