Part 55 : Pipi

20 4 0
                                    

"Anindhya, tanganmu tidak kenapa-kenapa kan ?"

Tiba-tiba Jayapati bertanya seperti itu.  Agak aneh bagi Anindhya memang. Tidak biasanya Jayapati mempermasalahkan hal seperti ini.

"Ah, lupakan saja tentang itu. Hanya luka kecil, jadi aku tutupi dengan kain," jawab Anindhya.

"Luka di pergelangan tangan itu berbahaya Anindhya. Biar aku lihat !"

"Tidak perlu"

Jayapati merebut pergelangan tangan Anindhya dengan paksa. Kemudian membuka kain yang menutupinya.

"Rajah bergambar Cakra ?" Jayapati tampak heran karena perempuan seperti Anindhya membuat rajah di tubuhnya.

Anindhya menghela nafas panjang, kemudian mencoba melepaskan cengkraman Jayapati.

"Bukan aku yang buat, tapi orang tuaku. Konon, rajah ini ada pasangannya. Bergambar kalajengking, yang memakainya adalah mendiang kakakku"

"Kamu punya kakak ?" Jayapati terheran-heran." Bukannya kamu anak tunggal ?"

"Kata ibuku, kakakku sudah meninggal ketika umur 3 tahun karena jatuh ke dalam jurang,"

Jayapati tampak bingung dengan penjelasan Anindhya karena ia baru tahu ada kejadian anak kecil yang masuk ke dalam jurang.

Tapi ia mencoba berpikir positif.

"Aku dulu ingin sekali membuat rajah di bahu ku. Sepertinya itu sangat keren. Tapi, ibuku melarang ku membuatnya. Katanya itu menyakitkan," kata Jayapati sambil terkekeh.

"Memang benar sangat menyakitkan," Anindhya berusaha menenangkan dirinya agar tidak meneteskan air mata.

"Tiba-tiba aku rindu dengan ibu. Bagaimana kabarnya di sana ya ? Pasti sangat kesepian," ujar Jayapati. Pandangannya berubah tertuju ke awang-awang.

"Kalau ibuku sudah tentram di sana"

Jayapati melirik ke arah Anindhya yang mulai meneteskan air mata.

"Walaupun orang tuaku sering bertengkar, tapi aku tetap merindukan mereka,"

Jayapati sebenarnya ingin merangkul tubuh sahabat masa kecilnya itu, tapi ia tetap mematuhi norma kesopanan yang berlaku.

"Maaf,"

Anindhya menggeleng. Kemudian menyeka air matanya.

"Kalau begitu aku akan kembali ke kamarku,"

Jayapati hendak kembali ke kamarnya. Tapi ketika baru saja beranjak, tangannya ditahan oleh Anindhya.

"Waktu kebakaran itu, kamu berada di mana ?"

Jayapati tercekat. Ia membatalkan keinginannya untuk keluar. Kemudian ia kembali duduk di sebelah Anindhya.

"Kenapa kamu menanyakan itu ?"

"Andai saja kamu yang mendatangiku waktu itu, mungkin aku tidak akan bertemu dengan laki-laki busuk itu,"

"Pranandaka ?"

"Jangan sebut namanya di hadapanku."

Jayapati menarik nafas panjang kemudian mengembuskannya perlahan-lahan.

"Waktu itu aku berada di Keraton Singhasari. Sungguh, tanyakan saja pada Paman Anabrang,"

Anindhya diam saja. Ia tahu, waktu tidak bisa diulang lagi.

"Kalau begitu, aku kembali ke kamar. Segera tidur,"

Jayapati melenggang keluar dari kamar itu. Tapi ia tidak berbelok ke kamarnya, melainkan turun ke lantai bawah yang merupakan sebuah restoran.

Vajra : Friend and RevengeWhere stories live. Discover now