Lembar Ke-73 : Searching

1.4K 63 5
                                    

Hujan masih deras membasahi jalanan yang beraspal, angin juga turut berhembus dengan cukup kencang, petir sesekali menyambar-nyambar dengan cahaya kilatan yang terang dan diikuti dengan suara guntur yang menggelegar. Di tengah cuaca yang kurang bersahabat ini, aku terus berkelana untuk mengendus keberadaan Rangga. Aku mendatangi tempat-tempat tongkrongan yang biasa menjadi tempat Rangga berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Namun, di tempat-tempat itu aku tidak menemukan batang hidungnya. Hampir aku menyerah dan putus asa untuk mencari Rangga, tapi aku sudah berjanji sama Ibunya, kalau aku harus pulang bersama bujang tanggung itu. Di bawah naungan payung biru ini, mataku liar menyapu setiap sudut-sudut bangunan yang berjajar di gang-gang perkampungan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Bagai seekor kucing mata ini jeli dan sensitif setiap melihat bayang-bayang orang yang melintas dimana pun berada dan aku selalu berharap aku bisa menangkap tubuh bongsor Rangga di antara mereka.

Sudah setengah jam aku mondar-mandir mencari jejak si brondong manis itu, namun aku belum juga mendapatkan dia. Aku juga bertanya pada orang-orang yang kebetulan berpapasan denganku di jalanan, akan tetapi jawaban mereka sama, yaitu mereka tidak tahu.

__Aduh ... kemana sih, si Rangga ... kenapa dia seolah menghilang di telan bumi.

Entahlah ... aku tidak tahu harus mencarinya kemana lagi. Aku bingung seperti orang pikun berjalan tanpa arah bersama payung kesayanganku ini. Aku mengikuti kaki ini melangkah hingga aku tiba di sebuah tempat yang sepi dan agak gelap, di sana terdapat bangunan tua yang tak berpenghuni. Di tempat itu aku melihat seseorang yang sedang jongkok meringkuk memeluk kedua lututnya dan menopang dagunya dengan pandangan merunduk. Dia berteduh di bawah atap rumah yang hampir roboh. Tanpa ragu aku menghampiri orang itu, aku yakin dan sangat percaya dari postur tubuh dan pakaian yang dia kenakan sangat mirip dengan ciri-ciri Rangga. Aku semakin mendekati orang itu dan keyakinanku ini semakin bertambah, aku memang tidak salah kalau orang yang di hadapanku ini adalah Rangga.

 Aku semakin mendekati orang itu dan keyakinanku ini semakin bertambah, aku memang tidak salah kalau orang yang di hadapanku ini adalah Rangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Rangga!'' sapaku tegas.

Rangga perlahan mendongakan kepalanya ke arahku, wajahnya nampak pucat dengan mata yang sembab.

''Mas Herio ...'' ujarnya agak terkejut seolah tak percaya kalau aku berada di depannya.

''Kenapa kamu ada disini? Aku dari tadi mencarimu!''

''Hah ... Mas Her ... mencari aku?'' Rangga perlahan berdiri dengan bibir gemetaran.

''Iya ... ayo, buruan kita pulang!''

''Kenapa Mas Herio mencari aku?''

''Karena Ibumu mencemaskan kamu ... Beliau menyuruhku untuk mencarimu! Ayo, kita pulang!''

''Huh! Tidak mau!'' Rangga bersingut kesal sambil membuang mukanya.

''Rangga ... ini sudah malam dan hujan pula ... mau sampai kapan kamu ada di sini? Sebenarnya aku juga mencemaskan kamu, Rangga!''

''Bohong ... kalau Mas Her mencemaskan aku, tidak mungkin!''

''Rangga ... kamu ingat nggak dengan kata-katamu bahwa kamu sudah menganggap aku seperti Abangmu sendiri ... sama seperti kamu, aku juga sudah menganggap kamu seperti adikku sendiri, makanya aku merasa cemas dan peduli sama kamu!''

''Tidak, Mas Herio cuma peduli sama temannya!'' tukas Rangga masih kesal.

''Kalau aku tidak peduli ngapain aku repot-repot kesini mencarimu!'' balasku.

''Udah, Mas Her pulang aja! ... tak usah pedulikan aku ... aku bisa pulang sendiri, kok ... lebih baik Mas Her temani aja temannya!" hardik Rangga.

''Temanku sudah pulang, Rangga ... lagian kamu kenapa sih? ... kok, jadi aneh begini? Ada apa denganmu, Rangga?''

Rangga jadi terdiam.

''Rangga!'' Aku memegang bahu Rangga, tapi remaja tanggung ini menepis tanganku dengan kasar.

''Rangga kesel sama Mas Herio, setiap ada temannya pasti aku dicuekin!'' ucapnya dengan ketus.

''Aduh ... Rangga ... Rangga!'' Aku mengacak-ngacak rambut anak ini yang sudah lepek terkena air hujan, ''siapa yang cuekin kamu sih!'' Aku juga mencubit gemas pipinya yang rada tembem. "Udah, ayo cepetan pulang! Kasihan, ibumu cemas menunggumu di rumah!'' Aku menarik tubuh Rangga dan memeluknya erat agar bisa terlindung di bawah Payung doraemon ini.

Rangga hanya terdiam, dia menggigit pelan bibirnya sendiri dan memandangi wajahku dengan tatapan nanar yang meneduhkan. Aku tidak tahu apa yang ada di benak cowok berhidung bangir ini, aku benar-benar sangat prihatin dengan ekspresi mukanya yang sedikit kacau dan kaku. Diam-diam aku menyandarkan kepala bocah ini di dadaku, aku merangkul pundaknya dan aku menuntunnya untuk berjalan bersama. Tanpa banyak bicara lagi, aku dan Rangga pulang dengan sepayung berdua.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang