Lembar 124 : Dengkuran

1.2K 44 1
                                    

JAM di dinding sudah menunjukan angka 2, tapi mataku belum juga bisa diajak berkompromi untuk berdamai dengan bantal dan kasur. Mungkin, ini efek dari kopi yang aku minum bersama Mas Sofiano beberapa jam yang lalu. Sehingga mataku tetap melek, pikiran gelisah dan hawa terasa gerah. Aku benar-benar tidak bisa tidur, dan mungkin aku terkena insomnia.

Aku mencoba bangun dari tempat tidurku, lalu menyalakan pesawat televisi dan mencari program yang menurutku menarik di jam-jam tengah malam seperti sekarang ini, tapi sayangnya tak ada satu pun acara yang oke. Akhirnya aku switch off aja TV-nya. Kemudian aku membuka pintu kamarku dan berjalan keluar. Udara di luar cukup kontras dengan suhu di dalam kamar, karena di luar lebih terasa digin, meskipun demikian aku malah merasa lebih nyaman dan lebih enak. Di sini aku bisa menghirup udara yang lebih sejuk sehingga mampu me-refresh kondisi tubuhku yang sesungguhnya sudah terlalu lelah.

Di saat aku menikmati udara yang sejuk ini, tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara dengkuran yang cukup keras dan berasal dari kamar sebelah. Kamar itu adalah kamar yang dihuni oleh Mas Sofiano bersama Istrinya. Aku mendongak ke arah kamar itu, dan aku melihat pintunya terbuka sedikit dengan keadaan lampu kamar masih menyala. Karena diliputi rasa penasaran, aku pun bergerak mendekati kamar tersebut. Perlahan dan sangat hati-hati, aku mengintip isi kamar itu melalui celah pintu yang sedikit terbuka ini. Dari sini aku bisa menyaksikan tubuh Mas Sofiano yang tergolek sebagian di kasur dan sebagian lagi di lantai dengan kondisi mata yang terpejam dan mulut menganga lebar mengeluarkan suara ngorok yang terlalu kencang.

Aku terus memperhatikan tubuh Mas Sofiano. Mulai dari wajahnya yang tetap terlihat lucu dan manis meskipun dalam keadaan tertidur. Kemudian aku memperhatikan dadanya yang telanjang nampak bidang dengan hiasan rambut-rambut dada yang halus. Kedua pentilnya juga terlihat melenting kemerahan di tengah lingkaran puting yang berwarna hitam kecoklatan. Ough ... sungguh hamparan pemandangan yang membuatku jadi menahan nafas. Kedua putingnya benar-benar kenyotanable. Iiih ... bikin jantungku ser-seran. Apalagi melihat perut ratanya yang kotak-kotak membentuk sekatan seperti tatanan batu bata. Dan satu lagi, yang membuatku bernafsu saat mata ini melihat gundukan yang menonjol di area tengah pangkal kedua pahanya. Kontol Mas Sofiano sepertinya sedang ereksi sehingga membentuk tenda di balik celana kolor longgarnya. Dari tonjolan itu nampaknya kontol Mas Sofiano berukuran besar dan panjang. Hmmm ... sebuah tonjolan yang membuatku kembang kempis menatapnya. Rasanya aku ingin menjamahnya, meremasnya dan memainkannya. Entahlah, aku tiba-tiba geregetan ingin sekali mencicipi alat vital Mas Sofiano yang tengah ngaceng dan berdiri tegak seperti tiang bendera itu.

Ah ... dasar otak si HOMO, pikirannya langsung kotor bila melihat hal-hal yang berbau selangkangan. Ini yang tidak aku sukai dari diriku sendiri. Mengapa aku gampang sekali terangsang saat melihat tonjolan yang menggairahkan pada bagian tubuh laki-laki yang paling sensitif itu?

Tidak ... aku tidak boleh menuruti hawa nafsuku. Aku harus bisa meredam keinginan nyeleneh ini. Aku harus singkirkan bisikan-bisikan setan yang bisa membuatku bertindak nekat. Dan langkah terbaik yang harus aku lakukan adalah aku memejamkan mataku lalu pergi meninggalkan kamar Mas Sofiano. Aku tidak boleh mengintip tubuh seksinya lagi.

Aku menutup pintu kamar Mas Sofiano dengan pelan, lalu tanpa ragu aku balik ke dalam kamarku. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menghilangkan rasa horny yang sudah di ujung ubun-ubun ini. Ah, sial! ... tubuh Mas Sofiano memang paling enak untuk dijadikan bahan onana onani keke. Keseksiannya benar-benar melambungkan fantasiku. Mungkinkah aku bisa mencicipi tubuhnya dan sanggupkah aku merayunya untuk menikmati senjata kejantanannya? I don't know ... dan aku tidak mau know ... lebih baik aku tidur dan tidak memikirkan hal-hal gila semacam ini. Aku membantingkan tubuhku ke atas kasur, kemudian aku menutupi seluruh tubuh ini dengan selimut. Aku berdoa agar aku segera terlelap dan terbawa ke alam yang berjudul mimpi. One ... Two ... three ... Four ... Five ... Six ... Seven ... hingga aku tak bisa berhitung lagi.

بِسْمِكَ اللّهُمَّ اَحْيَا وَ بِسْمِكَ اَمُوْتُ

(BISMIKALLAAHUMMA AHYAA WABISMIKA AMUUT)

“Dengan menyebut Namamu Ya Allah Aku Hidup dan dengan menyebut Namamu Aku Mati”

Tinta Putih Di Lembar HitamWo Geschichten leben. Entdecke jetzt