10. 2day 2morrow 4ever

85K 7.6K 497
                                    

"Ternyata kata pulang memang tidak berlaku bagi mereka yang hidup namun dianggap sudah hilang."

***

Mungkin bagi banyak manusia diluar sana pulang itu adalah rumah.

Rumah dimana tempat mereka terlahir dan tumbuh disana. Rumah yang tidak bisa menjadi ukuran bagaimana besar moment masa yang tenggelam dalam jutaan detik yang membawanya menjadi memori kelam. Sebagai sebuah ingatan yang berubah menjadi rasa sakit.

Seperti memori senja yang hanya ada dalam waktu yang singkat. Karena itu lah Raksa menggunakan waktu sorenya untuk memasuki rumahnya setelah satu harian penuh ia berdiam di Wabyo bersama mereka. Dan sekarang Raksa memilih untuk mengunjungi rumahnya, ralat, maksudnya rumah kedua orang tuanya.

Di ruang keluarga sudah ada Ayah Raksa beserta ibunya yang duduk di sofa. Kedatangan Raksa di sambut baik.

"Eh.. Udah pulang rupanya," sambut Riu, Ibu dari Raksa.

Raksa tersenyun tipis, "Tumben Ma, lagi ngomongin apa?" tanya Raksa, ia pun duduk. Hatinya sedikit menghangat saat melihat mereka yang tampak membicarakan hal ringan, tidak seperti biasanya.

Stevan, Ayah Raksa menyerahkan selembar kertas berisi deretan nilai harian dan PTS milik Raksa. "Nilai."

Raksa hanya menatap kertas itu di atas meja. Dari apa yang dilihatnya memang selalu tidak sama dengan yang terjadi. Lagi-lagi Raksa harus kecewa dengan rasa bahagia yang ia ilusikan. Rahangnya mulai mengeras tapi sebisa mungkin ia diam.

"Kemarin Ayah cek ke wali kelas kamu. Nilai kamu masih stabil, kedepannya tingkatkan lagi." Terang Stevan seakan perintahnya itu mutlak dan tidak bisa di gugat.

Ibunya tersenyum tipis. "Gak papa. 95 udah bagus kok, hebat kamu."

"Untuk nanti usahakan tingkatkan lagi agar nilai kamu sempurna." Kata Stevan.

Riu menghela napasnya. "Pah, 95 juga udah bagus loh, pokoknya kamu fokus aja supaya nilai kamu gak turun ya Sa, proses perlahan." Nasihat Riu.

Raksa hanya tersenyum. "Iya Ma, doain.."

"Tapi saya hanya ingin kamu punya hasil sempurna Raksa. Oxford itu tujuan kamu, ingat kan?"

"Ingat pah.."

Lagi-lagi Raksa hanya bisa tersenyum kecut. Jujur saat ini rasanya Raksa ingin mencari samsak dan melampiaskan amarahnya disana. Diam-diam Raksa menyembunyikan tangannya yang sudah terkepal sempurna di balik saku jas sekolahnya.

"Coba aja Raffa masih ada. Pasti rumah ini tidak akan sepi."

Riu tersenyum kikuk. "Iya pa." Gumamnya, hati Riu terasa mencelos seketika.

Jika kalian tahu, Raffa itu lebih pendiam dari Raksa. Dan yang setiap pagi atau sore hari yang selalu riuh memenuhi ruang keluarga dengan cerita sekolahnya itu justru adalah Raksa, pemilik nama Kanagara yang bergelar Pangeran di keluarganya. Banyak cerita yang memang selalu menjadikannya pusat perhatian mereka, dulu. Tapi sekarang, semuanya menghilang begitu saja.

Haruskah sebuah jiwa tidak dianggap ketika jiwa lain sudah pergi?

Tidak adil bukan?

"Raffa selalu melakukan segalanya dengan sempurna. Dia selalu menargetkan 101% di setiap apa yang dia kerjakan." Tutur Stevan melirik Raksa yang hanya menunduk.

Raksa tahu. Raksa paham jika Stevan sudah mengungkit Raffa di hadapan ibunya dan membanggakan Raffa hingga membuat dirinya merasa rendah, itu akan membuat Riu sedih. Dan pada akhirnya ia selalu ditempatkan di posisi dengan rasa bersalah. Rasa bersalah pada Riu, rasa bersalah pada Raffa, dan rasa bersalah pada dirinya.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang