Part 42 : Kabut Kota Handan

29 3 2
                                    

"Kabut ini tebal sekali". Jiang Ren mengibaskan udara dengan tangannya.

"Kita berhenti sejenak, aku tidak bisa memandang apapun". Liu Lingqi menghentikan kudanya dan berhenti sejenak di pinggiran jalan.

"Kabut ini lebih tebal dari kabut yang turun tiap hari di gunung Pawitra". Anindhya mencoba mengamati lingkungan sekitarnya.

"Matahari tidak bersinar setiap saat seperti di Nusantara, jadinya ya seperti ini". Kata Liu Lingqi. "Tidak lama lagi, kita akan memasuki gerbang kota Handan".

"Kabut seperti ini cukup sulit ditembus oleh musuh, sebuah benteng alam yang cukup bagus". Jayapati turun dari kudanya dan menuntunnya.

Mereka berempat menuntun kuda masing-masing mengikuti jalan setapak yang ditengahnya diberi penanda dari batu yang dibenamkan.

Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi burung-burung mulai mengeluarkan cuitannya.

Tiba-tiba ngin bertiup cukup kencang sampai-sampai dahan pepohonan bergesekan.

"Awas, ada serangan !".

Belasan anak panah tiba-tiba melesat ke arah mereka berempat.

Liu Lingqi segera mencabut pedang kembarnya dan melesat ke arah depan. "Saatnya mempraktikkan ilmu baru ini" .

Liu Lingqi menghalau belasan anak panah yang melesat.

Kedua tangannya cukup terampil memainkan dua buah pedang sekaligus.

Anak-anak panah itu kemudian tidak datang setelah beberapa lama Liu Lingqi menghalaunya. Tampak Liu Lingqi cukup kelelahan menahan beban dua buah pedang yang ia bawa di tangan kanan dan kirinya.

"Lingqi, awas !". Jiang Ren berteriak kepada Liu Lingqi.

Seorang perempuan berusia 18 tahunan yang berpakaian keemasan menyerang Liu Lingqi dari balik kabut.

Liu Lingqi menahan serangan wanita itu dengan menyilangkan dua pedang di dadanya, agar tangan wanita itu tidak menyentuh dadanya.

Ia terdorong beberapa meter ke belakang ketika perempuan itu menyerangya.

Wajah si perempuan itu tidak terlihat jelas tertutup oleh kabut yang amat tebal. Hanya saja gerakan tangannya masih dapat dilihat oleh Liu Lingqi dengan cukup jelas.

Liu Lingqi mencoba mengumpulkan kekuatannya dan berhasil menghempaskan tangan perempuan misterius itu.

Si perempuan itu mundur beberapa langkah kemudian mencoba untuk maju menyerang lagi. Tapi kali ini bukan Liu Lingqi yang menahan serangannya, melainkan Jiang Ren yang menggantikan dengan tangan kosong.

Terjadi pertarungan tangan kosong yang cukup sengit antara perempuan itu dengan Jiang Ren. Tapi tidak satu pun dari mereka yang mengetahui wajah dari musuhnya.

Hingga matahari mulai menampakkan kehangatannya. Ayam hutan jantan berkokok lantang. Kabut tebal perlahan menghilang.

Perempuan itu mulai kehilangan konsentrasi setelah ia melihat dengan siapa ia bertarung.

Jiang Ren berhasil memukul dada perempuan itu sampai terhempas beberapa meter ke belakang.

Perempuan itu kemudian bangkit dan segera memasang kuda-kuda dan bersiap menyerang Jiang Ren kembali.

"Tunggu !".

Liu Lingqi mengambil sebuah batu giok hijau bertuliskan Shu.

"Perwakilan Shu Han, memohon izin masuk ke kota Handan menemui Tuan Yuan Long".

Ia menyodorkan batu giok hijau berukir itu ke perempuan itu.

"Maafkan atas kelancangan kami". Perempuan itu tampak terkejut dan merasa sangat bersalah. Seketika ia memberikan hormat.

Liu Lingqi membalas memberikan hormat. "Maafkan juga adikku ini, andai saja kabut itu tidak menghalangi pandangan kita". Ia tampak melirik Jiang Ren ketika itu.

"Perkenalkan, nama saya Yuan Dizhen, putri ke-enam dari tuan Yuan Long. Kalian semua adalah tamu kami, silahkan lewat sini".

Mereka berlima kemudian menyusuri jalan setapak dan tak lama kemudian, mereka tiba di pintu gerbang kota Handan.

"Tuan Yuan memiliki 7 orang anak dan aku satu-satunya perempuan diantara mereka. Ayah memiliki sebuah peraturan dimana setiap satu minggu sekali, kami harus bergantian menjaga pintu gerbang ini. Kebetulan tadi malam adalah giliran ku berjaga". Yuan Dizhen tampak cepat akrab dengan mereka berlima.

"Lalu, hari ini berarti giliran adikmu yang berjaga ?". Jayapati bertanya kepada Yuan Dizhen.

"Benar, tapi kemarin pagi ketika aku berangkat berjaga, adikku Yuan Shan suhu badannya meninggi. Semoga saja sudah sembuh dan bisa berjaga malam ini. Aku ingin mampir ke rumahku dulu sebelum kita menuju ke rumah utama". Kata Yuan Dizhen.

Setelah melewati jalan kota Handan yang ramai seperti lautan manusia, akhirnya mereka sampai ke pintu gerbang belakang kediaman keluarga Yuan.

Gerbang itu tidak dihias dengan banyak ukiran dan warna, hanya berupa kayu yang diplitur coklat tua dan di samping kanan kirinya terdapat sepasang patung singa.

"Taruh saja kuda kalian di sini, nanti biar dibawa oleh paman pelayan. Silahkan masuk".

Liu Lingqi, Jayapati, Jiang Ren, dan Anindhya mengikuti arahan Yuan Dizhen menuju sebuah kamar besar yang sepertinya disiapkan untuk tamu.

"Ayah sudah menerima surat dari kalian beberapa hari yang lalu, sehingga beliau sudah mempersiapkan kamar untuk kalian".

Mereka berlima memasuki kamar dan menata barang-barang yang mereka bawa.

"Aku akan menengok adikku dulu, kalau ada apa-apa kalian bisa mencariku atau mencari pelayan yang ada di sini". Yuan Dizhen memberi salam kepada mereka dan segera pergi.

...

"Bosaaan".

"Sedari tadi kamu cuma rebahan, bantu aku gitu".

Liu Lingqi tampak kesal dengan Jiang Ren yang sedari tadi hanya tiduran di kasur, sementara yang lainnya membereskan barang bawaan.

"Aku keluar !".

Jiang Ren bangkit dari tempat tidur dan berjalan sauantai menuju pintu keluar.

"Jangan buat gara-gara !". Liu Lingqi berteriak kepada Jiang Ren tapi seperti diabaikan olehnya.

Jiang Ren berjalan menyusuri koridor sambil sesekali membenarkan posisi rambutnya yang tertiup angin.

Hampir semua bagian kompleks belakang rumah keluarga Yuan ia lewati. Hanya kompleks utama saja yang ia tak berani masuki.

Sesekali ia menyapa kepada pelayan yang lewat. Hingga akhirnya ia berhenti di sebuah paviliun kecil yang terletak di tengah-tengah kolam ikan.

"Suasana seperti ini, mengingatkanku dengan kompleks rumah keluarga Shu".

Ia duduk di kursi sambil menghadap ke arah kolam. Kepalanya ia sandarkan di atas meja, sedangkan kakinya ia taruh di pagar pinggir paviliun.

Matanya sedikit demi sedikit terpejam tersapu angin sepoi-sepoi. Tak sadar ia membalikkan tubuhnya yang semula telentang.

"Hwaa !!!".

Jiang Ren tersungkur ke bawah.

Sejenak ia berdiam dalam posisi tengkurap sambil meringis kesakitan.

"Lantai ini terbuat dari marmer, jangan bertingkah yang macam-macam. Sekali terjatuh, kulitmu akan langsung memar".

Jiang Ren mendengar suara laki-laki berusia sekitar 30 tahunan yang tampak asing baginya.

"Bangun".

Laki-laki itu membantu Jiang Ren untuk berdiri.

"Ikut aku, aku ambilkan obat". Laki-laki berkumis tipis itu menuntun Jiang Ren untuk pergi ke ruang pengobatan.

"Aku belum memperkenalkan nama, namaku Yuan Shou. Kamu boleh memanggilku kakak atau apapun, tapi perlu kau ingat, aku belum menikah".

"Putra Tuan Yuan Long ?". Jiang Ren bertanya dengan suara yang samar-samar.

"Putra kedua. Dari 7 bersaudara".

Vajra : Friend and RevengeOnde histórias criam vida. Descubra agora