Criticism

3.3K 325 43
                                    

Warn!Political issue



Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta

Suara nyanyian mars mahasiwa terdengar dari barisan mahasiswa yang berbaris dengan membawa berbagai macam tulisan kritik untuk pemerintahan. Warna-warni jas alamamater memenuhi jalanan seakan menunjukkan bahwa mereka terjun untuk bersatu menyuarakan ketidak adilan.

Sebuah aturan baru yang kontroversial baru saja disahkan membuat rakyat geram. Seakan pemerintahan memanfaatkan kondisi yang kacau untuk kepentingan pemangku kekuasaan. Masyarakat menangis dengan darah dan keringat bercucuran akibat perokonomian yang berantakan, namun pihak yang berkuasa justru memiliki celah untuk semakin membuat rakyat tak memiliki kebebasan. Kita merdeka dari belenggu negara asing, namun terjajah oleh negeri kita sendiri yang kini terasa asing.

Salah satu mahasiswa berperawakan kecil duduk bersandar pada pohon yang menjulang tinggi. Tangannya membawa kertas besar yang sudah kusut akibat ia gunakan untuk mengipasi diri. Udara panas, matahari bersinar dengan terik, namun segala hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk mencari keadilan bagi rakyat negeri ini.

"Kau mau?"

Pemuda itu menatap sebotol air mineral yang disodorkan padanya kemudian ia menggeleng ketika melihat seorang laki-laki dengan seragam polisi berdiri di sampingnya.

"Tidak, terima kasih," ucapnya dengan sesopan mungkin agar tidak menimbulkan kekacauan.

Polisi itu mengangguk pelan kemudian mendudukkan dirinya di samping si mahasiswa yang sesekali memperhatikannya dengan tatapan curiga.

"Aku tidak memasukkan racun di dalamnya, aku hanya membantu membagikan apa yang diberikan oleh masyarakat sekitar bagi mahasiswa yang sedang memperjuangkan keadilan."

"Dan kalian menghalangi kami untuk menyuarakan kebebasan," ucap si mahasiswa sesaat setelah si polisi menyelesaikan kalimatnya.

Polisi itu tersenyum tipis kemudian memberikan botol air mineral itu pada tangan mahasiswa di sampingnya. Lee Felix nama mahasiswa itu. Felix memperhatikan si polisi dan membaca nama yang tersemat di seragam dinas polisi itu.

"Pak Changbin yang terhormat, apa yang anda lakukan disini?"

"Membantu membagikan air mineral? Sepertinya aku sudah mengatakannya sebelumnya."

"Bukan, kenapa anda tidak mengusir kami pergi?"

"Demonstrasi sudah diberi izin, aku hanya perlu berjaga-jaga ketika kalian melakukan kerusuhan. Kenapa aku harus mengusir kalian?"

Felix mengangguk paham, ucapan polisi itu ada benarnya juga. Lantas mahasiswa manis itu diam di tempatnya sembari memperhatikan para mahasiswa lain yang berlalu-lalang di hadapannya.

"Kami juga rakyat," ucap Changbin menarik atensi dari Felix.

"Maksudnya?"

"Kami juga rakyat sama seperti kalian. Meski kami bertugas mengamankan keadaan dan terkesan melawan, tapi di sisi lain kami hanya menjalankan tugas yang sudah diberikan. Kami juga tak setuju dengan peraturan itu, tapi mau bagaimanapun kami harus menjalankan pekerjaan kami dengan baik. Oleh karena itu, kami percayakan perlawanan ini pada kalian mahasiswa. Aku dan rekan lainnya akan bekerja keras melindungi kalian dari serangan pihak berkuasa."

Felix terdiam, pemuda manis itu memperhatikan si lelaki berseragam polisi dengan lebih teliti. Wajah polisi itu terlihat lelah, keringat terlihat jelas di keningnya dan luka yang belum kering terlihat jelas di pelipis lelaki itu.

Felix membuka tasnya kemudian mengambil sesuatu dari sana untuk kemudian menarik bahu Changbin menghadap ke arahnya. Tangan kecil pemuda manis itu dengan sigap menuang alkohol ke atas kapas yang ia bawa kemudian tangannya beralih membersihkan luka yang ada di pelipis Changbin dengan pelan.

"Aku bertugas memberikan pengobatan bagi teman-teman yang terluka, tapi aku rasa kakak juga teman kami," ucap Felix dengan tangannya yang terus bergerak mengobati luka Changbin dan terakhir menempelkan plester luka di pelipis polisi itu.

Changbin tersenyum tipis kemudian memberikan secarik kertas yang ia bawa ke pangkuan Felix sebelum kemudian kembali berdiri. Lelaki itu memperhatikan Felix sekali lagi kemudian tangannya bergerak mengusak rambut pemuda manis itu pelan.

"Jaga dirimu baik-baik, semoga kita bisa bertemu di lain waktu," ucap Changbin yang kemudian segera kembali ke tempatnya untuk berjaga meninggalkan Felix yang masih memperhatikannya.

Setelah Changbin tak nampak lagi, Felix membuka gulungan kertas dari Changbin kemudian pemuda manis itu tersenyum tipis ketika membacanya.

Kau terlihat cukup lelah setelah berlalu-lalang mengobati luka para demonstran. Istirahatlah sejenak dan isi tenagamu untuk kembali menyuarakan keadilan. Bawa teman-temanmu yang mulai lelah ke tepian dan berikan mereka minuman yang sudah aku letakkan di belakang pohon cemara depan kantor keuangan. Aku percaya pada kalian. Semangatlah!

Ketika sebagian mahasiswa menatap polisi sebagai anjing penjaga pemerintahan, dan sebagian polisi menatap mahasiswa sebagai para remaja yang tak punya kerjaan, disana ada dua laki-laki dari masing-masing pihak yang saling terhubung dengan kepercayaan.










Kami hanya mahasiswa yang tak memiliki kekuatan, begitu kata hati para pemangku kekuasaan.
Kami hanyalah sekumpulan sampah yang mengganggu jalannya ketidak adilan, begitu kata mereka yang serakah pada kekayaan.
Kami sudah lelah, namun terus kalian jejali dengan kemunafikan.
Ini kritik kami, untuk pemerintahan yang sudah tak punya hati.














Di hari ketika teman-teman terjun di jalanan, aku diam di dalam ruangan untuk menyelesaikan laporan. Aku nggak sempat nulis untuk lanjutan cerita, namun juga nggak bisa membiarkan teman-teman berjuang tanpa dukungan, lalu jadilah cerita singkat ini.
Aku berharap tidak ada lagi kawan kami yang terluka.

Sebelumnya, aku suka takut buat nulis yang berhubungan dengan politik, tapi terkadang segala masalah ini membuat muak. Jadi ya udah, beranikan bersuara.

Three Words 3 [ChangLix] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang