27. Darz atau Dia?

83.4K 6.3K 395
                                    

"Banyak yang lebih dilukai dan butuh dimengerti."

***

Plak.

Stevan melemparkan beberapa lembar foto itu ke hadapan Raksa. Raksa duduk di sofa, matanya menatap satu persatu foto itu, melihat foto dirinya yang berdiri bersama seseorang di atas batu karang membuat Raksa meneguk ludahnya kasar.

"BELAJAR!" Bentak Stevan.

Raksa diam, ia menunduk, hatinya sudah campur aduk dan tidak karuan. Tapi ini bukan saat nya ia takut, bukan saat nya ia memikirkan lukanya nanti. Ini tentang bagaimana caranya melindungi Alda dari sentuhan ayahnya sendiri.

"Saya pikir selama ini kamu sungguh-sungguh dengan janji kamu Raksa!"

"Mana?! Mana buktinya?!" Bentakan itu semakin keras hingga menusuk telinganya.

Raksa menghela napasnya. "Raksa belajar pah."

"BUKA MATA KAMU! PACARAN HAH?!" Bentak Stevan mengangkat foto itu di hadapan wajah Raksa.

Stevan menampar pipi Raksa dengan kertas foto yang berisi foto Raksa bersama Alda kemarin malam. "INI NAMANYA PACARAN! BUKAN BELAJAR!"

Raksa menunduk, dengan rahang yang mulai menegang ia mendecih pelan, orang tua ini memang tak pernah ada puasnya. Dan lagi-lagi ia hanya bisa memaki dalam hati.

"Maaf," ujar Raksa pelan.

Stevan melempar foto itu kasar, pria setengah baya itu menaruh kedua tangannya di pinggang, menatap anaknya dengan tajam penuh amarah.

"Kamu tahu apa yang akan saya lakukan?" Tanya Stevan dingin.

"Jangan sentuh dia." Jawab Raksa berusaha setenang mungkin, meski tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini dirinya sedikit takut dengan apa yang ayahnya rencanakan.

Stevan menyeringai. "Hama seperti dia tidak akan saya biarkan, Raksa." Tekannya.

Sudah Raksa duga, ayahnya selalu mencari titik kelemahannya. Sial dan sial yang selalu Raksa dapatkan karena ia tidak bisa mengetahui hal apa yang bisa mengalahkan ego ayahnya ini. Semesta memang pandai membuat manusia merasa berada di ujung tanduk, seakan meminta mereka untuk menyerah dan terjun kebawah saja.

Tetapi jika hal ini menyangkut Alda, Raksa tidak takut lagi untuk bertahan sampai ia babak belur sekalipun. "Ini kemauan Raksa, bukan dia." Akhirnya Raksa membuka suara lagi.

Stevan mengangguk. "Jadi?"

Raksa menarik napasnya. "Cukup papa jangan sentuh dia, dan Raksa akan berhenti saat waktunya tiba." Ujarnya, meski hati nya meronta, terpaksa mengatakan hal itu.

"Waktunya tiba?" Stevan mengangguk puas. "Kali ini saya biarkan, lagi pula kamu PAS sebentar lagi. Pastikan nilai kamu ada di nomer satu." Tekan Stevan. "Atau dia ada di tangan saya." Ancamnya lalu melangkah pergi. Raksa hanya diam menunduk, hingga suara pintu terbanting itu terdengar.

Raksa mengepalkan tangannya kuat hingga urat-uratnya menonjol. "Damn! Its Fucking!" Makinya geram.

Hembusan napas panjang menguar, matanya terpejam, ia menghempaskan punggungnya pada andaran kursi, bahunya menurun terlihat lelah. Tangan Raksa meraba kantong celananya, ia menarik ponselnya lalu menelepon seseorang.

"Za,"

"..."

"Markas sekarang."

"..."

"Hm,"

Raksa mematikan ponselnya, ia menghela napasnya sejenak. Lalu segera bangkit dan pergi dari ruangan penuh kesialan itu.

KANAGARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang