39. Pembunuh?

63K 5.5K 464
                                    

"Jangan melawan semesta dalam keadaan terluka."

***

Dentingan sendok dengan piring beradu di ruang makan keluarga Alba. Kedatangan Raksa setelah hampir dua bulan ia tidak pulang membuat Riu senang.

Mungkin terkadang Raksa hanya mampir pagi-pagi untuk menjemput sepupunya ketika berangkat ke sekolah. Di perintah Ibunya, jika menolak Raksa harus mencari pacar. Ogah.

Keheningan sempat tercipta sebelum Stevan menyaut.

"Gimana persiapan Olimpiade kamu Raksa?" Tanya Setvan.

Raksa yang hendak menelan makanannya itu mendongak, lalu ia meneguk air sejenak membasahi tenggorokannya. "Aman Pa," balasnya Raksa singkat.

Riu yang sedari tadi sibuk makan itu mendadak hilang selera. Ia ingin protes kepada Stevan karena terlalu intens jika menyangkut segala hal yang bersangkutan dengan pendidikan, bahkan saat di meja makan sekalipun, Stevan selalu membahasnya. Riu melirik Raksa sedikit yang tampak tenang dan biasa-biasa saja, namun ia yakin jika putranya itu tengah menahan sebuah rasa kesal.

Sedangkan Rachel yang duduk di hadapan Raksa hanya menyimak, ia tidak terlalu berhak untuk ikut campur. Rachel berdehem lalu menoleh ke arah Stevan.

"Om, kira-kira bisa gak kalo Rachel sekolah di sini aja sampai lulus?"

Kontan Raksa menatap cewek itu tajam, ada kilatan rasa tidak suka yang ia tunjukan, namun reda saat Riu memberikannya tatapan meneduhkan seakan memberinya leraian.

Stevan terseyum tipis setelah menimbang-nimbang ajuan Rachel, keponakannya.

"Kalo kamu suka, why not?"

Rachel tersenyum sumringah, "Really?" Tanyanya dengan nada antusias, Stevan lantas mengangguk sebagai jawaban.

Senyum Rachel semakin mengembang. "I'm so happy. Kayanya Rachel nyaman di sini aja Om, hehe.. Apalagi Raksa di sekolah itu teladan banget, jadi contoh buat yang lainnya juga,"

Saat namanya di sebut Raksa semakin mengeraskan rahangnya, entah tahu atau berpura-pura tidak tahu, Rachel sepertinya sengaja menyulut amarahnya, Raksa menatap Rachel dengan tatapan tajam dan membunuh. Apa motif cewek itu hingga berani menjual namanya sekarang? Nyari mati?

"Baguslah, memang dia kurang sadar bahwa dia itu bagus dan pantas di jadikan acuan, seharusnya dia masuk organisasi osis, biar bisa lebih berkembang lagi," ujar Stevan menatap anaknya.

Rachel mendadak kelu, sepertinya ia salah langkah. Apalagi sekarang tatapan Raksa sudah tidak terkondisi, tajam seakan ingin mengulitinya. Rachel mendadak merinding saat tidak sengaja membalas tatapan itu.

Tidak ada yang berani mengusik Kanagara bermata elang sedikitpun, dulu bahkan hingga sekarang.

Raksa mendecih dalam hati. "Drama."

"Kamu ambil fisika? Kenapa tidak Kimia? Bukankah itu lebih bagus dan bisa jadi peluang kamu masuk kedokteran?"

Raksa meneguk ludahnya. "Kimia udah ada kandidatnya pah, dan Fisika gak ada yang sanggup, Raksa di tunjuk,"

"Iya mas, lagi pula Raksa sudah pernah juara di Kimia, peluang dia udah banyak, bukannya lebih bagus kalau dia ambil peluang lain?" Saut Riu menengahi.

Stevan menghela napasnya. "Setidaknya jika kamu ambil Kimia peluang kamu makin besar dan gak bisa di geser."

Riu mendesah pelan, ia menatap suaminya itu, tatapan teduhnya membuat Stevan sedikit melunak. "Justru jika Raksa ambil yang lain, dia gak akan berpatok di satu tujuan. Ini memang gak akan plin-plan buat masa depan dia, tapi setidaknya meminimalisir kegagalan juga kan? Ada peluang lain selain kedokteran." Terang Riu, jika begini Stevan juga tak bisa membantah.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang