Lembar 103 : Sofiano

1.4K 56 5
                                    

Malam harinya, aku mengundang Sofiano untuk ngopi dan ngobrol bareng sambil menonton acara televisi. Karena kami sama-sama berasal dari Jawa, kita merasa klop dan tanpa segan menggunakan bahasa daerah kami dalam setiap percakapan.

''Sampeyan wis suwe, Mas Fian ngekost nang kene? (Kamu sudah lama Mas Fian ngekost di sini?)'' tanyaku pada laki-laki yang sekarang cuma mengenakan kaos gantung dan celana pendek kolor.

''Wis rong tahunanlah (sudah dua tahunan lah)'' jawab Sofiano.

''Oh lumayan ... wis suwe (sudah lama) juga yo, Mas ...''

''Iyolah ...''

''Sampeyan wis duwe anak piro (kamu sudah punya anak berapa) sih, Mas?''

''Duwe anak siji ... tapi melu wong tuwone bojoku ... soale bojoku ben dino kerjo nang salon ... dadi ora iso ngurus bocah (punya anak satu, tapi ikut orang tua istri, karena istriku tiap hari bekerja di salon, jadi tidak bisa mengurus anak).''

''Oh ... koyo penganten anyar (seperti pengantin baru) teruslah, Mas ...''

''Hahaha ... yo, ngonolah (begitulah).''

''Emange sampeyan nikah wis pirang tahun (memang kamu nikah sudah berapa tahun), Mas Fian?''

''Nembe 3 tahunan, sih (baru 3 tahun).''

''Oh, gituh!''

''Iyo ... Lha sampeyan dewe umure piro (kamu sendiri umurnya berapa) ... Herio?''

''Aku 24 tahun, Mas Fian ...''

''Wah wis menjelang waktu kawin kuwi, Her (sudah waktunya menikah itu Her) ... ndang goleken bojo (buruan cari istri)!''

''Kawin sih wis, Mas Fian ... nikahe sing durung (kawin sih sudah nikahnya yang belum). Hahaha ...''

''Hahaha ... sampeyan biso wae ...''

Aku dan Sofiano tertawa ngakak. Dan pada saat kami sedang asik-asiknya ngobrol, tiba-tiba istrinya Sofiano datang menghampiri kami, lalu dia mengajak Sofiano pergi untuk mengantarnya mencari makanan buat santapan malam. Jadi terpaksa deh, obrolan kami berdua tertunda. Sofiano pergi bersama istrinya, sementara aku kembali duduk terbengong sambil ngemil remahan krupuk renggenang.

 Sofiano pergi bersama istrinya, sementara aku kembali duduk terbengong sambil ngemil remahan krupuk renggenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lastri

Aku menutup pintu kamar kost-ku dan membaringkan tubuhku di atas kasur. Pandanganku lurus ke langit-langit kamar, namun pikiranku menerawang jauh entah kemana. Aku mengingat-ingat masa silam yang telah aku lalui. Perjalanan hidupku yang penuh dengan lika-liku misteri. Suka dan duka datang silih berganti mengisi sela-sela kehidupan yang aku hadapi. Kadang aku merasa iri dengan laki-laki yang usianya tak berbeda jauh dengan diriku, seperti Sofiano. Di usianya yang masih di bawah 30 tahun, namun dia bisa mejalankan kehidupan normal, menikah dengan seorang wanita kemudian memiliki seorang anak dan membentuk keluarga kecil yang bahagia. Dan jauh di dalam lubuk hatiku tersimpan rasa keinginan yang semacam itu. Aku ingin menjadi laki-laki sejati yang bisa memperistri seorang perempuan dan membangun kehidupan berkeluarga lhayaknya laki-laki dewasa pada umumnya. Entahlah, apakah aku bisa menjalani kehidupan impian seperti itu? Sementara aku memiliki orientasi seksual yang melenceng dan jauh berbeda dengan gaya hidup pria-pria normal. Rasa kasih dan sayangku tertambat pada diri seorang laki-laki bukan pada makhluk yang bernama perempuan. Jelaslah ini diluar kodrat, tapi aku tidak mengerti ... mengapa rasa ini hadir dan tumbuh subur dalam jiwaku bahkan perasaan nyeleneh ini muncul sejak aku masih kecil ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Dimana aku tertarik dan jatuh cinta pada salah satu teman lelakiku. Aku tidak tahu bagaimana aku memiliki rasa semacam itu dan tak mampu untuk membuangnya jauh-jauh, padahal aku ingin merubah rasa tertarikku kepada laki-laki menjadi tertarik kepada perempuan. Namun, aku tetap tak bisa, meskipun aku berusaha sekuat tenaga ... aku masih berada dalam rongrongan perasaan cinta sejenis.

Diam-diam aku menangis, karena harus memendam rasa cinta ini, karena aku tidak mau mengungkapkan dan berterus terang kepada teman laki-laki yang aku taksir. Tentu saja, aku tidak mau dia tahu kalau aku menyukainya ... aku tidak bisa membayangkan bagaiman sikap dia, bila dia mengetahui perasaanku terhadapnya ... jadi meskipun sakit ... aku selalu meredam dan mengubur rasa cinta itu. Aku menutupi darah homoseksualku dengan perilaku yang wajar dan straight act di tengah kehidupan bermasyarakat.

Tinta Putih Di Lembar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang