56. Surat darinya

50.5K 4.8K 583
                                    

"Bahagia dan luka itu sejajar. Tergantung bagaimana kuatnya manusia menerima keduanya."

***

Gadis berambut panjang itu berjalan di lorong yang sepi. Ia berniat pulang sore hari ini, dan seperti biasa Alda selalu sendirian, lagi-lagi Alda selalu menyuruh Syabina agar pulang lebih dulu dengan alasan ia harus mencari buku di perpustakaan yang padahal tidak.

"Gua banyak bohongnya." Dengusnya merasa dirinya sedikit buruk karena banyak membohongi orang lain.

Alda hanya berjalan dengan kepala tertunduk. "Pena dari ayah juga hilang," lirihnya.

Air matanya terjebak di kelopak mata cantik itu. Alda menengadah seraya terkekeh kecil, berusaha menahan air matanya agar tak jatuh lagi. Sesak tentu saja, tapi Alda tidak mau di anggap lemah hanya karena ia menangis seperti minta di kasihani.

"Mereka pergi tanpa pamit, dan gua jadi menyedihkan." Gumamnya.

"Semua orang akan hilang pada waktunya."

Alda tertegun saat suara berat itu terdengar. Ia berbalik hingga Alda dapat melihat siapa di sana.

"Hilang? Kenapa harus dengan hilang?" Tanya Alda.

"Ada yang hilang untuk datang. Ada yang hilang untuk tidak datang." Balas cowok itu sambil melangkah mendekati Alda.

Wajah laki-laki yang sudah memberinya luka kemarin berhasil mengunci seluruh perhatiannya saat ini, banyak hal yang ingin Alda utarakan padanya, memintanya alasan apapun tentang waktu indah yang sempat Alda bagi bersamanya yang katanya terpaksa itu.

"Lalu untuk yang tidak datang lagi, kenapa berani memulai? Memulai bahagia dan memberi akhir yang sakit." Ucap Alda pelan. Dadanya kembali sesak. Alda hanya diam membiarkan sosok itu mendekat.

"Sebagai pembuktian." Balas cowok tersebut.

"Pembuktian?"

Ia mengangguk. "Sebagai pembuktian bahwa manusia akan merasa kehilangan saat sesuatu yang mereka cari gak bisa kembali."

"Tapi gua bukan bagian dari manusia yang butuh pembuktiannya, Sa." Lirih Alda.

Raksa menghela napasnya, menatap mata gadis itu yang mulai berkaca-kaca membuat Raksa merasa jahat. "Gua anter pulang ya?"

Alda terkekeh miris hingga air matanya meluncur bebas. "Sakit Sa," lirihnya.

"Liat lo gua jadi Sakit," lirih Alda lagi. "Tapi kalo gak sama lo gua lebih sakit."

Melihat gadis di hadapannya terluka, Raksa hanya terdiam. Tangannya terulur menghapus jejak air mata di pipi Alda. "Maaf," hanya kata itu yang keluar.

"Maaf?" Ulang Alda.

Raksa kembali diam seakan mulutnya tidak pantas berkata yang lain. Ia meraih lengan Alda dan meletakan sebuah benda itu di tangannya. "Punya lo kan?" Tanya Raksa.

Alda mengusap air matanya dan mengangguk. "Darimana lo bisa dapet ini?"

"Rooftop."

Alda mengusap ukiran di pena yang ia genggam. Ia terdiam lama, senyum tipisnya mengembang ketika hatinya menjadi tidak cemas lagi saat memegang pena itu. Pena yang ayahnya berikan 10 tahun lalu saat usianya berumur 7 tahun.

Alda kembali menatap Raksa yang masih berdiri di hadapannya. Cowok itu tidak memakai seragam, hanya kaos putih serta celana hitam yang dipakainya. Rasanya sedikit asing, Raksa bisanya memakai kaos hitam sebagai dalaman seragamnya.

"Makasih." Ujar Alda.

Raksa mengangguk. "Udah nangisnya?" Tanya Raksa membuat Alda menatapnya.

"Ayo pulang." Ajak Raksa lagi.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang