#51. Menyusup

145 16 1
                                    

Berjalan di koridor SMA Purnama Biru, tangan kanan Ian dan Nevan sama-sama memegang cup es kopi yang mereka beli dari kantin beberapa saat lalu.

"Aneh nggak, sih?" Beberapa saat diam, Ian kini buka suara. Raut penuh tanda tanya tergambar jelas di wajahnya. "Beneran aneh."

Selesai menyapa balik seseorang yang menyapanya, Nevan melirik Ian sekilas. Temannya itu memang tak menjelaskan, namun Nevan tahu apa yang Ian maksud. "Hooo. Bukan Cakra yang biasanya," ucapnya.

"Masa iya dia bolos nggak ngajak-ngajak? Terus, sejak kemarin dia kayak banyak pikiran."

"Pas jenguk Amory aja dia ngang ngong kek capung."

Tidak aneh kenapa dua orang itu membicarakan Cakra, teman mereka yang satu itu tiba-tiba menghilang begitu pamit ke toilet saat perjalanan menuju kantin tadi. Pesan dan telepon sama sekali tak digubris, hanya ada satu alasan kenapa mereka menyimpulkan Cakra bolos seorang diri, yaitu pesan singkat pria itu yang dikirimkan pada Nevan. Isinya hanya meminta agar Nevan membawa tasnya saat pulang dan menyerahkan itu pada Zake yang pasti menjemputnya.

"Apa Cakra frustasi, ya, diikuti Zake kemanapun dia pergi?" tanya Ian melemparkan cup minumannya pada tempat sampah. Belum habis memang, tapi perutnya sudah kembung dan tak mampu lagi menampung air.

"Level kesabaran Cakra macem orang tolol. Kayaknya ada sesuatu yang harus dia lakuin tanpa diketahui Zake. Makannya dia pilih bolos karena Zake nggak akan tahu," balas Nevan.

Kelas 12 IPA 6 tepat di depan mereka, keduanya segera masuk ke dalam karena memang jam istirahat sebentar lagi selesai. Berjalan menuju bangku bagian belakang, lalu duduk di tempat mereka masing-masing.

Satu bangku hanya diperuntukan untuk satu orang. Nevan duduk di bangku nomor empat baris pertama dari pintu, sedangkan Ian tepat di depannya. Itulah sebabnya pria berambut ikal itu duduk dengan menghadap ke belakang. Tidak apa, jam pelajaran masih belum di mulai.

Bangku Amory sendiri yang sudah lama tak ditempati ada di sebelah bangku Ian, bangku nomor tiga baris kedua dari pintu. Tempat Cakra yang kini hanya ada tasnya saja ada di belakang Amory, bersebelahan dengan Nevan. Yah, karena saat hari pertama masuk sebagai kelas 12 mereka datang bersama pagi-pagi sekali, mereka jadi bisa memilih tempat untuk duduk berdekatan.

"Sekarang lo ekskul, kan? Gue ke RS sendiri berarti." Nevan berucap seraya menggigit sedotan dari minumannya yang dia taruh di atas meja.

Membuka lembar halaman buku yang dia genggam, Ian mengangguk kecil dengan mata fokus pada buku itu. "Hm, pelatih nyuruh gue wajib datang nanti," jawabnya.

Nevan menghela napas, membawa pandangannya ke luar jendela di mana dia bisa melihat beberapa siswi berlalu lalang seraya bercanda. "Rasa-rasanya pengen Amory cepat masuk lagi," paparnya.

"Dia aja masih harus latihan jalan, Van. Nggak mungkin, kan, dia masuk padahal baru tiga hari bangun."

Kepalan tangan Nevan mengerat, dia tiba-tiba mengingat sesuatu yang amat menyebalkan. "Kepsek sialan! Kalau aja masih kelas 11, gue pasti pindah ke sekolah lain," geramnya.

•••

"Cakra."

Panggilan itu membuat Cakra yang menyandarkan punggungnya pada tembok benteng rumah seseorang menegakkan tubuh. Pandangannya yang semula terarah pada layar ponsel dia alihkan ke sumber suara. Menemukan seorang gadis dengan hoodie coklat kebesaran dan celana panjang warna hitam menghampirinya. Kepalanya tertutupi hoodie, masker hitam menutupi sebagian wajahnya.

"Nggak ada masalah, kan?" tanya Cakra begitu gadis itu telah sampai di hadapannya.

"Hm. Seperti kata lo, hari ini semua keluarga lo keluar dan penjagaan jadi longgar," jawab Adhisty, gadis dengan hoodie yang sebenarnya milik Cakra.

Kini keduanya menghadap pada sebuah rumah dengan gerbang yang seakan mengisolasi tempat itu. Sangat tertutup dan auranya cukup suram. Sama sekali tidak menyegarkan.

"Ini?" tanya Adhisty yang diangguki Cakra.

"Iya. Gue udah tanya sama warung kopi di seberang, katanya, kepala sekolah jarang ada di rumah. Pergi subuh pulang tengah malam. Kadang-kadang juga dia nggak pulang," papar Cakra memberikan informasi yang semula dia dapatkan dari sebuah warung yang kini dia belakangi.

"Keluarga?" Merasa kurang puas, Adhisty kembali bertanya.

"Itu yang aneh. Kata pemilik warung, dia nggak pernah ketemu sama istri dan anak kepsek sejak 2019. Nggak ada berita cerai atau apapun itu. Pernah ada warga yang nekat masuk karena curiga sama kepsek, dia nggak bisa nemuin siapa-siapa di rumah selain kepsek sendiri. Waktu di tanya, katanya istri sama anaknya lagi liburan."

"Cih, babi gemuk sialan," gumam Adhisty pelan. "Kita masuk kalau gitu," lanjutnya menoleh ke samping, ke arah Cakra.

"CCTV. Bisa aja kepsek pasang CCTV," ucap Cakra sebelum mereka benar-benar melangkah menuju samping kiri rumah kepsek. Tempat yang berhadapan dengan tanah lapang tak terurus. Temboknya memang tinggi, namun Cakra menemukan alternatif untuk memanjat sebelum Adhisty datang tadi. Dia bisa memanfaatkan bangku yang ada di sana.

"Bodo amat. Si bajingan satu itu tahu kita incar dia. Siapa yang peduli kalau dia tahu kita geledah rumahnya?"

Ah, benar, Adhisty tetaplah Adhisty. Status buronan tidak berpengaruh apa-apa untuk gadis itu.

Tidak ada lagi yang mengganjal, kedua remaja itu akhirnya meninggalkan bagian depan rumah, melangkah menuju tembok samping rumah yang akan mereka panjat.

Memastikan bangku yang dia temukan aman, Cakra naik terlebih dahulu. Tangannya mencapai ujung tembok meski dia harus berjinjit maksimal, memberikan dorongan pada tubuhnya lewat kaki, Cakra berusaha untuk naik meski cukup kesusahan. Beberapa kali gagal, Cakra akhirnya berhasil di percobaan keempat, membuatnya duduk di ujung tembok dengan kaki yang menjuntai ke bawah.

Satu tangannya memegang ujung tembok, sedangkan tangan lainnya terulur ke bawah lengkap dengan tubuh bagian atas yang sedikit merunduk.

Sebelum ada warga yang datang dan mencurigai mereka, Adhisty naik ke atas bangku, berjinjit, lalu meraih tangan Cakra.

Jujur saja, ini sulit. Meski saat sekolah Adhisty sering bolos seorang diri dan memanjat tembok untuk itu, namun tembok Purnama Biru cukup mudah ditaklukkan. Tingginya tidak terlalu gila semacam ini dan dia mampu dengan mudah kabur dari sekolah. Namun, apa ini? Kenapa kepala sekolah membangun tembok seperti ini? Orang itu seolah takut ada maling yang mencuri di rumahnya. Ini tampak seperti rumah milik orang anti sosial.

Cakra mengerahkan banyak tenaga untuk menarik Adhisty, beberapa kali nyaris terjatuh, namun akhirnya berhasil juga meski hadiahnya adalah rasa sakit di dada.

Kini kedua orang itu membuat tubuh mereka berbalik, menjuntaikan kaki pada sisi berlawanan, lalu melihat ke bawah. Sebenarnya mereka tinggal melompat dan ini akan selesai, namun tampaknya tidak semudah itu. Butuh lebih banyak keberanian agar tubuh mereka mau bergerak.

Brukk

Cakra melotot. Benar-benar melotot. Dia sungguhan terkejut begitu Adhisty melompat tanpa sepengetahuannya. Dia memang mendarat di atas kakinya, lompatannya berhasil meski Cakra tak tahu itu sakit atau tidak, namun tetap saja Cakra merasa ngilu karena itu.

Adhisty mendongak, menatap Cakra yang juga menatapnya horor. Memasang raut tidak peduli, lalu berkata, "Lo mau terus berjemur di sana?"

•••

17.12.2022 

The Secret [COMPLETED]Where stories live. Discover now