Masih Bisa Memilih

628 75 2
                                    

Sinar matahari memasuki kamar melalui celah tirai. Pras mengernyitkan keningnya dalam. Tidurnya terusik. Dengan perlahan pria itu membuka matanya. Dia masih diam sambil mencoba mencerna apa yang terjadi semalam. Pras kemudian meraba ruang kosong yang ada di sampingnya.

"Tamara sudah bangun," gumamnya.

Dia menghela napas dan beranjak dari ranjang itu. Kakinya berjalan menuju pintu kamar. Dengan senyuman tipis yang tersungging di bibirnya, Pras bergegas menuju ke arah dapur. Sunyi mewarnai rumah itu. Matanya menatap ke seluruh penjuru dapur dan ia tidak bertemu dengan sang istri.

Pria itu juga tidak menemukan makanan apapun di atas meja makan. Tidak seperti biasanya, Tamara belum menyajikan menu sarapan untuk mereka berdua. Pras meneguk ludah kasar. Dia berbalik dan segera pergi ke kamar utama.

"Mungkin dia sedang mandi," gumamnya dengan perasaan yang mulai tidak nyaman.

Jantungnya berdetak saat mendapati pintu kamar terbuka lebar. Pras berhenti tepat di depan pintu. Dia menatap ke dalam kamar itu. Kakinya terasa mulai melemas. Tubuhnya tiba-tiba terasa berat.

"Tamara? Sayang?!" dia berteriak memanggil nama sang istri.

Pras memasuki kamar itu dan tidak mendapati sang istri di manapun. Dia juga memeriksa kamar mandi. Pria itu bisa merasakan bahwa lantai kamar mandi itu kering, yang berarti Tamara tidak menggunakannya sejak semalam.

Dia berlari menuju ke arah lemari. Tangannya bergetar hebat dengan mata yang menatap ke arah ruang kosong di dalamnya dengan nanar. Pakaian-pakaian Tamara tidak berada di tempat biasanya. Dia mendongak dan kemudian memejamkan mata. Koper yang biasanya ada di atas lemari juga tidak ada.

Jantungnya seketika merosot sampai ke lantai. Pras menoleh ke belakang dengan napas yang terasa sesak. Istrinya pergi.

"Sayang?" suaranya memanggil Tamara dengan sangat lirih.

Dia belum mau menyerah. Lebih tepatnya, dia tidak bisa berdiam diri sementara istrinya pergi dari rumah. Pras mengambil ponselnya dengan tangan gemetaran dan segera menghubungi nomor sang istri.

"Maaf, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan..."

Pras mematikan sambungan telepon ketika operator mengatakan kalimat yang membuatnya semakin hilang akal. Dia kemudian mencoba mengirimkan pesan singkat untuk sang istri meski ia tahu bahwa Tamara pasti sudah memutus akses komunikasi di antara mereka berdua.

"Kamu di mana? Aku jemput, ya?"

Dan benar saja, pesan singkat yang Pras tulis dengan pikiran semrawut itu hanya centang satu. Dia menghela napas berat dan menatap ranjang besar dengan rasa hampa. Pras mengusap wajahnya dengan gerakan gusar.

"Kamu nggak perlu pergi dari rumah seperti ini, Tam," katanya dengan nada sedih.

Tapi sayangnya istrinya tidak bisa mendengar rintihannya. Pras terduduk dengan wajah sendu. Dia harus mencari istrinya yang sedang hamil itu. Tapi dia teringat dengan janjinya kepada salah satu klien besar. Jika dia membatalkan janji mereka maka kemungkinan besar kesempatannya untuk mendapatkan tender besar itu tidak akan datang lagi.

Waktu terus berjalan dan Pras tidak bisa membiarkan perusahaannya merugi karena kehilangan klien besar. Dia memutuskan untuk bergegas mandi dan berangkat ke kantor. Biarlah urusan Tamara ia selesaikan setelah pulang dari kantor nanti malam. Pemikiran bodoh yang mungkin bisa membuat Pras menyesal di kemudian hari.

***

"Maaf kalau gue ngerepotin lo," ujar Tamara dengan wajah pucat.

Tubuhnya demam tinggi. Bibirnya kering dan tenggorokannya terasa sakit. Tamara juga merasa tubuhnya sangat lemas. Matanya sudah terasa panas. Wanita itu tidak beranjak dari atas ranjang barang sebentar saja sejak tiba di apartemen itu dini hari tadi.

"Lo ngomong apa sih, Ras? Gue senang karena lo datang ke gue di saat seperti ini," jawab Gangga sambil membawa semangkuk bubur yang masih hangat.

"Tapi gue beneran kayak manfaatin lo, Ga. Gue merasa bersalah." Wanita itu terlihat menyesal.

"Nggak perlu mikir hal yang belum tentu benar! Gue baik-baik aja. Gue justru senang karena bisa menjadi tempat bersandar buat lo." Gangga menyendok bubur dan mengarahkannya ke depan mulut Tamara. "Sekarang lo harus makan. Kasihan anak lo pasti udah lapar," ucap pria itu dengan nada lembut.

Tamara hanya mampu menghela napas pelan dan mengangguk patuh. Dia membuka mulutnya dan dia segera mengernyitkan kening.

"Kenapa? Buburnya nggak enak, ya?" tanya Rangga.

Tamara menggeleng dan tersenyum tipis. "Gue nggak bisa rasain buburnya. Hambar, Ga."

"Karena lo lagi sakit makanya hambar. Makanya lo harus segera gue bawa ke rumah sakit biar cepat sembuh dan bisa makan dengan rasa nikmat lagi." Gangga mengusap kepala Tamara dengan sayang.

Tamara mengerucutkan bibirnya. "Gue nggak apa-apa. Paling cuma kelelahan dan masuk angin. Nggak perlu sampai periksa ke rumah sakit," tolak Tamara dengan cepat.

"Nggak! Kalau lo nggak mau ke rumah sakit pagi ini, gue akan antar lo ke sana nanti sore. Nggak boleh nolak atau gue lapor ke Pras kalau-"

"Jangan!" potong Tamara. "Lo udah janji nggak akan ngomong ke siapapun kalau gue di sini," lanjutnya dengan nada cemas.

Gangga terkekeh geli. "Iya, gue paham. Gue nggak mau lapor ke pria brengsek itu. Dia udah nyakitin lo dan dia nggak berhak untuk ketemu lo."

Tamara hanya diam dan kembali menerima suapan dari Gangga.

Malam itu setelah dirinya keluar kamar dan meninggalkan Pras sendirian, Tamara merasa putus asa. Dia tidak menemukan adanya tujuan lagi dalam rumah tangganya bersama Pras. Wanita itu nekat menghubungi Gangga setelah membereskan barang-barangnya. Dia meminta Gangga untuk menyembunyikan keberadaannya untuk sementara waktu.

Rasanya terlalu sulit baginya jika harus menahan rasa sesak karena perselingkuhan Pras sementara dia masih harus bertemu dengan suaminya itu setiap hari. Tamara belum ikhlas menerima kenyataan. Dia tetap tidak mau menerima fakta bahwa sang suami masih berhubungan dengan wanita dari masa lalunya.

"Gue bodoh, ya?"

Tangan Gangga yang sedang membereskan mangkuk serta gelas berhenti ketika mendengar ucapan Tamara. Dia menoleh dan menatap wanita yang sudah menempati hatinya selama bertahun-tahun dengan tatapan sendu.

"Gue nggak tega," batinnya ikut merana.

Gangga kembali duduk dan menatap Tamara dengan intens. "Kenapa?" hanya itu yang bisa Gangga katakan.

"Seharusnya sejak awal gue nyari lo. Tapi gue justru menerima Mas Pras yang jelas belum gue kenal secara pribadi." Tamara mengusap air di sudut matanya.

"Lo nggak seharusnya menyesal. Lo punya anak di dalam kandungan lo dan seharusnya itu bisa membuat lo menjadi semakin kuat, Ras. Kalau kalian nggak ketemu, anak lo nggak mungkin hadir." Gangga mencoba menebalkan hatinya. "Lo masih bisa memilih apakah lo akan melanjutkan hubungan dengan Pras atau lo memilih berhenti di sini."

Tamara menatap mata sahabatnya dengan kerutan di dahinya. "Kalau pada akhirnya gue kembali pada Mas Pras, apa lo akan baik-baik aja?"

____________________________________________________________________________

Hai! Jangan lupa vote dan komennya ya :)

Kalau berkenan boleh follow akun wattpad penulis juga hihi

Enjoy!

TerberaiWhere stories live. Discover now