Part 38 : Da Ge

31 3 2
                                    

"Kamu yakin ?". Liu Lingqi terus bertanya kepada Anindhya.

"Sudah dua puluh tujuh kali kamu berkata seperti ini padaku". Anindhya menjawab perkataan Liu Lingqi.

"Dan kamu sudah menjawab iya untuk dua puluh enam pertanyaanku".

"Maka ini yang kedua puluh tujuh". Anindhya mengangguk.

"Tapi di luar sedang hujan, salju nya juga cukup tebal". Jiang Ren memotong pembicaraan mereka berdua.

"Ada sebuah alat bernama payung dan mantel yang bisa ku gunakan".

Anindhya terus menyanggah semua pertanyaan Liu Lingqi dan Jiang Ren.

"Baiklah, baiklah".

Liu Lingqi mengambil mantel dan pedangnya.

"Ayo kita berangkat sekarang, aku akan mengikuti mu dari belakang untuk jaga-jaga".

Anindhya mengangguk. Kemudian ia memakai mantelnya dan membawa tombak pendeknya serta payung yang telah ia siapkan.

"Jiang Ren, jaga tubuh Jayapati. Jangan sampai kedinginan. Nanti kalau ada masalah, Liu Lingqi akan memberikan sinyal kembang api".

Jiang Ren mengangguk mendengar perintah Anindhya.

"Kami berangkat !".

Anindhya dan Liu Lingqi kemudian keluar dari kamar dan menuju ke pintu keluar.

...

"Aku akan bersembunyi di belakang reruntuhan itu. Kalau ada masalah teriak saja".

Anindhya mengiyakan perkataan Liu Lingqi.

Kemudian ia berjalan ke sebuah paviliun yang persis di pinggir sungai. Sebagian besar bangunan paviliun itu berada mengapung di atas air.

Sesosok laki-laki muda duduk menghadap ke arah sungai. Tangannya ia sedekapkan di atas pinggiran pagar paviliun dan menyangga kepalanya.

"Aku datang"

Laki-laki itu seketika terbangun dan membalikan badannya.

"Aku yakin kau pasti datang". Laki-laki yang tak lain adalah Pranandaka itu kemudian menghampiri Anindhya yang baru saja datang.

"Duduklah".

Ia mempersilakan Anindhya untuk duduk di sebuah kursi yang telah disediakan.

"Minumlah teh hangat ini, cocok untuk cuaca hujan ini".

Pranandaka menuangkan teh hangat ke dalam gelas dan memberikannya kepada Anindhya.

"Terimakasih". Anindhya menerima segelas teh hangat itu dan meminumnya.

Ia pun meletakkan gelas itu di atas meja.

"Mana penawarnya ?".

Anindhya berkata tanpa menatap mata Pranandaka.

Pranandaka seketika tersenyum.

"Jangan terburu-buru. Kita nikmati sore yang indah ini".

Anindhya tampak kesal.

"Kau ingat sore itu, tepat ketika rumahmu baru saja dibakar...".

Pranandaka menuang teh kedalam gelas, kemudian meminumnya.

"...pada saat itu aku membawa mu ke pinggir Sungai Brantas, kebetulan saat itu sedang hujan cukup deras. Aku membelikan mu sebungkus kacang rebus hangat. Tapi kamu tidak makan sebiji pun".

Ia tampak mengeluarkan sebuah kantong kain. Kantong itu terlihat agak basah dan mengepulkan sedikit asap.

"Aku membelikan mu kacang rebus hangat lagi. Makanlah. Sambil kita mengenang indahnya masa lalu".

Vajra : Friend and RevengeWhere stories live. Discover now