#70. Hutan

131 15 1
                                    

Entah keberuntungan atau apa, namun saat hendak mengecek sopir juga bodyguardnya agar bisa kabur dari mereka, Cakra malah menemukan kunci mobil yang selalu dia kendarai tergeletak di dekat ban depan. Menoleh ke segala arah, dirinya sama sekali tidak menemukan dua orang yang seharusnya sedang menunggunya.

Melihat ada peluang yang sangat besar, Cakra memanggil teman-temannya agar mendekat dan segera pergi dari rumah sakit. Amory sangat keras kepala, meski dilarang semua orang untuk ikut karena dokter masih belum mengizinkannya untuk pulang, namun gadis itu tetap nekat ikut dengan teman-temannya. Kabur dari pengawasan dokter dan perawat meski pakaian pasien masih melekat di tubuhnya. Hanya jaket tebal milik Ian yang membuatnya tidak terlalu mencolok.

Maka dari itu, di sinilah ACIN dan Adhisty berada. Setelah lebih dari dua jam berkendara, mobil mereka memasuki wilayah hutan dengan medan menyebalkan. Kanan kiri hanya pepohonan rindang, suara hewan yang entah apa namanya bersaing dengan suara halus dari mesin mobil.

Sekarang sudah gelap, pukul 19.24. Kalau di tengah kota, saat ini pasti masih sangat ramai dan menyenangkan. Namun, ini adalah tengah hutan! Mereka bahkan tak yakin akan ada orang di tempat ini meski pagi ataupun siang.

Cakra terpaksa harus menghentikan mobil karena di depan sana benar-benar sudah tidak ada jalan. Hanya kumpulan pepohonan raksasa yang benar-benar mengerikan.

"Ngapain coba Number 2 Number 2 itu nyuruh Kepsek ke tempat kayak gini. Sering pula," ucap Nevan yang duduk di kursi samping kemudi.

"Nggak mungkin pesugihan, kan, ya?" tanya Amory sedikit merinding. Gadis yang duduk di antara Ian dan Adhisty itu merapatkan jaket yang dia kenakan.

"Kak Adi udah kaya raya, Ry. Mana perlu pesugihan," balas Ian yang kini tengah memperhatikan ke luar jendela. Menyalakan ponselnya, pria itu membuka kaca di sampingnya, menyorot bagian hutan dengan senter dari ponsel, kemudian berkata, "Guys, agaknya di sana sering diinjak orang." Dibandingkan dengan bagian hutan yang lainnya, bagian yang Ian maksud memang cukup berbeda. Bagian itu membentuk jalan setapak seperti sering dilalui orang-orang.

Ian melepaskan sabuk pengaman, membuka pintu mobil, dan itu diikuti oleh yang lainnya hingga kini mereka berlima sama-sama menghadap jalan setapak. Tidak ingin membuang waktu, Cakra berjalan lebih dahulu, diikuti Adhisty di sisinya, lalu Amory yang menggandeng Nevan di belakang mereka, dan Ian seorang diri paling belakang. Pria berambut ikal itu sesekali menoleh ke belakang, merasa was-was dan takut karena bagaimanapun ini adalah hutan.

Cakra berhenti, begitupun dengan Adhisty dan itu membuat yang lainnya juga berhenti. Napas mereka tercekat, kaki mereka sama-sama terpaku dengan jantung yang rasanya ingin merosot. Kelimanya sama-sama tak bisa mengalihkan fokus pada objek beberapa meter di depan. Siluet bergerak yang terlihat akibat cahaya bulan yang masuk lewat celah-celah pepohonan. Tepat setelah mereka melihat siluet itu, Adhisty dan Ian yang menyalakan flash ponsel menutupi cahaya yang tercipta dengan jari. Tidak ingin makhluk di depan sana menyadari keberadaan mereka.

Siluet itu berkaki empat, beberapa saat memperhatikan, mereka bisa menyimpulkan kalau itu adalah anjing hutan. Tengah menggali tanah dengan kaki depannya seraya mengendus-ngendus.

Oke, di situasi semacam ini ACIN maupun Adhisty sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mereka hanya diam dan berharap anjing hutan itu akan pergi tanpa melihat mereka. Namun sayangnya, sudah beberapa waktu berlalu, namun anjing itu masih sibuk menggali. Cakra yang merasa kakinya kesemutan tanpa sengaja mengangkat itu dan saat kembali berpijak dia malah menginjak ranting hingga menimbulkan suara. Hal itu seketika membuat mereka menelan ludah kasar, sungguhan panik saat menyadari anjing hutan di depan sana menoleh ke arah mereka.

Beberapa detik anjing itu memperhatikan, setelahnya dia mundur beberapa langkah, berbalik pergi, lalu berlari sangat kencang. Sontak saja kelima remaja itu bernapas lega, diam-diam bersyukur karena kejadian tadi rasanya seperti keajaiban. Ayolah, yang mereka tahu anjing hutan itu sangat galak.

Adhisty hendak kembali berjalan, namun, tanpa sengaja dia melirik sesuatu yang menarik perhatiannya. Merunduk, gadis itu mengambil sebuah papan nama dan menyinarinya dengan senter dari ponsel.

Hobi Poernomo S.Pd. Ya, itulah yang tertulis pada papan nama itu. "Si brengsek itu ternyata emang ke sini," ucap Adhisty.

Ian berjalan lebih dulu, melewati Adhisty seraya memperhatikan sekitarnya dengan bantuan cahaya senter. Sinar bulan memang membuat hutan tidak terlalu gelap, namun tetap saja itu tidak cukup karena bagaimanapun hutan di sini sangat rimbun.

"Aerg." Ian tersandung sesuatu. Beruntung pria itu tidak sampai jatuh karena sangat pandai mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Dia mengarahkan cahaya senter ke bawah, ingin tahu apa yang membuatnya tersandung karena rasanya itu tidak seperti ranting, akar, ataupun rumput liar jahat.

Kernyitan muncul pada kening pria itu saat yang dia lihat adalah kain berwarna kecokelatan.

"Ada apa, Yan? Anjing tadi juga gali di sana, kan?" Suara Nevan terdengar, pria itu juga berjalan mendekat pada Ian dengan sebuah kayu di tangan kanannya. Sedikit demi sedikit menyingkirkan tanah di sekitar kain itu yang entah kenapa sangat mudah dilakukan. Tanah itu seperti sudah digali, lalu ditimbun lagi.

"Aaaaaa."

Pekikan Amory membuat semuanya menoleh pada gadis itu yang kini tiba-tiba terjatuh. Adhisty yang posisinya paling dekat dengan gadis itu yang paling pertama sadar alasan Amory berteriak. Bahkan sekarang Adhisty pun jatuh terduduk karena kedua kakinya serasa berubah menjadi jeli.

Meski ingin, namun Adhisty sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya akan sesuatu yang mencuat dari dalam tanah. Di dunia ini... tidak ada jamur berbentuk kaki manusia, kan?

•••

Untuk kali kedua, Hengki kembali bertemu dengan seorang jurnalis senior yang membantunya. Jurnalis yang tidak bisa naik akibat sempat bermasalah dengan El Group. Dia tidak punya penyokong ataupun uang, itulah sebabnya meski sudah berumur karirnya hanya berjalan di tempat saja. Hengki menghampirinya saat itu, mengulurkan tangan, dan membawa bahan agar dia bisa membalas El Group.

Di sinilah kedua pria berumur itu berada, restoran seafood yang saat itu dikunjungi Hengki dengan orang yang kini ditusuknya.

"Anda sudah datang, Pak? Saya sengaja menunda makan malam untuk bisa makan malam bersama Anda." Jurnalis itu bangkit berdiri saat Hengki memunculkan dirinya.

"Kalau begitu, mari kita makan malam, Pak. Anda tidak keberatan dengan makanan laut bukan?" tanya Hengki seraya mendudukan dirinya di seberang si jurnalis.

"Oh, tentu saja tidak apa-apa, Pak. Saya tipe orang yang bisa makan apa saja," balas jurnalis itu dengan senyum di bibir ungu kehitamannya.

Makan malam dua orang itu diiringi dengan obrolan ringan, sesekali tertawa bersama dan saling mendentingkan gelas berisi wine yang memang dipesan Hengki. Hingga akhirnya makan malam berakhir dan tiba waktunya untuk urusan utama mereka.

Hengki menyingkap jaket kulit hitam yang dipakainya, merogoh saku bagian dalam, dan mengambil sebuah flashdisk dari sana. Dia meletakan flashdisk itu di atas meja, mendorongnya ke arah si jurnalis dengan jari telunjuk dan tengahnya. "Kita akan melanjutkan ini bukan?" tanya Hengki dengan wajah culas yang tampil tanpa disadarinya.

•••

07.01.2023

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now