Part 72 : Angin Malam

57 3 0
                                    

Jayapati terdiam memandangi sepiring bubur beras yang baru saja ia buat. Ia ingin Kepulan asap putih berbau harum yang keluar dari sepiring bubur beras itu tidak segera meninggalkan asalnya.

Malam ini ia berada di dalam kamar Anindhya. Menunggu perempuan yang sedang tidur itu agar bangun untuk menyantap bubur beras yang ka letakkan sedari tadi di atas meja di sebelahnya. Perempuan Singhasari itu masih belum pulih sepenuhnya akibat dari serangan-serangan yang ia lancarkan pada Pranandaka tempo hari.

Sesekali Jayapati melihat orang di balik selimut tebal itu menggeliat dan mengerang kecil. Namun, tak ada tanda-tanda perempuan itu terbangun. Jayapati ingin sekali rasanya menebus kesalahannya ketika Anindhya tidak sadarkan diri pada waktu itu. Rasa-rasanya ia terlalu egois dan malah membiarkan perempuan itu berjuang sendiri melawan sakitnya, dan malah merepotkan orang lain karena itu.

"Justru aku yang seharusnya yang bertanya. Kemana saja kamu? Mengapa kamu membiarkannya seperti ini ? Ingat ketika kita bertemu di Paviliun Kebahagiaan, aku sudah mengingatkan mu kalau Anindhya sedang terkena sesuatu dan kamu malah menyangkalnya?"

Ia terus terbayang-bayang dengan cercaan Pranandaka ketika terakhir mereka bertemu. Tepat sebelum terjadi perkelahian antar mereka.

Memang perkataan Pranandaka itu benar. Hanya Jayapati yang merasa dirinya tidak terlalu peka untuk menerjemahkan kata-kata Pranandaka.

Ya, Jayapati merasa ia bukan laki-laki yang peka.

Sekali waktu ia memang ingin berduaan dengan Anindhya, dan sepertinya hari ini adalah waktu yang tepat. Selama Anindhya juga bangun malam ini.

Ia memang sengaja pamit terlebih dahulu kepada Tuan Zhuge dan para keluarga Wu yang sedang melakukan pertemuan di aula utama. Alasannya, ia ingin beristirahat terlebih dahulu agar bisa menyambut kedatangan keluarga Yuan esok hari. Namun ia berbohong. Sebenarnya, ia ingin mengobati Anindhya dengan mentransfer energinya sebisa yang ia mampu untuk membetulkan energi Anindhya yang sedang kacau balau selepas rentetan kejadian yang menimpa perempuan malang itu.

"Panas sekali di sini, coba aku buka jendelanya," gumam Jayapati.

Laki-laki Singhasari itu berjalan mendekati jendela besar di ujung kamar. Dibukanya jendela itu dengan perlahan agar suara kayu yang menderit tidak menganggu lelapnya tidur Anindhya.

Seketika angin malam menerpa wajah bersih Jayapati. Jendela itu memang menghadap ke arah taman yang tidak banyak ditanami denga pepohonan sehingga angin malam yang dingin dapat bebas bergerak kesana kemari.

"Jayapati, kau di sini?"

Jayapati langsung membalikkan badannya setelah mendengar erangan kecil dari perempuan di belakangnya. Tampaknya, si angin malam mampu menembus selimut tebal Anindhya dan membuatnya terbangun.

"Ternyata, kamu sudah bangun. Jangan kemana-mana, tetap di kasurmu saja." pinta Jayapati.

Dengan segera, laki-laki itu berjalan cepat menghampiri bubur panas yang kini telah sedikit mendingin menjadi hangat. Setidaknya suam-suam kuku, cocok untuk dihidangkan.

Ia lantas berjalan membawa semangkuk bubur itu kepada Anindhya.

"Makan dulu. Seharian kamu tidak makan. Setelah selesai, aku ingin mencoba mentransfer energiku kepadamu," ujar Jayapati.

Anindhya hanya mengangguk menurut.

Kemudian, Jayapati tampak mengaduk bubur beras yang hanya berlaukkan telur ayam yang direbus tanpa kulit beserta rajangan kecil daun bawang serta sedikit kecap asin untuk menambah rasa. Lantas, ia suapkan kepada Anindhya. Dengan perasaan begitu tenang, perempuan itu menerima suapan demi suapan dari laki-laki yang berada di depannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 24, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Vajra : Friend and RevengeWhere stories live. Discover now