50. Hujan Sore..

59.9K 5.3K 827
                                    

"Geranium itu seperti mereka yang masih berharap saat di sia-siakan berulang kali."

***

Pagi hari di dalam ruangan megah bergaya eropa sudah ada dua laki-laki yang saat ini duduk berhadapan serius. Ikatan diantara mereka adalah Ayah dan Anak, yang mungkin hanya sebatas ikatan tanpa cerita yang baik.

Raksa menautan kedua tangannya menimbang hal yang akan dia katakan. Ini pertama kalinya Raksa berani memanggil ayahnya untuk bicara empat pasang mata. Hanya karena satu nama yang sudah berani mengubah segala hal tentang dirinya, Aldaraya.

"Raksa butuh jawaban Ayah."

Stevan duduk seraya menyesap rokok di tangannya. "Tentang?"

"Kerjasama perusahaan." Jawabnya.

Stevan menarik sudut bibirnya, lalu ia meletakan puntung rokok itu pada asbak. Menyadari bahwa Raksa memang peduli dengan hal ini membuat Stevan sedikit tertarik dengan nama Alda.

"Ini pertama kalinya kamu peduli dengan hal yang saya rencanakan."

Raksa menatap ayahnya yang saat itu duduk di sana, namun keterdiamannya seakan memberikan aura ancaman yang sangat kuat. Raksa tahu, ayahnya bukan sembarang orang yang bisa Raksa ajak bersepakat, karena terkadang kesepakatan itu justru menjadi bumerang baginya.

"Kenapa ayah membuat kerja sama ini di saat waktu itu ayah jelas menolak hubungan Raksa dengan dia?" Tanya Raksa tanpa basa-basi, seperti biasanya Raksa selalu to the point.

"Kamu takut dia terancam?"

Raksa terkekeh sinis. "Raksa baru tau kalo ayah adalah orang mudah berubah pendirian." Sindirnya.

Stevan menghela napasnya. "Kamu akan tahu jika sudah menemukan pemilik ke dua dari pena itu."

Deg.

Sorotnya berubah serius, Raksa menatap Stevan mencari maksud dari apa yang baru saja Stevan katakan. Tentang pena itu, tidak mungkin Stevan bisa tahu.

"Pena? Maksud ayah?"

Stevan terkekeh seperti meremehkan Raksa yang tidak menyadari bahwa Ayahnya itu bisa melakukan hal yang bahkan tidak terpikir. "Saya tahu semuanya. Tentang kamu dan geng kamu itu." Ujar Stevan yang tentu saja membuat Raksa terkejut.

"Bagus, kamu tidak menjadi ketua osis tapi kamu menjadi ketua di sana." Ungkap Stevan lagi.

Raksa meneguk ludahnya kasar, rahangnya mengeras menyadari kebodohannya. Stevan adalah tipe orang yang bertindak jika sudah tahu hal tentang Raksa, dan hal itulah yang membuat Raksa semakin merasa terbatas dalam melakukan sesuatu.

Stevan terkekeh geli melihat perubahan raut wajah Raksa. "Rupanya kamu tidak belajar dari kesalahan tahun itu. Seharusnya kamu mengingat bagaimana kematian saudara kamu dulu, kamu tertarik berakhir seperti dia?" Tanya Stevan.

Rahang Raksa menegang. "Jangan pernah membahas Raffa seakan dia yang paling salah." Tekannya.

Alis Stevan terangkat. "Kenapa? Memang itu faktanya dan kamu harus belajar."

"Belajar jadi wayang?" Raksa mendengus sinis. "Raksa bukan Raffa yang mau di atur sama ayah."

"Saya tidak akan mengatur kamu lagi. Jika kamu masih sepakat dengan aturan kerjasama ini."

Dahi Raksa mengernyit penuh tanya. Lagi-lagi pernyataan Stevan membuat otaknya berputar mencari alasan. "Raksa butuh alasan dari tindakan ayah."

"Kamu akan tahu setelah mengetahui pemilik pena itu." Balas Stevan kemudian bangkit dan melangkah berniat keluar dari ruangan kerjanya.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang