Tak Mau Berhenti

699 71 0
                                    

Pras meremas kertas yang ada di tangannya. Matanya menatap pintu ruang kerjanya dengan tajam. Dia baru saja membaca surat pengunduran diri dari Melly. Setelah mengambil cuti lebih dari kesepakatan, Melly memilih pergi dari perusahaan Pras tanpa menunjukkan batang hidungnya.

"Brengsek!" makinya dengan wajah marah. "Gue nggak akan biarin lo merusak pernikahan kami lebih dalam lagi, Mel!" genggamannya pada kertas di tangannya semakin erat.

Dia kemudian meraih ponsel yang ada di atas meja kerjanya. Memeriksa apakah ada pesan masuk atau panggilan dari Tamara adalah kegiatan yang ia lakukan sejak pagi. Dia tidak tenang.

Setelah sampai di kantor, dia memberanikan diri untuk menelepon ibu mertuanya yang ada di Bandung. Meski Pras tahu bahwa ibu mertuanya itu pasti akan menaruh curiga kepadanya tapi dia tidak peduli lagi. Yang paling penting dia bisa menemukan keberadaan Tamara, istri yang sudah berhasil mengambil hatinya.

"Apa Saras ada di Bandung, Bu?" tanya Pras dengan jantung berdentam.

Nurmala nampak tak langsung menjawab. Pras jelas sadar bahwa ibu mertuanya pasti sedang menebak kalau rumah tangganya bersama Tamara sedang tidak baik-baik saja.

"Enggak, memangnya Saras nggak pamit sama kamu?" suara Nurmala terdengar lembut.

Pras memijat pelipis bagian kanannya. "Oh! Saras pamit, Bu. Cuma Pras lupa Saras pamit ke mana. Pras udah telepon Saras tapi nggak di angkat," jawab Pras dengan nada tenang.

"Apa kalian sedang bertengkar?"

Pras terdiam ketika Nurmala melayangkan pertanyaan sederhana itu. Sampai kemudian suara dari seberang telepon kembali terdengar dengan nada yang entah kenapa terasa sedih bagi Pras.

"Tolong cari Saras, ya? Dia udah banyak menanggung beban keluarga selama ini. Ibu cuma berharap kehidupan pernikahan kalian selalu bahagia."

Ingatan akan kejadian pagi tadi membuat Pras mendesah berat. "Gue yang bodoh! Seharusnya gue nggak lari ke Melly!" batinnya menderita.

Nasi sudah menjadi bubur. Pras tidak bisa mundur lagi. Dia ingin memutar waktu sambil berharap kejadian di mana ia memilih berselingkuh dengan Melly tidak pernah ia lakukan. Penyesalan memang selalu datang terlambat dan Pras tahu jika sekarang ia sedang menanggung karmanya.

"Sebelum semakin parah," gumamnya sambil berdiri.

Pria itu meraih jas dan merapikan semua barang-barangnya. Pras hendak pergi mencari Tamara. Meski dia tidak tahu akan pergi ke mana tapi setidaknya dia sudah berusaha dan mengerahkan tenaga untuk mencari sang istri. Untuk hasil, Pras hanya bisa berserah diri.

***

"Lo ngapain ke apartemen gue?"

Wanita itu tersenyum kecil. "Memangnya kenapa? Gue cuma ingin tahu, apa lo lagi menyembunyikan sesuatu atau enggak," jawabnya.

Gangga memajukan tubuhnya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri sejenak. Keadaan kafe yang cukup ramai membuatnya harus mengecilkan suaranya supaya tidak terdengar oleh pihak lain. Meski sulit karena emosi yang ada di dadanya.

"Lo nggak perlu ikut campur! Ini bagian gue, Mel." Matanya menatap lawan bicaranya dengan tajam.

Melly terkekeh dengan ekspresi yang terkesan meremehkan Gangga. "Pras mengira gue yang mempersuasi Tamara supaya kabur dari rumah mereka. Dan gue pikir kejadian Tamara yang kekanakan ini juga menjadi bagian gue." Dia kemudian mengelus perutnya yang rata.

Gangga melirik apa yang dilakukan oleh Melly. Wanita itu sepertinya juga sedang merencanakan sesuatu dan sayangnya Gangga tidak bisa menebaknya.

"Apa kalian bertemu?" tanya Gangga dengan mata menyipit.

Melly menggelengkan kepalanya. "Dia mengirim pesan singkat. Dan dia langsung nuduh gue," jawab Melly dengan wajah malas.

Gangga menghela napas dalam. Dia kembali menyenderkan punggungnya ke belakang. Suara hujan di luar kafe yang ada di lantai bawah apartemen terdengar seperti nyanyian penghantar tidur.

Sore itu, Gangga hendak tidur sebentar karena tubuhnya terasa lelah. Tapi kedatangan Melly membuatnya harus memaksa tubuhnya untuk kembali bergerak. Wanita itu datang secara tiba-tiba. Tapi beruntungnya, Tamara sedang berada di kamarnya dan tidak keluar dari sana.

Gangga buru-buru menyeret Melly supaya meninggalkan apartemennya. Mereka berdua kemudian duduk di kafe dengan hati yang sama-sama merasa jengkel.

"Jadi, apa dugaan gue benar?" tanya Melly memecah keheningan di antara mereka.

Gangga menatap wanita yang merupakan mantan kekasih kakak kandungnya itu. Dia kemudian menghela napas dalam dan mengangguk lemah. Tidak ada pilihan lain selain mengaku. Melly pasti tidak akan mau menyerah untuk menuntut jawaban jujur darinya. Dan itu sangat menjengkelkan bagi Gangga.

"Ya, dia di apartemen gue," jawab pria itu dengan nada pelan.

Melly terkekeh senang. "Cepat banget gerakan lo."

"Tamara yang minta gue untuk jemput di rumahnya. Bukan gue yang bawa dia kabur dari sana," sahut Gangga dengan cepat.

"Oh! Gue paham!" Melly menyeringai. "Tapi kalian nggak tidur berdua, kan?"

"Jaga mulut lo, Mel! Tamara bukan wanita rendahan!" Gangga terdengar meninggikan suaranya dan hal tersebut jelas membuat beberapa pengunjung merasa terusik. "Dia wanita terhormat! Bahkan dia jauh lebih baik daripada lo!" Gangga menunjuk Melly dengan wajah memerah menahan marah.

Beberapa pasang mata menatap ke arah meja Gangga dan juga Melly. Mereka saling berbisik membicarakan apa yang baru saja mereka dengar. Gangga tidak peduli. Dia kesal jika Melly mulai merendahkan Tamara.

"Lalu? Gue harus nyebut dia apa? Dia minta pria lain untuk jemput dia di rumahnya. Sedangkan dia masih sah menjadi seorang istri, apalagi kondisinya dia sedang hamil." Melly bersedekap.

Wajahnya nampak membuat Gangga muak. Wanita itu menjadi semakin tak terkendali semenjak Pras memilih menyudahi hubungan mereka berdua.

"Kalau lo mau bersama Pras, lo bisa ambil dia! Tapi jangan pernah ganggu Tamara! Gue udah bilang sejak awal kalau lo nggak boleh ganggu Tamara," ucap Gangga.

Melly memajukan tubuhnya dengan wajah serius. "Tenang aja! Gue akan penuhin keinginan lo itu. Lebih baik, lo jaga Tamara dan urusan Pras biar menjadi bagian gue. Sekarang kita punya bagian masing-masing." Setelah mengatakan hal itu, Melly mengibaskan rambutnya dengan gerakan anggun.

"Gue rasa obrolan kita udah selesai. Gue harus balik ke apartemen," ucap Gangga yang memilih menyudahi obrolan mereka meski ia tidak menanggapi kalimat dari Melly.

Melly hanya menatap Gangga yang buru-buru berdiri dari duduknya kemudian pergi meninggalkan meja mereka begitu saja. Setelah punggung Gangga semakin jauh, Melly mendengus dan tersenyum senang.

"Semakin mudah jalan bagi gue. Seharusnya sebelum menikah mereka harus memiliki pondasi lebih dulu. Sayangnya mereka nggak punya apa-apa selain cinta," batin Melly.

Dia menyesap coklat hangatnya dengan pelan. "Cinta aja nggak akan cukup untuk membuat sebuah pernikahan tetap utuh!" gumamnya pelan.

Wanita itu berdiri dari duduknya dan memilih pergi dari sana. Dia memegang perutnya dengan perasaan tenang. Melly kemudian mengendarai mobilnya menuju ke apartemennya. Dia perlu menyiapkan tenaga dan pikiran untuk menyambut hari esok. Wanita itu tidak mau berhenti di tengah jalan. Dia memilih untuk tetap melangkah sampai keinginannya tercapai.

TerberaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang