12. Kepergian Sang Mama

82.1K 7.2K 138
                                    

"Terlalu lemah sampai sempat bertanya 'Dunia yang berlebihan, atau aku yang berlebihan?"

***

"MAAAAA!"

Gadis itu meraung tak terkedali. Bahunya bergetar hebat seraya memeluk sosok wanita paruh banya yang tertidur kaku di atas brankar.

"Mama jangan tinggalin Alda lagi!" Pekik gadis itu sambil menangis.

"Mama katanya mau hidup lama sama Alda Ma!"

Kehilangan itu luka. Air matanya merembes menadakan bahwa dunianya sedang hancur. Satu-satunya manusia yang sangat Alda sayangi diambil pencipta segalanya di alam semesta. Gibran yang melihatnya juga tak kuasa, ia hanya bisa mengusap bahu gadis itu memberi ketenangan, meski Gibran tahu ini tak akan berhasil.

"Alda gak mau sendiri ma.." lirihnya dengan air mata yang semakin deras.

"Alda sayang sama mama, jangan pergi.." bisiknya melemah.

Gadis itu membelai wajah ibunya yang terlelap dengan wajah pucat, tubuhnya dingin seakan mengatakan bahwa raganya sudah tak bernyawa. "Ayo ma bangun sebentar." Ucap Alda memohon. "Alda mau ngobrol sama mama."

Namun nihil, tak ada suara atau gerakan kecil sedikitpun yang menjadi respon dari tubuh sang mama. Alda menggeleng lemah, ia memeluk ibunya seraya menangis pasrah.

"ALDA MOHON MA! ALDA MOHON!" Teriaknya.

"ALDA BENCI SENDIRI MA!"

"ALDA MASIH MAU MAMA HIDUP!"

"Al.. Mama lo udah bahagia." bisik Gibran.

Alda semakin terisak. "Alda mau mama bangun. Alda mohon ma, Alda gak minta apapun lagi, Alda janji!"

Hatinya meronta ingin berteriak memarahi segala takdir yang terjadi. Namun keadaanya sekarang sedang tidak baik-baik saja. Untuk sekedar berharap pun rasanya Alda tidak sanggup. Karenya keinginannya adalah hanya ingin mamanya pulang, pulang untuk hidup bersamanya, bukan pulang kepada Tuhan.

Gibran meraih bahu gadis itu, "Mama lo udah tenang Al." Ucap Gibran dan memeluknya.

"Gua tau ini berat buat lo. Tapi jangan bikin mama lo nyesel." Ucap Gibran sambil mengusap pundak gadis itu. "Biarin dia tenang, di tempat yang paling pantas untuk bahagia." Bisik Gibran.

Alda terisak dalam pelukan cowok itu. "Mama di ambil Tuhan.." lirih Alda yang menangis membuat hati Gibran juga sakit. Tangannya terkepal, hanya bisa mengusap punggung sepupunya lembut.

"Semesta jahat. Gua sendiri Gib. Kenapa dunia jahat ke gua. Gua salah apa?" Lirih gadis itu yang terdengar seperti lirihan menyakitkan di telinga Gibran.

Matanya ikut berkaca-kaca, sebisa mungkin Gibran menahannya memilih menarik napas panjang, "Ada kebahagiaan yang menunggu lo dan lo harus menempuhnya dengan rasa sakit." Tukas cowok itu.

Alda masih menangis. "Gua gak siap." Ucapnya dengan suara parau. "Gua gak siap sendirian dan gua gak mau bahagia sendiri." Isak Alda dengan air mata yang meluncur bebas dengan deras.

Gibran menatap wajah gadis itu, perlahan jemarinya terulur dan mengusap air mata yang kian tak berhenti. "Ada gua, Al." Ucapnya. "Ada kita juga." Lanjut Gibran, dengan arti 'kita' yang mengingatkannya kepada mereka.

***

Raksa menatap layar ponselnya yang hitam padam. Lalu ia menyalakannya lagi tapi mematikannya lagi hingga berulang kali. Wajahnya seperti biasa tetap datar tanpa ekspresi. Jarang sekali ia menatap roomchat selama itu. Ada yang membuat hatinya merasa terganggu sejak pagi bahkan hingga sekarang. Rasa mengganjal yang masih sama, seperti kurang sesuatu.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang