Lembar Ke-77 : Banci

1.3K 59 2
                                    


Akhirnya angkot yang aku tunggu-tunggu datang juga. Aku langsung memasuki angkot ini, di dalam angkot aku melihat sudah ada beberapa penumpang. Mereka duduk dan sibuk dengan layar smartphone-nya masing-masing. Aku mengambil tempat duduk tepat di belakang pak sopir, lalu tanpa menunggu lama lagi, mobil ini pun segera melaju dengan kecepatan yang cukup kencang. Di tengah jalan sang sopir menghentikan laju mobilnya ketika ada seseorang yang melambaikan tangannya karena akan turut menumpang. Orang itu segera masuk ke dalam angkot dan duduk di sebelahku.

Sesaat aku melirik orang ini, karena aku mencium aroma yang kurang sedap dari tubuh laki-laki ini. Aku memperhatikan laki-laki ini yang penampilannya cukup necis juga, kaca mata bulat, kemeja kerja seperti orang kantoran dirangkapi dengan sweeter yang dipadu dengan celana bahan warna hitam, serta bersepatu pantofel yang mengkilat. Secara visual dia lumayan good looking, namun sayangnya dia memancarkan bau badan yang membuat indera penciuman orang di sekilingnya menjadi tidak nyaman.

Sepanjang jalan aku terpaksa menahan nafas, karena tidak mau menghirup aroma terapi yang bikin pusing itu. Aku baru terbebas dari bebauan cowok itu ketika aku turun dari angkot berwarna biru telor asin ini.

__Ackhh ... akhirnya aku bisa menghirup udara segar yang bebas polusi individual.

Oke ... aku melenggang dengan langkah keliyengan karena efek terlalu lama menahan nafas di dalam angkot. Aku tidak langsung balik ke kost-an, karena aku mau mampir ke sebuah warung tenda untuk membeli santapan makan malamku.

Aku memasuki warung di tepi jalan ini dan langsung memesan seporsi pecel lele plus tempe serta tahu goreng. Aku juga memesan satu gelas jeruk hangat sebagai minumannya. Sambil menunggu pesanannya, aku duduk di salah satu bangku plastik berwarna biru tua. Aku melirik ke arah beberapa pengunjung di warung ini yang sedang asik menikmati makanannya. Mereka nampak lahap menghajar hidangannya.

Dan saat menunggu begini tiba-tiba muncul dua orang pengamen nyentrik yang menghampiri para pengunjung. Aku terkejut melihat penampakan mereka (dua pengamen itu) yang cukup membuatku mengurut dada pasalnya dua pengamen ini mengenakan pakaian wanita yang seksi, baju tank top dan rok mini yang memamerkan paha-paha mulus mereka. Padahal dua orang itu adalah laki-laki.

(Yuups ... bisa dipastikan mereka itu waria alias bencong bin banci).

Dandanan mereka menor dan sangat menyolok seperti pemain lenong. Mereka membawa tape recorder portable yang digendong oleh salah satu dari mereka. Mereka menyetel music disco yang rancak sambil bergoyang-goyang menampilkan aksi kocak yang mengundang tawa para pengunjung warung. Sebagian pengunjung memandang mereka dengan tatapan mata yang skiptis, sebagian mengkerutkan jidat karena merasa aneh melihat pertunjukan dua pengamen bencong itu yang terlalu nyeleneh.

''Sawerannya, Kakak!'' ucap salah satu dari mereka dengan suara manja dan gayanya yang centil. Dia menyodorkan bungkus permen bekas ke arahku. Matanya mengerling genit merayuku untuk memberikan saweran kepadanya.

Aku jadi nyengir sembari merogok kocek recehan yang biasa aku simpan di salah satu kantong yang terdapat di tas kerjaku. Aku menaruh beberapa uang 500-an ke dalam kantong plastik bekas bungkus permen itu yang kemudian disambut dengan senyuman nakal oleh wanita jadi-jadian itu.

''Terima kasih, Ganteng ... cucok deh, ahhh!'' ujar pengamen itu gemes sambil mencubit daguku, dan para pengunjung yang lain jadi Gerrrr ... mereka tertawa melihat tingkah binal pengamen-pengamen banci itu yang menggodaku hingga aku jadi tersipu malu, mukaku terasa memerah seperti udang bakar.

Puas menggodaku banci-banci itu pergi dan menggoda pengunjung pria yang lain dan memaksa mereka untuk memberikan uang sumbangan buat mereka. Hmmm ... aku hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat pemandangan yang bikin menggelitik perut itu, mereka belum mau pergi sebelum pria-pria incarannya memberikan uang saweran kepada mereka.

Sedih dan sekaligus miris, melihat aksi konyol para banci-banci ini, mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan cara mereka sendiri yang tentunya penuh perjuangan dan membuang rasa malu serta mengabaikan harga diri mereka. Aku tahu di balik keceriaan di wajah mereka yang penuh make up, tersimpan jeritan hati yang kelam pada diri banci-banci tersebut. Aku yakin mereka tidak ingin menjadi seperti mereka yang sekarang ini, mereka melakukan itu semua karena tergerus oleh nasib yang kurang beruntung sehingga mereka memilih jalan kehidupan yang di mata banyak orang dipandang sebelah mata dan menganggap mereka sebagai sampah masyarakat.

__Miris dan sedih.

Tinta Putih Di Lembar HitamWo Geschichten leben. Entdecke jetzt