Lembar Ke-76 : Nenek

1.3K 63 6
                                    


Hari demi hari terasa cepat berlalu, banyak peristiwa yang aku alami, baik di lingkungan tempatku bekerja maupun di kost-anku. Semua itu menjadi catatan dalam buku harianku, kejadian apapun selalu aku tulis sebagai bentuk pengalaman yang bisa aku baca lagi suatu saat nanti. Karena efek dari menulis itu sama seperti kita sedang curhat dengan seseorang, karena pada dasarnya menulis itu sama saja dengan mengungkapkan apa yang ada di benak kita dan dituangkan dengan untaian kata-kata.

__Ketika sesuatu yang tak bisa kamu ungkapan dengan teman-temanmu, kamu tetap bisa bercoleteh dengan sebatang pena dan secarik kertas. Bahkan benda-benda itu akan menyimpan rahasia kamu dan tak akan membocorkan kepada orang lain.

Dan hari ini aku punya kisah yang mungkin menjadi inspirasi atau cerminan buat kita semua.

Well ... berawal dari waktu lembur yang membuatku harus pulang jadi lebih malam dari biasanya. Sambil menunggu angkot yang biasa aku tumpangi aku berdiri di antara kerumunan orang-orang yang berlalu-lalang. Motor, mobil, dan kendaraan-kendaraan lainnya yang juga berseliweran memenuhi jalanan, suara bising klakson mobil dan teriakan orang-orang yang tak sabar juga turut bersaut-sautan menambah semerawutnya carut marut jalanan yang padat karena terjadi kemacetan.

Di ujung sana, aku melihat seorang nenek-nenek yang duduk terkantuk-kantuk menghadap barang dagangannya yang masih terlihat penuh di atas bakul. Perempuan tua yang ku perkirakan berumur di atas 70 tahun itu tertunduk dengan pandangan sayu yang memperhatinkan. Karena merasa iba dan penasaran, akhirnya aku mendekati nenek berkerudung merah yang sudah lusuh dan memudar warnanya itu. Saat aku berada tepat di depan nenek ini, beliau mendongak ke arahku dan menampakan wajah sumringah dengan senyuman tulus yang cukup menyentuh hati. Giginya ompong, pipinya peot, dan kulitnya keriput. Beliau tidak bersuara tapi matanya seolah berkata bahwa beliau sangat mengharap agar aku membeli barang dagangannya. Aku memperhatikan barang dagangan nenek ini yang ternyata beliau menjual aneka rupa jajanan ringan yang cocok buat camilan.

''Berapa harga satuannya, Nek?'' ujarku sambil merunduk agar suaraku bisa didengar oleh nenek ini.

''Sepuluh ribu, tiga!'' jawab nenek ini terbata-bata dengan suara lirih dan nyaris tak terdengar.

''Baiklah ... aku mau beli tiga!'' kataku sambil memilih camilan yang menjadi kesukaanku seperti; keripik bawang dan pilos kacang polong.

Saat aku sedang memilih, nenek itu ternganga, matanya berkaca-kaca dan mulutnya komat-kamit mengucapkan kalimat hamdallah dengan penuh rasa syukur. Bibir dan tangannya gemetaran hingga dia terisak dan mencucurkan air matanya.

''Nenek ... kenapa Nenek menangis?'' Aku jadi heran melihat sikap nenek ini yang cukup membingungkan bagiku.

''Nenek tidak menangis ... nenek cuma bahagia dan bersyukur, karena sudah beberapa hari ini Nenek jualan di tempat ini, dan baru kali ini ada orang yang mau membeli barang dagangan Nenek ...'' ucap nenek ini masih dengan mulut yang gemetaran dan mata yang basah karena butir-butir air matanya yang menggenang dan kini menetes di kedua pipinya.

Sungguh, hatiku jadi sangat terenyuh mendengar pengakuan nenek ini, tanpa sadar aku jadi ikut menitikan air mataku, aku benar-benar terharu dan sedih dengan cerita nenek ini yang sangat menyentuh hati.

''Memang, Nenek biasanya jualan di mana, Nek?'' tanyaku.

''Biasanya Nenek jualan di jembatan penyebrangan yang ada di pusat perbelanjaan, tapi sekarang Nenek digusur oleh satpol PP dan tidak boleh jualan di sana lagi ...'' Nenek ini kembali menangis tersedu-sedu.

''Oh gitu ya, Nek ...'' Aku mengangguk-anggukan kepala,

Nenek ini menyeka air matanya, dia berusaha tersenyum meskipun tangisannya masih terdengar sesenggukan.

''Nenek ... aku mau beli 6 buah lagi, ya ...''

''Alhamdulillah ... terima kasih ya, Allah ... puji syukur ... terima kasih, Nak ...'' kembali nenek ini berkomat-kamit mengucapkan rasa syukur, tangannya masih gemetaran sambil memasukan semua camilan-camilan yang sudah ku pilih ke dalam kantong plastik.

''Ini uangnya ya, Nek ...'' kataku sambil menyerahkan selembar uang 50-ribuan, "Nek ... kembaliannya ambil saja buat Nenek ...'' imbuhku.

Nenek itu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

''Tidak, Nak ... nenek cuma mau menerima uang pembelian saja ... maaf bukannya Nenek menolak rejeki ... tapi Nenek tidak mau mendapatkan uang dari pemberian orang hanya karena orang itu kasihan terhadap Nenek ...''

Jleb ... lagi-lagi aku dibuat ternganga oleh wanita tua ini, ucapan dan sikapnya sungguh-sungguh menggugah perasaanku. Prinsip hidupnya benar-benar luar biasa sekali, dia menolak uang pemberianku dan hanya menerima uang sesuai dengan harga barang yang aku beli saja.

Nenek memberikan uang kembaliannya kepadaku, matanya yang teduh menatapku dengan pancaran mata yang penuh semangat dan berapi-api, beliau memberikan satu senyuman lagi, dan senyuman tulus itu seperti cambukan buat diriku untuk tetap selalu berbuat baik, selalu bersykur dan berpikiran positif.

__Satu hal yang dapat ku petik dari nenek ini adalah tetaplah berusaha dan bekerja keras semampumu, dan jangan pernah mengharapkan belas kasihan orang lain.

Tinta Putih Di Lembar HitamWhere stories live. Discover now