#82. Tolong Bilang Ini Nggak Nyata, Yah

152 20 2
                                    

"Aaarrrggghh."

Teriakan melengking Ajeng terdengar bersamaan dengan pintu ruangan yang didobrak. Number 1 mengangkat pandangan, menoleh pada pintu hingga menemukan orang yang dinantinya berdiri mematung di ambang pintu.

"Oh, sudah datang," ucap Number 1 dengan senyum tipis di akhir kalimatnya.

Di sana, sorot Nevan memandang lurus pada sosok pria paruh baya yang sebelah tangannya menggenggam pisau. Wajah yang tak asing itu membuat lidahnya kelu, seluruh tubuhnya melemas begitu saja dengan jantung yang seolah merosot hingga perut. Nevan merasa sayatan yang amat lebar menghancurkan dunianya.

"O-om──" Amory tak kalah terkejut, gadis itu linglung setengah mati saat melihat orang yang amat dia kenal berdiri tanpa dosa dengan pisau yang bilahnya mencetak sedikit darah dalam genggaman.

"Tolong bilang ini nggak nyata, Yah..." Nevan melirih setelah beberapa saat kesulitan mengatur dirinya.

Number 1──, ah, tidak, Nendra menggidikan bahunya, melemaskan tubuh yang semula tegang karena Ajeng, kemudian berkata, "Kenyataan sangat pahit bukan?"

"Ah..." Nevan meloloskan desahan dari bibirnya, tangannya yang gemetar menggapai tembok di belakangnya guna menopang tubuhnya sendiri. Nevan menunduk, kesulitan untuk tahu apa yang harus dia lakukan. Sejak pertemuannya dengan Nendra terakhir kali, dia sudah tahu kalau sang ayah memiliki hubungan dengan kasus penculikan, dia mengakui itu sendiri di hadapannya. Sepanjang perjalanan dia sudah ketakutan, dia amat sangat gugup kalau orang yang mengaku Number 1 adalah Nendra. Dia sungguhan takut akan kenyataan bahwa ayahnya yang telah merenggut nyawa ibunya. Sampai beberapa saat lalu pemikiran seperti... 'Aah, ayah pasti sedikit terhubung,' 'Aah, ayah pasti dijebak,' 'Nggak mungkin Number 1 itu ayah, dia nggak mungkin bunuh bunda.' masih Nevan paksa untuk ada di kepalanya, namun, kini? Oh, jelas tidak bisa lagi. Melihat Nendra memegang pisau di hadapan Ajeng, Nevan harus menelan fakta bahwa pengkhianatan ayahnya jauh lebih besar dari yang dia duga.

"Kalian datang tepat waktu, pelanggar satu ini belum banyak terluka," ucap Nendra menunjuk Ajeng dengan telunjuk kirinya. "A, kalian bisa berhenti kaget? Saya sedikit malu kalau reaksi kalian kayak gitu."

"Kepsek, Kak Adi, Om Nendra... hahahaha aku dipaksa buat nggak kaget lagi kalau tiba-tiba pelayan rumah Cakra jadi bagian dari kalian." Ian tertawa hambar, merasa sangat lucu dengan apa yang dia lakukan selama ini. Penjahat yang dia kejar ada di sampingnya, dia genggam tangannya dengan kepercayaan penuh, hal yang sangat lucu hingga menurutnya pantas untuk diberi tepuk tangan.

Nendra tersenyum tipis, melangkahkan kakinya menuju meja, dan duduk di atas sana. Meletakan pisau di sisi tubuh, pria itu dengan santai berucap, "Itulah menyeramkannya dunia, Yan. Kamu harus belajar dari ini."

Bugghh

Memukul dinding, Nevan membuat dirinya menjadi pusat perhatian. Matanya yang tajam mengalirkan air hingga membasahi pipinya. "Yang terjadi sama bunda... itu bukan ulah ayah, kan?" tanyanya.

"A, benar, Vellia," ucap Nendra terdengar antusias. Meraih tablet, jarinya menari pada layar benda pipih itu, "kamu mau lihat foto terakhirnya lebih banyak?" tawarnya melanjutkan.

Kedua tangan Nevan mengepal. Pria satu itu kini memperbaiki posturnya hingga tegak kembali, tanpa mengusap air matanya dia menatap Nendra, memperhatikan gerak-gerik pria itu yang sama sekali tak terlihat merasa bersalah. "Sejak kecil aku paling suka ayah. Mungkin konyol, tapi impian aku adalah pengen jadi kayak ayah. Tapi ini? Yah, aku harus apa sekarang?" Kalau saja Number 1 orang lain, kalau saja Nendra bukan Number 1, Nevan pasti akan menerjang orang itu tanpa takut, dia akan memukul, menendang, bahkan mengayunkan pisau karena dia pernah melukai Amory dan parahnya membunuh Vellia. Namun nyatanya itu Nendra, itu adalah idolanya, orang yang paling dia favoritkan di seluruh dunia, hey, Nevan sangat kebingungan.

"Sorry ganggu momen dramatis ini, tapi sekedar informasi, dia penjahat yang bunuh lebih dari 15 orang kalau kalian lupa. Dia bahkan nyaris nambah korban. Oh, perhatiin rak-rak itu, dia nggak pantas diajak ngomong. Bajingan itu bukan manusia." 

Perkataan Adhisty membuat ACIN terkecuali Nevan menoleh pada rak yang Adhisty maksud, terkesiap saat lengan-lengan manusia berjejer di sana. Ditata sebaik dan serapi mungkin seolah itu adalah trofi yang layak dipamerkan.

"Hah." Mata Amory melebar, satu tangannya membekap mulut sendiri dan gadis itu tanpa sadar memundurkan langkah hingga menabrak Cakra yang ada di belakangnya.

"Benar-benar orang gila," ucap Ian.

"Bagaimana? Indah bukan? Om ngabisin banyak uang, loh, biar mereka nggak kenapa-kenapa," papar Nendra seolah bangga seraya memperhatikan koleksi-koleksinya.

"Psikopat," gumam Cakra akhirnya bersuara. "Kami udah di sini, jadi, seperti kata O── Number 1, Ajeng sama tawanan lain bisa bebas, kan?"

Mendengar kalimat Cakra, Nendra memasang raut berpikir sebelum menjawab, "Saya jarang ingkar janji, Cak." Melompat dari meja, pria itu meraih sesuatu yang bersandar di sisi meja. "Tapi sebelum itu saya harus menepati janji saya dulu," lanjutnya. "Seiren, tolong tutup pintunya, dong, rasanya nggak nyaman kalau pintunya kebuka."

Sorot sinis Adhisty menatap Nendra tak suka, tanpa mengalihkan sorotnya itu, dia menuruti apa mau Nendra dan menutup pintu yang memang paling dekat dengannya. Jangan tanyakan kenapa dia menurut, dia hanya ingin ini segera selesai. Menghajar Number 1 sepuasnya lalu menyelamatkan Ajeng dan pulang.

"Anak penurut," ucap Nendra seraya melemparkan salah satu pedang yang sesaat lalu dia ambil. Ya, itu adalah pedang milik Neo yang memang tersimpan di tempat ini. Pedang itu mendarat kasar tepat di depan kaki Nevan, membuat lelaki itu memandang pedang dengan penuh tanda tanya.

Setelahnya Nendra menarik pedang lain yang ada di tangannya dari sarungnya, menyimpan sarung pedang di atas meja, dan tangannya yang bebas meraih pisau yang dia gunakan untuk melukai Ajeng tadi hingga kini kedua tangannya sama-sama menggenggam benda tajam.

Menatap Nevan sekali lagi, pria itu kini menggesekan kedua bilah benda tajam itu hingga menciptakan suara khas berkali-kali.

"Argh..."

Ringisan pelan itu membuat Cakra menoleh ke samping, melihat Adhisty yang tampak aneh dengan tangan kanan yang menekan telinganya sendiri.

"Arghh..."

Ringisan yang lebih kuat kembali terdengar, namun kini bukan Adhisty yang mengeluarkannya, melainkan Nevan yang sekarang meluruh hingga dirinya bertumpu di atas lutut dengan kedua lengan yang meremas kepalanya sendiri seperti kesakitan.

Srang.... srang.... srang...

Suara itu terus saja terdengar, Nendra tak henti-hentinya menggesekan bilah pedang dan pisau meski hal janggal terjadi pada Nevan. Adhisty sendiri sekarang sudah lebih baik, ingatan buruknya tentang pengejaran Neo telah mampu dia benahi.

Amory mendekat pada Nevan, berjongkok di sisi pria itu dan menggoncang bahunya. "Van!" panggilnya.

"Apa yang terjadi sama lo?" tanya Amory panik. Sungguh, di tengah situasi buruk ini, apa yang Nevan lakukan?!

Ringisan Nevan berhenti meski pria itu masih memegangi kepalanya. Bersamaan dengan itu Nendra juga berhenti menciptakan suara, lagi-lagi melemparkan pedang di tangannya hingga mendarat di dekat Nevan.

"Jagoan ayah, sapa teman-teman kamu," ucap Nendra tiba-tiba.

"Hah..."

Helaan napas terdengar dari mulut Nevan, menurunkan tangannya, dia mengangkat kepala hingga mampu melihat Nendra yang menatapnya dengan bangga. Setelahnya dia menoleh ke samping, melihat Amory yang berada sangat dekat dengannya kemudian berkata, "Halo, kita bertemu lagi."

•••

26.02.2023

The Secret [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang