Lembar 130 : Ribut

1.3K 63 2
                                    

''SEPERTINYA, aku datang pada saat yang tidak tepat ... Maaf ... kalau aku mengganggu kalian!'' guman laki-laki itu ketus sembari melengoskan mukanya dan membalikkan badannya, lalu tanpa basa-basi dengan langkah sigap dia hendak pergi.

''Rangga!'' seruku memanggil laki-laki belia itu, ''tunggu!'' tambahku untuk menahan langkahnya, namun sedikit pun Rangga tidak menggubrisku. Dia bergerak dengan secepat-cepatnya.

Aku mengakhiri pengobatan terhadap Mas Sofiano, lalu dengan gesit aku bangkit dan mengejar Rangga.

''Rangga!'' Aku terus mengejar pemuda tanggung itu meskipun hingga di jalanan. Untungnya jalanan masih sepi.

''Rangga Hidayat!'' seruku dengan suara yang paling tinggi, dan usahaku ini tak sia-sia, Rangga mau mendengarkan aku dan dia menghentikan langkahnya. Laki-laki muda ini mendongakku dengan tatapan yang masih setajam silet.

''Mengapa kamu mengejarku, Mas Her! '' ujar Rangga ketus.

''Karena kamu berlari, makanya aku mengejarmu!'' jawabku ringan.

''Hmmm ...'' Rangga bersingut kesal sambil membuang nafas.

''Hmmm, juga ....'' balasku.

''Udah sebaiknya Mas Her balik aja ke kamar dan urusi tuh, pelangganmu! Hmmm ... dasar LONTE LANANG!''

''Rangga ... apa yang kamu ucapkan itu!'' Aku mengkerutkan keningku karena tak percaya dengan apa yang dituduhkan ABG laki-laki ini.

''Munafik ... HOMO MURAHAN ... cuuiiih najisss!'' Rangga terus berkoar-koar dan mengeluarkan kata-kata pedas yang menyakitkan hatiku.

''Rangga ... kamu tidak sadar kalau kata-katamu itu membuatku sangat sakit hati!''

''Rangga tidak peduli ... Rangga menyesal telah mengenal dan berhubungan dengan orang macam kau ... SAMPAH!''

PLAAAKKK!

Satu pukulanku mendarat di pipinya, entahlah ... kekuatan apa yang menyebabkan aku bertindak nekat seperti ini dan tega memukul Rangga dengan tanganku sendiri. Aku jadi gemetaran dan sangat deg-degan. Rangga jadi terhuyung, mata dan mukanya memerah seketika lantas remaja tanggung ini memandangku dengan tatapan geram, dan sejurus kemudian dia membalasku dengan menghujamkan pukulan di dada dan punggungku. Kali ini aku tidak bereaksi, aku membiarkan Rangga memukul-mukul tubuhku hingga dia merasa puas dan berhenti memukuliku.

Setelah puas memukuli tubuhku Rangga jadi tertunduk lesu dan duduk di tepi jalan dengan kesal. Aku menghampirinya dan berusaha mengusap rambutnya. Akan tetapi ...

''Lepaskan ... jangan sentuh aku!'' bentak Rangga sambil menghempaskan tanganku.

''Maafkan aku, Rangga ... aku sudah memukulmu ....''

''Diam kau BRENGSEK! ... Aku benci kau! Dasar HOMO LAKNAT!''

''Rangga ... kamu boleh membenciku ... tapi kamu tidak perlu menghinaku!''

Rangga jadi terdiam, namun air mukanya masih nampak masam dan tangannya mengepal menahan geram.

''Rangga ... sebenarnya aku senang sekali kamu datang kemari ... karena banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kamu ... tapi sayangnya kamu masih bertindak seperti ini ... kamu masih saja salah paham dan tidak mau mendengarkan penjelaskanku ... kamu tidak mau membalas pesanku bahkan kamu juga tidak mau mengangkat panggilan telepon dariku ... jika kamu tidak mau berhubungan apapun dengan aku ... baiklah ... aku terima ... dan aku tidak akan pernah mengganggumu lagi!''

Aku perlahan membalikan tubuhku, lalu dengan berat hati aku menggerakan telapak kakiku dan berjalan meninggalkan Rangga.

''Mas Her ... '' ujar Rangga menahan gerak langkahku.

Aku jadi tertotok dan mematung di tempat mendengar panggilan Rangga.

''Kenapa sih, harus Rangga yang mengalah .... mengapa harus Rangga yang datang ke tempat Mas Her ... perlu Mas Herio tahu, ya ... Rangga melakukan itu semua biar Mas Herio sadar dan peduli sama Rangga ... Rangga ingin Mas Herio datang menemui Rangga di rumah Rangga ....''

''Rangga ....'' Aku membalikan tubuhku kembali dan bergerak mendekati Rangga, "semalam aku datang ke rumah kamu ... aku mencarimu hingga aku mendapati kamu sedang berada di rooftop ...'' lanjutku.

''Benarkah?'' Rangga membelalakan kedua matanya.

''Ya ... dan aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri apa yang sedang kamu lakukan di rooftop semalam ...''

''Emangnya apa yang Mas Herio lihat?''

''Kamu sedang bermesraan dengan seorang anak perempuan ...''

Rangga jadi merubah mimiik mukanya. Wajahnya nampak lebih memucat dari sebelumnya.

''Apakah Mas Herio, cemburu?''

Aku hanya mengangguk.

''Hehehe ... '' Rangga tersenyum sinis, ''Mas Herio jadi tahu 'kan gimana rasanya cemburu ... sama, Mas ... apa yang Mas Herio rasakan sama saja seperti pada saat Rangga melihat laki-laki di kamar Mas Herio ... sakit Mas! Sakitnya tuh, di sini!'' lanjut Rangga sambil menepuk-nepuk dada kirinya.

''Tidak, Rangga ... laki-laki itu cuma temanku ... dan kamu juga tahu, bukan? Kalau laki-laki yang sedang berada di kamarku sekarang ini, dia adalah tetanggaku ...'' terangku.

''Dan anak perempuan yang bersamaku juga hanya temanku, Mas ....'' timpal Rangga.

''Tapi, apa yang aku lihat semalam jauh berbeda ... di antara kalian seperti ada sebuah hubungan yang istimewa ...'' tukasku.

''Itu hanya perasaanmu saja, Mas ...'' balas rangga.

''Bagiku tidak apa-apa, Rangga ... kamu berhak menjalin hubungan normal dengan perempuan mana pun ... aku akan mendukungmu!''

''Apakah Mas Herio tidak sayang lagi sama Rangga?''

''Aku tidak tahu, Rangga ...''

''Mas Herio ... maafkan Rangga ya, karena sudah berkata-kata kasar dan menghina Mas Her ...''

''Sudahlah lupakan saja ... aku memaafkanmu!''

Rangga merundukan pandangannya seolah ada penyesalan yang sedang menyimuti batinnya. Gunda, tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku sendiri juga diam karena tidak ada yang musti diucapkan lagi.

''Mas Her ... terus selanjutnya bagaimana?''

''Terserah kamu!''

Aku dan Rangga jadi terdiam.

Tinta Putih Di Lembar HitamWhere stories live. Discover now