Lembar Ke-74 : Bakso

1.3K 57 1
                                    

Tiba di kost-an, Rangga langsung dipeluk sama Ibunya dan diperiksa seluruh kondisi tubuhnya, kekhawatiran di raut wajah sang Ibu berangsur menghilang, namun sikap perlindungan dan kasih sayang sebagai seorang Ibu masih nampak jelas diperlihatkan dengan perlakuannya yang memanjakan anak bungsunya tersebut.

''Rangga ... kamu dari mana saja sih, Nak ... bikin cemas Mama ... kamu tidak apa-apa 'kan?'' ungkap Ibu kost sembari mengusap-usap kepala Rangga dengan penuh kelembutan.

''Mamah ... Rangga tidak apa-apa, berhentilah untuk mencemaskan Rangga, Rangga sudah besar, Mah  .. Rangga bukan anak kecil lagi ... sebaiknya Mamah tidak perlu memanjakan Rangga lagi!'' timpal Rangga yang seakan enggan diperlakukan berlebihan oleh Ibunya itu.

''Aduh ... Rangga, udah merasa gede ya, sekarang ... Mama melakukan ini semua karena Mama sangat sayang sama kamu, Nak!''

''Ya ... tapi jangan lebay begini Mah! Rangga 'kan jadi malu ...'' Rangga melirik ke arahku dan melepas pelukan Ibunya, aku pura-pura melengos dan tersenyum-senyum sendiri.

''Malu sama siapa sih, Nak?''

''Ah ... pokoknya Rangga tidak mau diperlakukan seperti anak kecil. Titik!'' ujar Rangga dengan bersingut lalu dia langsung ngeloyor ke dalam rumahnya.

Ibu Rangga hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan anak laki-laki satu-satunya itu, karena kedua kakak Rangga adalah perempuan dan mereka semua sudah pada menikah.

"Dasar bocah ...'' guman Ibu kost lirih sambil tersenyum kepadaku, "oh ya, Nak Her ... terima kasih ya, sudah membantu Ibu mencari Rangga ...'' lanjutnya.

''Iya, Bu ... sama-sama!'' ucapku, "mmm ... Bu, maaf ... nanti kalau Rangga sudah selesai mengeringkan badannya ... e-mmm ... nanti suruh ke kamar saya sebentar ya, Bu ... ada yang ingin saya bicarakan dengan dia ...'' imbuhku.

''Ya, Nak ... nanti Ibu sampaikan pada Rangga!''

''Baiklah ... kalau begitu saya permisi dulu, Bu ....''

''Mari, Nak ....''

Aku melenggang ke kamar kost-ku, aku meniriskan payungku dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Aku mengambil handuk untuk mengeringkan badanku yang sedikit terkena cipratan air hujan. Setelah itu aku memandang bungkusan bakso yang masih tergeletak di atas meja, kemudian aku memeriksa permukaan kantong plastiknya dan aku merasakan kalau kuah bakso ini sudah terlalu adem karena dibiarkan dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya aku berinisatif untuk memanaskan bakso ini dengan menggunakan Magic Jar yang aku miliki.

Beberapa menit kemudian.

Kuah bakso sudah selesai aku panaskan, namun si Rangga belum juga menampakan batang titit-nya (Eh, maaf batang hidungnya, maksudku. Hehehe ...). Aku menuangkan bakso ini ke dalam mangkok dan seketika itu uapnya mengepul dan menyebarkan aroma khas masakan bakso yang menyentil indra penciumanku sehingga menggoda lidah bergoyang untuk mencicipinya. Meskipun aku menelan ludah, namun aku tahan untuk memakannya, karena bakso ini memang khusus aku persembahkan buat Rangga.

5 menit.

10 menit.

Telah berlalu, namun Rangga belum juga mendatangi kamar-ku. Aku jadi cemas dan curiga, jangan-jangan Rangga masih marah sama aku, atau Ibunya lupa menyampaikan pesanku kepada Rangga. Biarlah aku tunggu saja dulu, mungkin dia lagi mengobrol sama ibunya. Sambil menunggu aku membaringkan tubuhku di atas kasur lalu bermain game yang ada di smartphone-ku.

__Huffftt ... aku sudah menyelesaikan beberapa level permainan, tapi kok, Rangga belum muncul-muncul juga, sih ....

Aku memandang mangkok bakso yang masih bercokol di atas meja, kelihatan uapnya sudah tidak ada lagi, aku rasa bakso itu telah adem kembali. Aku segera bangkit dari pembaringanku dan memeriksa mangkoknya.

__Benar... mangkok ini sudah dingin!

Tidak ada pilihan lain, aku pun keluar dari kamarku dan pergi ke bawah. Namun, saat aku berada di depan pintu rumah Rangga, aku terdiam karena aku melihat kondisi rumah sudah nampak gelap dan sepi. Semua penghuni di rumah ini sudah terlelap tidur. Aku merunduk dan memasang wajah kecewa. Aku kembali ke kamarku dan melirik mangkok bakso itu. Aku tidak mau menyentuhnya. Aku hanya membalikkan badanku dan segera mematikan lampu kamarku. Kemudian, aku membenamkan kepalaku di balik bantal. Aku perlahan memejamkan kedua mataku hingga aku benar-benar tertidur.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang