Lebih dari Sekedar Teman

872 76 0
                                    

Kayaknya Tamara lagi bimbang sama perasaannya.

Jangan lupa follow saya ya :)

_______________________________________________________________________________

Tamara mengernyitkan keningnya dalam. Cahaya putih menerobos masuk dan menusuk matanya. Dengan spontan dia memegang kepalanya saat rasa pening kembali melanda. Sayup-sayup dia mendengar suara seorang pria yang sedang memanggil namanya.

"Tamara?"

Dengan pelan, wanita itu membuka matanya. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah sosok sang suami yang masih mengenakan baju yang sama seperti saat mereka makan malam di restoran. Tamara memandang jendela dan dia bersyukur masih bisa mengenali cahaya matahari yang menerangi seluruh ruangan.

"Aku ada di mana?" tanya wanita itu.

"Di rumah sakit, Sayang." Pras tersenyum hangat.

Matanya nampak memerah. Wajah cemasnya tidak bisa ia sembunyikan. Dia bergerak mendekati wajah sang istri dan mencium kening wanita yang baru saja sadar itu. Hatinya merasa lega sekaligus tenang mengetahui bahwa Tamara sudah membuka mata.

"Aku..." Wanita itu menelan ludah dengan kondisi tenggorokan yang sangat kering. "Kenapa?"

"Kamu pingsan semalam setelah kita makan malam. Kata dokter kamu kelelahan dan sedang demam." Ada gurat penyesalan di wajah Pras. "Maaf..." katanya yang membuat Tamara mengerutkan kening karena tak paham dengan apa maksud Pras.

Pras mengerti bahwa sang istri sedang bingung. "Seharusnya aku sadar kalau kamu lagi sakit. Tapi aku justru mengajakmu makan malam di luar. Kamu pasti merasa nggak nyaman banget semalam," ujar Pras dengan nada penuh rasa bersalah.

Tamara menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu merasa bersalah." Tamara tersenyum lemah. "Terima kasih udah nolongin aku meski aku udah bersikap sangat menyebalkan beberapa hari ini sama kamu." Dia serius dengan apa yang diucapkan.

Pras terkekeh pelan dan mengangguk. "Udah jadi kewajibanku sebagai seorang suami dan calon ayah yang baik." Dia mengusap kepala Tamara dengan lembut.

"Ngomong-ngomong..." Tamara melihat penampilan Pras yang nampak acak-acakan. "Kamu sebaiknya pulang dan mandi. Jangan lupa makan. Tubuh kamu juga perlu istirahat yang cukup." Melihat Pras seperti itu seketika menampar Tamara betapa dia kurang memperhatikan sang suami beberapa hari ini.

Pras selalu menyiapkan pakaiannya sendiri. Pria itu menjadi serba mandiri, kecuali untuk urusan makan. Tamara masih sering memasak untuknya, meski dia juga sering memasak untuk sang istri.

Pras menatap arloji di tangannya kemudian menghela napas pelan. "Ya, nanti sekitar pukul dua siang aku akan pulang ke rumah. Sekarang masih pagi, jadi aku akan tetap di sini sama kamu." Dia tersenyum.

Tamara menghela napas dalam. "Keras kepala!"

"Kayak kamu!" sahut Pras dengan cepat.

"Mandi dulu terus beli sarapan," ucap Tamara.

Pras mengangguk. "Kebetulan aku selalu bawa baju ganti di mobil," jawabnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Tamara menaikkan alisnya. "Kenapa nggak ganti baju dari semalam? Kamu tidur pakai kemeja, Mas!" Tamara kesal.

Pras tertawa. Dia sangat suka saat Tamara mulai mengomeli dirinya seperti ini. Pras hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Tamara mendengus keras.

"Pasti aku bakal jadi alasan kamu," ucap Tamara dengan mata menyipit.

Pras mengangguk. "Aku cemas makanya nggak kepikiran ganti baju."

Tamara menelan ludahnya susah payah. "Aku haus." Dia mengalihkan pembicaraan.

Pagi itu, dokter datang untuk memeriksa kondisi wanita hamil itu. Kondisi bayi di dalam perut Tamara dalam kondisi sehat. Hanya saja sang ibu yang perlu banyak istirahat. Jika diingat lagi, Tamara memang sering stres setelah masalahnya dengan Pras meledak seperti bom waktu.

Wanita itu kurang merasa percaya diri. Dia stres memikirkan apa yang kurang dari dirinya sampai sang suami berselingkuh dengan sekertarisnya sendiri. Rasa percaya terhadap suaminya juga sudah terkikis.

Siang hari tak terasa sudah datang. Pras bersiap pulang ke rumah kontrakan. Dia mencium kening sang istri cukup lama, seolah-olah dia tidak rela berpisah barang sedetik saja dari wanita cantik itu.

"Nanti..." Tamara memandang sang suami yang masih berdiri di samping ranjangnya. "Kamu balik ke sini, kan?" tanyanya dengan nada sedikit ragu.

Wajah Pras berubah. "Hm. Aku pergi dulu," pamit pria itu.

"Hati-hati." Hanya itu yang mampu diucapkan Tamara.

Pras bahkan tidak menjawab pertanyaan Tamara dengan benar. Ada rasa galau yang kini menyelinap di dada wanita yang baru saja ditinggal pulang oleh sang suami itu. Dia hanya mampu mengatur napas supaya jantungnya yang beberapa menit lalu berdetak tak nyaman kembali stabil.

Sendirian di rumah sakit membuatnya merasa cukup kesepian. Dia memandang keluar jendela. Langit di atas sana nampak cerah dan sinar matahari juga bersinar terang. Tapi, Tamara tidak merasakan kehangatan. Kali ini, entah kenapa, dia justru berharap awan mendung akan datang ke kota yang punya julukan kota Hujan itu.

Dia ingin hujan datang dengan deras. Meski hal itu bukanlah sesuatu yang pasti bisa menghentikan sang suami supaya tidak pergi. Dia mengutuk Pras yang datang kembali ke hidupnya dan membuatnya terbiasa dengan kehadiran pria itu.

Dan kini, saat dia sedang sakit dan terbaring di rumah sakit, Pras pulang ke rumah kontrakan dan meninggalkannya sendirian. Dia yang mencetuskan ide itu tapi tetap saja Tamara merasa tidak suka saat rasa sepi itu terasa menyelubungi pikirannya.

Sudah satu jam sejak suaminya pulang. Tamara tidak bisa memejamkan matanya barang sejenak. Dia hanya diam tanpa melakukan apapun sampai dia merasa bosan. Dia tidak betah di rumah sakit meski belum genap dua puluh empat jam dia dirawat di sana.

"Kenapa melamun?"

Tamara menoleh dan seketika matanya melebar. Fadli membuatnya terkejut. Dia mengerjapkan mata seakan tak percaya dengan indra penglihatannya.

Dari mana dia tahu gue di sini?

Fadli tersenyum dan berjalan mendekati Tamara. "Kenapa kaget lihat aku?"

"A' Fadli?" Tamara kemudian tersenyum tipis. "Kok ada di sini?" tanyanya dengan wajah bingung.

Fadli tersenyum dan duduk di kursi yang sebelumnya menjadi tempat Pras menunggu sang istri. "Kebetulan aku lagi ngantar ibu periksa. Ibuku darah tinggi." Fadli berkata jujur. "Aku lihat suami kamu di kantin tadi pagi. Jadi aku ke sini setelah ngantar ibu pulang ke rumah."

Tamara hampir kehilangan kata-katanya. Dia hanya tersenyum dan mengangguk kaku. Fadli masih menatapnya tanpa berkedip. Sedangkan bibir mereka berdua masih tertutup rapat. Fadli menghela napas pelan.

"Kamu sakit apa?" Setelah keheningan itu Fadli akhirnya membuka suaranya.

"Cuma kelelahan, A'."

"Aku..." Fadli menggantungkan kalimatnya.

Suasana di ruang perawatan Tamara terasa aneh dan canggung. Fadli yang bersikap tidak seperti biasanya membuat Tamara enggan untuk berbasa-basi pada pria itu.

"Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Tam." Pria itu menunduk.

"Apa?" Tamara bisa melihat Fadli yang sedang grogi di depannya.

"Aku..." Fadli menelan ludahnya dengan cepat. "Selama ini aku punya perasaan lebih dari sekedar teman ke kamu."

Fadli masih menunduk namun pria itu berhasil membuat Tamara terkejut. "A'..." Tamara menyentuh bahu pria itu.

___________________________________________________________________________

Credit :

Song by Ailee - Is You

TerberaiWhere stories live. Discover now