Lembar Ke-17 : Bus Kota

2.4K 87 8
                                    

Sehari sebelum Hari Raya Idul Adha.

Sepulang dari tempat kerja aku langsung jalan ke stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Disana Aa' Iyan sudah menungguku. Karena tidak ada Bus Transjakarta yang menuju ke sana, akhirnya aku naik Bus Patas Jurusan Tanjung Priok-Tanah Abang. Aku naik Bus bernomor status P-14 tersebut dari depan pasar Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat aku memasuki bus ini, aku melihat penumpang sudah sangat penuh. Tak ada tempat duduk yang kosong. Dengan terpaksa aku berdiri bergelantungan di bus kota ini seperti Tarzan. Aku harus rela berdesakan dengan para penumpang yang lain di tengah suhu yang panas, suasana sumpek dan beraneka aroma terapi yang membuatku jadi agak mual. Kepalaku mendadak pusing dan keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku, aku seperti berada di ruang sauna, bikin gerah dan tidak nyaman.

Bus terus berjalan secara tersendat karena beberapa kali terjadi kemacetan di persilangan jalan lampu merah. Di tengah kemacetan itu, muncullah seorang pengamen dengan suara yang pas-pasan menyanyikan lagu melayu yang mendayu-dayu bersama iringan musik gitar yang terdengar sumbang. Aku mencoba menikmati hiburan anak jalanan itu namun kupingku kurang menerima persembahannya. Suaranya yang tak asik itu hanya terdengar seperti orang berteriak-teriak berisik. Meskipun kurang menghibur, aku tetap memberikan koin sebagai apresiasi usaha Sang Seniman Jalanan tersebut. Usai Si Pengamen turun, diganti dengan munculnya seorang pedagang asongan yang menawarkan dagangannya, penjual minuman itu tanpa segan membujuk para penumpang untuk membeli barang dagangannya. Belum selesai penjual minuman itu berkelana di badan bus, muncul lagi pedagang asongan yang lainnya, kali ini ada seorang bapak-bapak tua yang ku perkirakan berumur 60-an tahun atau mungkin lebih. Kakek-kakek ini berjualan tisu dan beberapa barang-barang kecil seperti peniti, pisau lipat, silet, gunting kuku, dan sejenisnya. Dengan semangat Bapak Tua ini menjajakan dagangannya kepada seluruh penumpang. Sebenarnya aku tidak membutuhkan barang-barang itu, namun karena kasihan menyaksikan perjuangan orang tua tersebut membuat hatiku tergerak untuk membeli barang dagangannya. Satu hal yang membuatku terperanga dan terenyuh, harga barang yang beliau jual ternyata harganya sangat murah meriah sekali. Seperti peniti yang berisi 10 buah, beliau menjualnya seharga seribu rupiah. Bayangkan uang segitu mungkin bagi kita tidak seberapa dan kadang menganggap remeh, namun ternyata itu sangat berarti bagi orang lain seperti bapak tua renta yang satu ini. Tanpa sadar aku menangis melihat raut wajah laki-laki tua itu yang nampak kurus dan penuh keriput, wajah letihnya tergambar nyata namun beliau tetap tesenyum dan tanpa lelah untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah.

Si kakek itu turun setelah tak ada lagi penumpang yang berminat membeli barang dagangannya. Dan kepergian Sang Kakek diganti dengan kedatangan seorang pria muda berambut gondrong dengan penampilan yang dekil. Laki-laki berpakaian bak preman ini berorasi yang tak jelas bahkan cenderung menggunakan kata-kata ancaman yang disampaikan dengan nada kasar dan setengah memaksa. Usai berorasi dia memasang wajah garangnya dan mengadahkan tangannya meminta uang pungut ke seluruh penumpang. Mungkin karena takut dan mengambil langkah aman banyak para penumpang yang terpaksa memberi uang kepada laki-laki itu termasuk aku. Aku tak mau berurusan dengan orang-orang semacam dia, jadi ku lepas koin 500-an ke tangannya.

Aku menghela nafas panjang, entah ada siapa lagi setelah laki-laki malas itu keluar dari bus kota berwarna hijau ini. Aku memejamkan mataku dan berharap aku sudah sampai di stasiun Tanah Abang dengan cepat. Aku tidak mau berlama-lama di bus yang nilai kenyamanannya terlalu minus ini.

Bus terus meluncur dengan kecepatan yang signifikan, rawan macet sepertinya sudah terlewatkan, sehingga bus bisa bergerak sesuai dengan yang aku inginkan. Dan beberapa saat kemudian, akhirnya aku tiba di pelataran stasiun Tanah Abang.

Tinta Putih Di Lembar HitamWhere stories live. Discover now