Sebuah Ajakan

2.5K 121 2
                                    

"Ayo makan siang, Ras!" ajak Gangga di seberang telepon.

"Enggak, deh! Gue mau makan siang di kantin kantor aja," jawab Tamara.

Tamara dapat mendengar decakan sebal yang keluar dari bibir Gangga di seberang telepon.

"Sombong banget, sih! Ya udah, deh! Nanti malam makan sama gue, ya? Awas gue lagi nggak pengen di tolak!" ucap Gangga.

"Lo nggak kerja atau gimana? Siang ngajak gue makan, giliran gue nggak bisa, eh lo ngajak nanti malam." Tamara berhenti sejenak dari aktivitasnya mengetik hasil rapat atasannya kemarin sore.

"Ya jelas kerja, dong! Lo nggak usah khawatir, gue nggak nilep gaji buta kok, Ras." Suara helaan nafas Gangga terdengar. "Gue cuma butuh teman ngobrol aja. Pekerjaan gue udah selesai dan hari ini gue free dari siang sampai malam," lanjut Gangga.

"Oke, deh! Demi lo yang kayaknya lagi galau, gue turutin aja kalau gitu." Tamara manggut-manggut.

"Nah, gitu! Baru kelihatan tambah cantik," gombal Gangga.

"Halah! Dasar tukang rayu! Ya udah gue kerja lagi, ya? Biar nanti nggak lembur gara-gara gue teleponan terus sama lo, bye!" Tanpa menunggu jawaban Gangga, Tamara langsung menutup teleponnya.

Tamara dan Gangga sudah bersahabat sejak mereka di bangku SMA. Dari masa ospek sewaktu SMA itulah mereka saling mengenal. Meskipun berbeda kelas namun Gangga dan Tamara bisa berteman akrab. Mereka sering pulang dan pergi sekolah bersama. Gangga yang memang anak orang berada sering membawa motor atau bahkan mobil.

Tamara sering diajak Gangga menonton atau sekedar ditraktir makanan fast food. Gangga adalah satu-satunya sahabat yang Tamara miliki. Gadis itu tidak begitu pandai berinteraksi dengan orang lain. Tepatnya sebelum Tamara mengenal Gangga.

Gangga memilih untuk memanggil Tamara seperti keluarga Tamara memanggil gadis itu, Saras. Selain keluarga dan Gangga, panggilan gadis itu adalah Tamara, sesuai nama depannya.

Tamara tersenyum kala melihat pop up pesan dari Gangga.

"Have a nice day, Ras!"

Tamara kemudian memasukkan ponsel pintar model lama miliknya. Teman-teman Tamara di kantor kebanyakan memakai ponsel berlogo buah apel. Sementara Tamara, masih betah dengan ponsel semasa kuliahnya yang dia beli dengan cara menabung dan juga kerja part time di sebuah kedai makanan.

Gangga sering sekali memaksanya untuk mengganti ponselnya dengan tipe yang baru. Namun, Tamara selalu menolak karena dia merasa ponsel lamanya masih berfungsi dengan sangat baik. Selain itu, ada hal yang lebih penting bagi Tamara selain membeli ponsel pintar baru, yaitu kuliah dan sekolah kedua adiknya. Tamara tidak bisa memikirkan gaya hidupnya menjadi seperti teman-temannya yang memang mampu. Ada keluarganya yang menunggu kiriman bulanan di rumah untuk membayar segela keperluan hidup.

Gaji Tamara bisa dibilang sangat cukup mengingat dirinya bekerja sebagai sekertaris seorang direktur utama. Tamara bisa mencukupi kebutuhannya yang memang bisa dibilang hemat dan juga untuk keluarganya. Biaya kuliah adiknya yang baru saja masuk kuliah tidak langsung dilunasi, melainkan bisa menggunakan sistem mencicil. Adiknya yang masih SMP juga menjadi tanggungannya. Namun, adiknya yang masih duduk di kelas sembilan SMP tersebut mendapatkan beasiswa yang diadakan oleh sekolahnya dengan menggunakan nilai rapor yang selama ini memang selalu memuaskan. Jadi biaya untuk kedua adiknya bisa dia tanggung sepenuhnya.

Tamara hanya ingin agar ibunya tidak terlalu terbebani dengan semuanya. Dia rela mengesampingkan segala keinginannya untuk membeli barang-barang yang selama ini dia inginkan seperti laptop baru. Laptop Tamara sudah usang dan sering hang.

"Tam? Makan bareng saya, ya? Ada yang mau saya bicarakan." Pras tiba-tiba sudah berdiri di depan kubikel Tamara dengan satu tangan yang dia masukkan ke saku celana.

"Oh, baik, Pak!" Tamara segera mengangguk sambil tersenyum.

"Sepuluh menit lagi siap-siap, kita keluar." Pras kemudian berlalu pergi dari hadapan Tamara tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.

Tamara hanya mengangkat bahunya acuh. Gadis itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap-siap pergi bersama atasannya. Tamara tidak tahu mereka akan pergi makan di mana, dia hanya mengikuti atasannya saja.

Pras berjalan menghampiri Tamara yang nampak sudah berdiri dari kursinya dan sedang merapikan barang bawaannya di tasnya. Tas yang digunakan Tamara adalah tas pemberian Gangga ketika gadis itu wisuda. Tas keluaran Prada yang Tamara ketahui harganya tidak murah untuknya meskipun untuk Gangga tidak pernah ada masalah dengan harga.

"Ayo kita berangkat!" ajak Pras.

"Baik, Pak." Tamara segera mengekor di belakang Pras dengan tas berwarna hitam yang sudah berisi barang-barangnya.

Untuk pekerjaan sekelas sekertaris direktur utama, penampilan Tamara termasuk sangat sederhana dibandingkan yang lainnya. Tamara juga hanya memiliki dua tas dan juga dua pasang high heels yang selalu dipakainya untuk bekerja.

Tamara memasuki mobil BMW milik Pras. Biasanya kalau sudah seperti ini, Tamara hanya akan diam dan melihat ke luar jendela mobil. Pras yang duduk di sebelah Tamara nampak menatap gadis itu yang tengah melamun. Entah apa yang sedang di pikirkan Tamara, Pras tidak pernah mau ikut campur. Wanita dan segala kerumitannya.

Mereka tiba di sebuah restoran bergaya Jepang. Tamara duduk di depan Pras dan segera menyebutkan pesanannya. Harga makanan di tempat itu membuat Tamara menelan ludah. Cukup mahal baginya yang biasanya hanya mampu mentraktir keluarganya di restoran yang mampu di jangkau oleh kantongnya. Tamara tidak ingin boros karena dirinya juga ingin memiliki tabungan yang kelak pasti akan berguna untuk hidupnya. Bukan pelit namun memilih untuk hidup sederhana. Itulah Tamara.

"Pesan apapun yang kamu suka, jangan cuma ramen dan ocha!" Pras menatap Tamara kemudian beralih ke pelayan yang masih menunggu mereka.

Pras kemudian menyebutkan beberapa makanan lain kepada pelayan tersebut. Tamara hanya meringis melihat harga di buku menu restoran tersebut. Sushi seharga dua ratus lima puluh ribu membuat Tamara geleng-geleng kepala. Lebih baik ditabung untuk membayar uang semesteran adiknya.

"Saya traktir kamu, jadi tenang saja! Makanlah apa yang kamu inginkan!" kata Pras yang diangguki oleh Tamara.

Setelah selesai mengatakan pesanannya, Pras nampak sibuk menatap ponselnya. Tamara jadi bingung akan melakukan apa karena dia bukan tipe orang yang aktif bermain ponsel. Media sosialnya juga terhitung sepi.

"Kamu nggak pulang ke Bandung akhir pekan ini?" Pras bertanya setelah meletakkan ponsel pintar berlogo apel di atas meja.

"Enggak, Pak! Ada apa memangnya, Pak?" Tamara bertanya balik.

"Saya memiliki rencana pergi ke puncak, ada acara di sana." Pras menundukkan kepalanya sebentar. "Nikahan teman." Pras kemudian menggaruk dahinya yang tidak gatal. "Kalau kamu bersedia, saya ingin ajak kamu ke sana karena saya nggak punya teman untuk datang ke acara itu," lanjut Pras.

Tamara terdiam sejenak sambil menatap Pras mencari sebuah kebohongan disana. Namun, sepertinya Pras serius ketika berkata akan mengajaknya ke puncak untuk menghadiri pernikahan temannya.

"Boleh, Pak," jawab gadis yang nampak cantik dengan riasan sederhananya.

"Oke!" Pras mengangguk dan tersenyum.

______________________________________________________________________

Jangan lupa masukkan cerita ini ke library kalian, follow penulis dan vote juga ya ❤

TerberaiWhere stories live. Discover now