Pengecut

911 65 0
                                    

Follow akun wattpad penulis dulu ya sebelum membaca :)

Kalian juga bisa follow instagram penulis (at)author.angeelintang

Thank youuu ~

____________________________________________________________________________

Tamara mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok suaminya yang tidak kunjung kembali. Mereka berdua tengah makan siang di sebuah restoran ala Jepang yang berada di sebuah mall. Wanita itu menghela napasnya.

"Mas Pras kemana, sih?!" Tamara mulai tidak sabar.

Dia kemudian berdiri dan segera menuju ke kasir. Tamara memutuskan untuk membayar makanan mereka. Pras sudah terlebih dahulu selesai makan, sementara Tamara baru saja berhasil menghabiskan makanannya. Suaminya pamit untuk pergi ke toilet setelah sebelumnya menatap lama pada ponselnya.

Tamara jengkel karena sudah setengah jam dia menunggu dan Pras tidak juga kembali. Padahal Pras sudah berjanji akan membayar makanan mereka sebagai seorang suami. Ini adalah kencan pertama mereka, itulah yang dikatakan oleh Tamara pagi tadi. Pras hanya terkekeh dan mengangguk setuju.

Meskipun pria itu sama sekali tidak berniat melibatkan hati di dalam kencan mereka tapi bagi Tamara momen hari ini adalah salah satu momen berharga di hidupnya.

Dengan langkah lebar, Tamara keluar dari restoran tersebut dan segera menuju ke toilet pria. "Di dalam restoran ada toilet, kenapa harus toilet yang ada di dalam mall, sih!" Tamara tidak mengerti jalan pikiran Pras.

Dia menunggu di depan toilet pria. Hingga lima belas menit dan seorang pria asing yang dia ingat lima menit lalu masuk ke dalam sudah kembali keluar. Tamara mengerutkan keningnya kala tersadar bahwa Pras tidak berada di sana.

Wanita itu mengambil ponselnya dan sekali lagi mencoba menghubungi suaminya. "Tidak aktif?" desahan kecewa kembali lolos dari bibirnya.

Tamara yang hari itu mengenakan terusan selutut berwarna cokelat muda dengan rambut tergerai memutuskan untuk pergi dari sana. Dia berjalan kesana kemari mencari suaminya yang tidak juga dapat dia temukan.

"Sialan! Gue ditinggal di sini sendirian?" Mata Tamara nyalang menatap orang-orang yang berlalu lalang di depannya.

Dia sedang duduk di kursi pengunjung yang berada di lantai satu mall tersebut. Napasnya terasa berat. Dadanya seakan terhimpit kala dugaan-dugaan buruk menghampiri kepalanya. Wanita itu mengusap matanya yang mulai sedikit basah.

Kakinya terasa pegal karena memutari seluruh mall hanya untuk mencari suaminya yang tega meninggalkannya sendirian di sana. Ketika Tamara hendak memesan taksi online melalui ponsel pintarnya, terdapat pesan masuk dari Pras.

"Jangan menungguku! Pulanglah ke rumah menggunakan taksi online, aku ada urusan mendadak."

Tamara menahan napasnya. "Suami nggak bertanggung jawab!" gerutunya kesal.

Tamara tidak membalas pesan dari suaminya itu. Dia segera berjalan keluar dari sana dan pulang ke rumahnya. Dia tidak tahu kalau Pras benar-benar akan setega itu kepadanya.

"Urusan sepenting apa sampai istri sendiri ditinggal gitu aja?" batin Tamara.

***

Tamara menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Setelah menghilang dan meninggalkan dirinya seorang diri di mall, pria itu belum juga kembali ke rumah.

Tamara kemudian berdiri dari duduknya dan memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia butuh tidur. Kepalanya sudah terlalu banyak bekerja hari ini. Menebak apa yang sedang Pras lakukan dan urusan apa yang membuat suaminya itu pergi begitu saja.

"Huh!" Tamara menghembuskan napasnya dengan kasar. "Gue pikir, setelah menikah kehidupan gue akan lebih ramai, ternyata sama aja, sepi!" kata Tamara sambil menatap langit-langit kamarnya.

Di tempat lain, Pras duduk di sebelah ranjang rumah sakit dengan wajah lelahnya. Pria itu sibuk menatap Melly yang tertidur pulas di sana. Helaan napas lolos begitu saja dari mulutnya. Pras mengusap wajahnya dengan kasar.

"Pras?"

Pria yang tadinya menunduk itu langsung mendongak dan menatap wajah pucat Melly yang masih terbaring lemas di ranjang rumah sakit. "Kamu ingin minum?" tanya Pras seraya berdiri.

Melly tersenyum lemah dan menggeleng. "Aku ingin pelukan, seperti malam kemarin."

Pras mengerutkan keningnya dalam. "Aku sudah memiliki istri, Mel." Pras melempar tatapannya ke arah lain.

"Istrimu nggak bisa membuatmu betah dengan pernikahan kalian," kata Melly dengan nada tenang.

"Kami hanya sedang bertengkar kemarin," sahut Pras cepat.

"Benarkah? Bukankah kamu yang mengatakannya sendiri kalau istrimu itu nggak bisa menjadi rumah yang sebenarnya untukmu. Rumah yang kamu harapkan bisa kamu gunakan untuk pulang," Melly menyeringai.

"Mel..." Pras menatap Melly.

Melly tersenyum hangat. "Aku lupa kalau aku nggak bisa makan makanan yang terlalu pedas, sangat memalukan aku terkena diare seperti ini," Melly terkekeh.

Pras menghela napasnya dalam. "Aku akan menghubungi saudaramu, kamu bisa memberikan nomor mereka padaku," kata Pras tidak menanggapi ucapan Melly.

Raut kecewa tercetak jelas di wajah sekertaris Pras tersebut. "Kamu bilang pernikahan kalian hanya sebatas urusan kepentingan, kalau begitu aku akan pelan-pelan mendekatimu."

"Berhentilah! Aku bahkan nggak tahu apakah aku bisa jatuh cinta lagi," jawab Pras. "Aku nggak mau kamu terluka," lanjut pria itu.

Melly terkekeh dan melirik ke arah kiri sejenak sebelum kemudian kembali fokus menatap pria tampan di depannya itu. Melly membasahi bibirnya kemudian kembali menyunggingkan senyumnya.

"Seperti dulu, aku akan tetap memupuk rasa cintaku padamu. Kamu tenang aja! Kamu nggak perlu berbuat apapun untukku, biarkan waktu yang akan membuatmu jatuh hati padaku, Pras."

Pras mematung. Dadanya sedikit menghangat mendengar kalimat dari Melly. Pras bahkan baru tahu kalau sejak dulu, Melly mencintainya. Wanita itu mengatakan semuanya kepada Pras di malam ketika Tamara menunggunya untuk pulang.

"Kalau kamu datang sejak dulu, aku nggak akan sampai menikah dengan wanita lain, Mel." Pras menatap cinta pertamanya dengan sorot sendu.

Suasana ruangan tersebut terasa lengang. Hari memang sudah malam. Mereka berdua kini hanya saling menatap tanpa sanggup mengatakan apapun. Terlebih Melly yang kini sudah hampir menangis mendapati kenyataan bahwa Pras menikahi wanita lain.

"Kamu dulu sangat pengecut!" gumam Melly dengan nada rendah nan tegas.

Pras mengangguk tanpa menolak tuduhan wanita di depannya itu. "Kamu benar! Aku takut pertemanan kita rusak, aku memilih berdiam diri dan membiarkan waktu mempertemukan kita," ucap Pras.

"Dan waktu yang kamu katakan itu tidak pernah datang untuk kita," sahut Melly cepat.

Pras menelan salivanya dengan susah payah. Dia menunduk dan mengusap wajahnya dengan gusar. Pikirannya semrawut. Otaknya tidak bisa berpikir jernih barang sebentar saja.

"Kamu bahkan udah sempat mencintai Karin," kata Melly kemudian disusul kekehannya yang terdengar hambar di telinga Pras.

"Kamu yang memutuskan untuk pergi!" jawab Pras.

Dinginnya AC di ruangan perawatan Melly membuat wanita itu menarik selimutnya sampai sebatas dada. "Aku tahu, aku membiarkanmu memantaskan diri seperti yang kamu katakan dulu," kata Melly.

"Gue akan menjalin hubungan dengan perempuan kalau gue udah sukses jadi sebaiknya gue memantaskan diri lebih dulu."

Seperti ada tangan yang sengaja menampar jantung Pras. Dia mengedipkan matanya dan dengan dada yang terasa tidak tenang, Pras menarik tangan Melly dan menggenggamnya.

"Aku mengatakannya sambil tertawa dan kamu menganggapnya serius?" tanya Pras dengan wajah tidak percaya.

TerberaiWhere stories live. Discover now