16. Yang Salah Sebenarnya

78.1K 6.1K 203
                                    

"Ternyata rumah sudah tidak senyaman dulu bagi si lemah penikmat luka semesta."

***

Raksa hanya diam menerima setiap perkataan yang keluar dari bibir ayahnya saat ini. Terlalu malas jika harus merespon perintah yang pada akhirnya hanya akan membuat dirinya semakin rugi.

"Saya ingin kamu lolos di seleksi ini. Olimpiade ini bisa jadi peluang kamu untuk masuk di Oxford, paham?"

Raksa hanya menggumam malas dan menganggukan kepalanya pasrah.

"Jangan mengecewakan saya lagi, ingat Raksa, Raffa tidak pernah gagal, dia selalu berhasil. Dan saya tidak mau kamu gagal lalu menjadi sampah dimata keluarga kita!"

Hidup dibalik jeruji tuntutan keluarga memang sulit untuk merasakan kebebasan. Alasan apa lagi yang harus Raksa ambil untuk tidak membenci sosok pria tua di hadapannya sekarang? Jujur ini sangat memuakkan, hidup di tuntut itu tidak enak, Raksa akui jika saudaranya itu memang hebat, mampu menahan tekanan dari ayahnya yang gila tahta.

"Kenapa harus Raffa?" Tanya Raksa menatap kedua mata ayahnya, ingin sekali Raksa berteriak mengeluarkan segala pundi-pundi hatinya yang selalu ia tahan.

Cara menatap mereka sama bahkan dari cara bicara, hingga membuat Stevan merasa bercermin saat melihat mata anaknya ini, Raksa adalah dirinya versi muda, keras kepala dan lugas, namun sayang.. Stevan bukan orang yang peduli, ayah dari anak tersebut kejam dalam kompetensi, melakukan cara apapun agar menang. Dan Raksa tidak sudi menjadi manusia seperti itu.

"Raffa itu keberhasilan yang papa sia-siakan."

"Bicarakan hal yang penting Raksa!" Bentak Stevan.

Raksa tersenyum miring. "Menurut papa Raffa gak penting?" Tanya Raksa enteng.

"DIAM KAMU!"

Raksa mendecih. "Raffa yang berhasil juga gak pernah papa banggain selama dia hidup!"

"SIAPA BILANG!"

"PAPA YANG BUAT RAFFA JADI PERGI! DAN SEKARANG PAPA MAU NGELAKUIN HAL SAMA KE RAKSA?!"

PLAK!

Satu tamparan keras membuat wajah Raksa menoleh ke samping dengan paksa. Pipinya memanas karena tamparan itu, Raksa sudah tau rasanya hingga membuatnya terbiasa. Ia hanya membiarkan rasa sakit itu menjalar di sana.

"Saya gak ngajarin kamu buat jadi anak kurang sopan santun! Mama kamu gak becus ngurus anak! Harus saya beri pelajaran apa ke dia?" Tanya Stevan.

Tangannya terkepal kuat, sialnya pertanyaan itu lah yang akan membuat Raksa lemah, segala hal tentang ibunya. Raksa lemah jika menyangkut ibunya, dan ayahnya sudah tau titik lemah dirinya membuatnya mudah untuk diperbudak seperti ini.

Napas Raksa memburu, ia menatap Stevan seakan ingin memberontak. "Jangan pernah salahin mama!"

"Karena dia yang ngelahirin kamu!"

"RAKSA ITU CERMINAN PAPA!" Teriaknya hilang kendali.

"SAYA TIDAK PEDULI!"

"Raksa itu cerminan diri papa yang keras dan selalu mentingin diri papa daripada keluarga." Tekannya lagi membuat Stevan terdiam.

"Dengan buat Raksa jadi nomer satu di sekolah itu gak akan bisa buat rasa bersalah papa ke Raffa hilang! Karena dari awal papa yang salah! Papa harus tau kalau Raffa pergi karena papa!" Teriaknya, suaranya naik satu oktaf seakan ingin melepas segala hal yang ada di hatinya selama ini. Usia mudanya terlalu gemuruh dan Raksa tidak akan membiarkan dunia ikut meriuhkan jalan hidupnya.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang